PALU – Wakil Ketua DPRD Sulawesi Tengah (Sulteng), Aristan, menjadi salah satu narasumber Workshop Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura), Selasa sampai Rabu (29-30/04).
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) dan Yayasan KEHATI melalui Proyek Pengelolaan Lanskap Darat dan Laut Terpadu di Indonesia (SOLUSI).
Hadir pula narasumber Kepala UPTD Tahura Sulteng, Edi Sitorus, serta akademisi kehutanan dari Universitas Tadulako, Dr. Sudirman Dg. Massiri,.
Kegiatan dibuka secara resmi oleh Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRHL), Susanto Wibowo.
Pada kesempatan tersebut, Aristan menekankan pentingnya Tahura Sulteng sebagai kawasan strategis dari sisi ekologi, sosial, dan budaya.
Kata dia, Tahura yang telah ditetapkan sejak tahun 1995 ini telah mengalami berbagai dinamika pengelolaan, mulai dari Dinas Kehutanan Provinsi, BKSDA, hingga kini di bawah UPTD TAHURA.
Selain mengalami perubahan lembaga pengelola, kawasan ini juga mengalami pengurangan luas yang cukup signifikan. Dari awalnya 7.128 hektar pada tahun 1999, saat ini Tahura Sulteng hanya tersisa 5.195 hektar setelah sekitar 1.933 hektar ditetapkan sebagai hutan produksi, yang sebagian besar masuk dalam wilayah konsesi pertambangan.
“Secara ekologis, keberadaan Tahura Sulteng sangat vital karena berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi sejumlah sungai penting seperti Sungai Paneki dan Sungai Pondo. Penurunan debit air dan peningkatan bencana banjir adalah dampak langsung dari terganggunya kawasan ini,” tegas Aristan.
Ia juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis masyarakat dalam menyusun perencanaan pengelolaan Tahura.
Menurutnya, keterlibatan masyarakat sekitar Tahura di lima kelurahan di Kota Palu dan tiga desa di Kabupaten Sigi yang menggantungkan hidup dari kawasan ini, merupakan kunci keberhasilan pengelolaan secara berkelanjutan.
“Tahur Sulteng bukan hanya rumah bagi flora dan fauna langka seperti Anoa, Burung Maleo, dan Kayu Cendana, tapi juga ruang hidup masyarakat yang harus dijaga dan diberdayakan. Pengelolaan ke depan harus mendukung riset, konservasi, pariwisata, dan pelestarian budaya,” ujarnya.
Sebagai representasi legislatif, Aristan menyatakan bahwa DPRD Sulteng akan memberikan dukungan politik melalui penguatan regulasi dan alokasi anggaran yang memadai untuk pengelolaan kawasan.
“Saya berharap setelah lokakarya ini ada komunikasi lintas sektor yang lebih intensif, agar semua pihak bisa menjalankan peran masing-masing secara maksimal. Tahura Sulteng adalah penentu masa depan peradaban di Lembah Palu,” tutupnya.
Sementara itu, Susanto Wibowo, menyampaikan, Tahura Sulteng menghadapi berbagai tantangan, antara lain konflik ruang penghidupan masyarakat, terutama dalam hal pemanfaatan lahan secara turun-temurun.
Selain itu, kata dia, ancaman degradasi ekosistem akibat aktivitas ilegal dan kurangnya pengelolaan kawasan berbasis kolaboratif, serta keterbatasan dokumen rencana pengelolaan yang adaptif dan partisipatif sebagai dasar operasional kegiatan konservasi dan pemanfaatan.
“Oleh sebab itu, penyusunan dokumen rencana pengelolaan ini menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan pengelolaan tahura dapat berjalan terarah, adil, dan berkelanjutan,” jelasnya.
Susanto menyarankan beberapa poin dalam rangka mendukung penyusunan dokumen rencana pengelolaan yang komprehensif, di antaranya menyangkut partisipasi nyata dari semua pihak, dokumen ini harus dibangun dari aspirasi bersama, dengan mendengarkan kebutuhan masyarakat lokal tanpa
mengabaikan prinsip konservasi.
Selanjutnya, integrasikan data pemetaan dan informasi sosial ekonomi, hasil pemetaan partisipatif tentang ruang penghidupan masyarakat, akses dan kontrol terhadap sumber daya, perlu menjadi bahan baku dalam penyusunan rencana.
“Susun zonasi dan strategi pemanfaatan, perlu ada kejelasan antara zona konservasi ketat, zona pemanfaatan, zona religi, pendidikan, wisata, dan zona tradisional,” katanya.
Selain itu, kata dia, perlu penyelarasan dengan kebijakan nasional dan daerah, dokumen ini harus sejalan dengan rencana pengelolaan kawasan konservasi nasional, RPJM daerah, serta mendukung target-target nasional seperti folu net sink 2030.
Kemudian, pengembangan ekonomi berbasis konservasi,dorong pengembangan produk hasil hutan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan berbasis karbon biru dan hijau sebagai sumber ekonomi alternatif bagi masyarakat.
Terakhir, rencana monitoring dan evaluasi dengan menetapkan indikator kinerja untuk memantau pelaksanaan rencana pengelolaan secara berkala.
“Dengan kerja sama yang erat, komitmen kuat, serta semangat konservasi dan pemberdayaan masyarakat, saya optimistis bahwa kita dapat menghasilkan dokumen rencana pengelolaan tahura yang berkualitas dan implementatif,” harap Susanto.
Urib selaku Koordinator Program ROA untuk Implementasi Proyek SOLUSI mengatakan, workshop ini bertujuan untuk menyusun draft rencana pengelolaan Tahura Sulteng yang berbasis pendekatan multipihak yang terintegrasi.
Selain itu, mengintegrasikan pemetaan ruang penghidupan masyarakat dan zonasi kawasan tahura dengan memperhatikan aspek ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya.
“Meningkatkan partisipasi dan komitmen masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan mitra pembangunan dalam pengelolaan kawasan konservasi,” katanya.
SOLUSI merupakan kemitraan antara pemerintah Indonesia (Bappenas) dan pemerintah Jerman (BMUV) melalui Inisiatif Iklim Internasional (IKI) yang diimplementasikan secara bersama oleh konsorsium untuk menangani degradasi lahan dan bentang laut di Indonesia, dengan meningkatkan ketahanan ekosistem, serta mata pencaharian yang dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim. */RIFAY