Jangan Risau, Ibrah dari Kisah Cinta Mugits dan Barirah

oleh -
Ilustrasi. (Youtube SABIRIN ALHASANI)

Bukan karena Mugits adalah orang yang tidak baik. Bukan pula karena Barirah seorang yang berakhlak buruk.

Ada sebuah kisah cinta yang menarik yang terjadi di masa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, tentang kehidupan antara Mughts dan Barirah.

Mereka berdua termasuk sahabat nabi, yang dulunya terikat pernikahan ketika mereka berdua masih menjadi budak. Kemudian, Ibunda kaum muslimin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, membeli Barirah lalu memerdekakannya.

Dan inilah kisah cinta Barirah dan Mughits  – kisah cinta yang tak berbalas. Kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dan itu terjadi di zaman Nabi.

Barirah adalah maula (mantan budak) ‘Aisyah radliyallah ‘anha. Sebelumnya ia adalah budak milik seorang Anshar dari kabilah bani Hilal. Ia terkadang membantu ‘Aisyah dengan upah sebelum dibeli oleh ‘Aisyah dan dibebaskan.

Barirah seorang wanita yang pandai, perawi hadits dan faqihah serta memiliki firasat yang tajam dan tepat. Ia hidup sampai masa kepemimpinan Mu’awiyah radliyallah ‘anhu.

Barirah  seorang budak telah merdeka, ia boleh memilih untuk tetap berada dalam pernikahannya dengan sesama budak atau melepaskan ikatan itu. Dan rupanya, Barirah sama sekali tidak mencintai Mughits. Ia pun memilih untuk berpisah dari suaminya

Lain Barirah, lain pula Mughits. Mughits sangat mencintai Barirah. Segala upaya dilakukan Mughits agar Barirah tidak meninggalkannya. Ketika melihat Barirah di jalan, Mughits mengikutinya dari belakang sembari sesenggukan. Antara kesedihan kehilangan orang tercinta dan ingin dikasihani agar wanita itu kembali kepadanya.

Sampai-sampai saat Barirah berthawaf, Mughits juga mengikutinya sambil menangis hingga air matanya membasahi janggutnya. Melihat itu, Rasulullah kasihan.

“Wahai Abbas,” kata Rasulullah kepada Abbas yang juga menyaksikan peristiwa mengharukan itu, “tidakkah engkau heran melihat kecintaan Mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits?”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui Barirah.

“Bagaimana kalau engkau ruju’ pada Mughits?” kata Rasulullah kepada Barirah.

“Wahai Rasulullah, apakah ini perintah buatku?” Demikianlah sikap shahabiyah. Ia ingin memastikan apakah hal itu perintah atau tidak. Sebab jika hal itu adalah perintah Rasulullah, maka hukumnya wajib dan tidak ada alasan untuk menolak perintah itu.

“Aku sekadar memberi syafaat (untuk suamimu)”

Mendengar bahwa hal itu bukan perintah, Barirah mengungkapnya isi hatinya. Ia tak mau lagi bersama Mughits. “Aku sudah tidak butuh kepadanya,” jawabnya.

Ketika menjelaskan hadits tentang Barirah yang menolak masukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini, Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan bahwa boleh bagi seseorang untuk menerima atau menolak masukan dari orang lain (meskipun orang itu adalah pemimpin atau ulama) selama tidak menyangkut hal yang wajib. Dan orang yang memberikan masukan atau saran hendaknya tidak marah ketika masukan atau sarannya tidak diterima. Bahkan Rasulullah pun tidak marah kepada Barirah atas sikap tersebut. Hanya saja, beliau kasihan pada Mughits.

Mungkin kita juga memiliki perasaan yang sama: mengasihani Mughits. Sebab cinta yang tak terbalas adalah kesedihan yang menyesakkan dada. Sebab cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah kesedihan yang mengundang derai air mata. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)