PALU – Puluhan massa aksi yang tergabung dalam Fraksi Bersih-Bersih Sulteng melakukan unjuk rasa di depan Tugu Nol Kilometer, Jalan Hasanuddin, Kota Palu, Ahad (09/03).
Dengan tema “Perempuan Bangkit Melawan, Merebut Keadilan”, mereka membawa spanduk dan poster berisi tuntutan, di antaranya penghentian eksploitasi dan ketimpangan gender di kawasan industrialisasi, jaminan perlindungan serta keamanan bagi buruh perempuan, serta hak cuti haid tanpa syarat di tempat kerja.
Koordinator lapangan, Wulan, dalam orasinya, mengatakan, perempuan terus menjadi korban ketidakadilan struktural. Hak-hak mereka dipangkas, tenaga mereka dieksploitasi, tubuh mereka dikendalikan, dan tanah mereka dirampas.
“Sementara itu, kekerasan berbasis gender terus meningkat, tetapi negara justru memangkas anggaran perlindungan perempuan dan membiarkan eksploitasi tetap terjadi,” katanya.
Menurut Wulan, tahun ini Komnas Perempuan kehilangan 39,41% anggarannya, turun dari Rp47,7 miliar menjadi Rp28,9 miliar. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga mengalami pemangkasan sebesar 48,86%, dari Rp300,65 miliar menjadi Rp153,77 miliar.
“Pemotongan ini mengancam layanan bagi korban kekerasan, pendampingan hukum bagi perempuan korban pelecehan dan kekerasan, serta upaya pencegahan kekerasan berbasis gender,” katanya.
Lebih lanjut Wulan mengatakan, selain itu, pemangkasan anggaran kesehatan dan pendidikan turut memperburuk keadaan.
Program BPJS bagi penerima bantuan terancam dihentikan, akses terhadap pemenuhan gizi ibu dan anak menjadi sulit, serta beasiswa bagi anak perempuan dari keluarga miskin semakin terbatas.
“Akibatnya, perempuan dan anak perempuan semakin rentan terhadap ketidakadilan sosial,” tambahnya.
Di sektor industri dan pertambangan, kata Wulan, perempuan dijadikan tenaga kerja murah dan dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Di Morowali dan Morowali Utara, ungkap dia, buruh perempuan menghadapi jam kerja panjang tanpa kompensasi layak, upah rendah, serta minimnya jaminan sosial.
“Cuti haid dan cuti melahirkan sering ditolak, risiko kecelakaan kerja tinggi, dan mekanisme perlindungan dari pelecehan di tempat kerja tidak jelas,” ujarnya.
Lanjut Wulan, buruh perempuan yang berani bersuara atau berserikat justru mengalami ancaman, tekanan, hingga pemecatan.
Sementara itu, di desa-desa sekitar industri pertambangan, perempuan menghadapi krisis air bersih akibat eksploitasi sumber daya alam. Air yang dulunya mudah diakses kini harus dibeli dengan harga mahal, dan jarak tempuh untuk mendapatkannya semakin jauh.
“Akibatnya, perempuan semakin terbebani dalam mengurus keluarga, sementara pencemaran air mengancam kesehatan ibu hamil dan anak-anak,” katanya.
Di Sigi, lanjut dia, setidaknya 20 perempuan menjadi korban perdagangan manusia. Mereka dijanjikan pekerjaan layak tetapi justru dieksploitasi sebagai pekerja tanpa hak atau bahkan mengalami eksploitasi seksual.
“Sepanjang 2023, tujuh buruh migran perempuan asal Sulawesi Tengah dipulangkan dalam kondisi rentan setelah mengalami kekerasan di tempat kerja,” tambahnya.
Dalam kurun waktu Juni hingga Desember 2023, Polda Sulawesi Tengah mengungkap 18 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan 27 korban perempuan, termasuk anak-anak. Namun, negara dinilai belum memiliki mekanisme perlindungan yang memadai untuk menangani kasus ini.
“Perempuan korban perdagangan manusia sering kali tidak mendapatkan akses ke layanan hukum, kesehatan, atau rehabilitasi psikologis, yang semakin memperburuk kondisi mereka,” ujarnya.
Reporter : Ikram
Editor : Rifay