Ditanya Penanganan Abrasi di Tulo, Kepala BWSS III Menjawab Sinis

oleh -
. Salah satu tokoh masyarakat Tulo, Sofyan berbincang dengan Anggota DPRD Sulteng, Muh Masykur yang sedang meninjau kondisi sungai, Selasa (22/08). (FOTO: MAL/RIFAY)

PALU – Warga Desa Tulo, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi mengaku tidak mau terlalu berharap banyak kepada pemerintah, baik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng maupun Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III, termasuk juga dari politisi yang hanya mau datang ketika ada pemilihan.
Mereka dianggap tidak peduli dengan nyawa masyarakat akibat bencana abrasi Sungai Palu yang semakin hari semakin dekat ke permukiman. Sebelumnya, bencana abrasi itu sudah menghanyutkan dua rumah warga dan 15 kuburan.
Awalnya, warga sudah berharap agar pemerintah mau mengatasi bencana tersebut dengan mengeruk aliran baru sungai sehingga tidak lagi melewati pinggiran desa. Hal itu berdasarkan kesepakatan yang dibangun bersama masyarakat Tulo dan Pewunu, Bupati, Kapolres, Dandim, Kepala Dinas. Semua bertanda tangan dalam kesepakatan itu bahwa titik yang akan dijadikan jalur air ada diatas perkebunan kelapa milik warga Pewunu, Kecamatan Dolo Barat yang notabene berbatasan langsung dengan Desa Tulo.
Pihak BWSS sendiri sudah menurunkan alat sebanyak dua kali dengan estimasi anggaran yang hampir mencapai Rp1 miliar. Sayangnya, yang dikeruk bukanlah titik yang telah disepakati. Sehingga, aliran air tetap mengarah ke permukiman masyarakat. mengingat derasnya arus sungai, maka seluruh desa pun terancam akan hanyut.
“Mungkin ada intervensi dari pak Irwan (warga Pewunu, salah satu pengusaha yang ditengarai memiliki hubungan keluarga dengan Gubernur Sulteng). Ini menurut informasi yang disampaikan Bupati Sigi bahwa dia melapor ke gubernur. Makanya saya curiga jangan-jangan ada intervensi atau intimidasi. Memangnya mereka sudah buta matanya, mereka sudah lihat kondisi dan posisi disini. Ini juga Muharram (Wakil Ketua DPRD Sulteng dari PDI-Perjuangan, Dapil Donggala-Sigi), sudah lama dikase tahu, tidak ada reaksi,” kata salah satu tokoh masyarakat Desa Tulo, Sofyan saat mendampingi Anggota DPRD Sulteng, Muh Masykur yang datang meninjau lokasi abrasi, dua hari lalu.
Siapapun yang melihat kondisi itu, lanjut dia, yang diselamatkan harusnya Desa Tulo, bukan Pewunu. Sebab, jarak dari aliran sungai ke Desa Pewunu, Kecamatan Dolo Barat cukup jauh sampai 3 kilometer.
“Sementara kita disini dekat sekali. Koq bisanya pematang yang lebih besar disini, tapi disana (Pewunu) yang diselamatkan,” kesalnya.
Dia mengandaikan, pematang di wilayah Tulo menjulang seperti Gunung Nokilalaki. “Pertanyaannya, ini pemerintah mau menyelamatkan pemukiman dan nyawa orang atau menyelamatkan perkebunan,” kesalnya.
Upaya Bupati Sigi, Muh Irwan Lapatta, menurutnya sudah maksimal. “Dia hampir tiap saat datang kesini, tapi kan kami berpikir diatasnya ada lagi gubernur,” tutupnya.
Menanggapi itu, Gubernur Sulteng Longki Djanggola melalui pesan WA kepada wartawan MAL, menyatakan,
“Silahkan tanyakan ke pak iskandar kadis pu Sigi n bupati sigi . Maaf yah kesepakatan apa yg mereka buat Sy tdk pernah tau n campur. Apa lgi mau intervensi ke Balai sungai . Balai sungai kewenangan apbn n daerah itu di kab sigi mkx silahkan di Tanya ke bupati n pak iskandar n ka Balai sungai . Sebagai wartawan musti nya anda tdk Menerima informarsi sepihak . Tanya juga donk ke masy Pewunu dsktrnya . Masy pewunu juga merasa di dirugikan Oleh kebijakan Balai sungai n kebijakan bupati n iskandar . Tks ” demikian isi WA lengkap Gubernur, tadi malam.
Kepala BWSS III, Yusuf Tambing yang dikonfirmasi media ini, jutru balik bertanya, dari mana informasi bahwa titik galian yang dilakukan itu tidak sesuai dengan kesepakatan. “Tidak sesuai menurut siapa,” katanya dengan nada sinis.
Menurut Yusuf, di lokasi itu, terdapat dua pihak yang sedang berkonflik yakni Desa Tulo dan Pewunu.
“Itu kan ada dua pihak. Anda juga harus tahu, kami tidak mungkin akan bekerja, karena kebunnya orang yang akan dipotong. Di satu sisi, Desa Tulo maunya begini, sementara Desa Pewunu, lain juga maunya. Sehingga apa yang mereka gali, itu sesuai dengan kesepakatan,” ujarnya sinis.
Bahkan, kata dia, dalam melakukan penggalian pihaknya harus dijaga oleh polisi dan tentara, karena adanya ancaman menggunakan dum-dum.
“Justru kami tidak melakukan penggalian lagi, karena tidak ada polisi dan tentara di lokasi. Kami bertugas disitu atas permintaan Bupati dan DPRD setempat,” ungkapnya.
Yusuf kembali menegaskan bahwa pihaknya bekerja membantu masyarakat, sehingga jangan sampai dilibatkan dalam permasalahan tersebut.
Sebelumnya, puluhan warga Desa Tulo bahu membahu menangkal derasnya aliran Sungai Palu dengan karung yang diisi pasir. Tak hanya kaum pria, ibu-ibu di desa itu juga tak mau ketinggalan mengambil peran menyiapkan konsumsi bagi mereka yang tengah berusaha menyelamatkan desa dari ancaman abrasi sungai. (RIFAY/FAUZI)