Menyikapi Islam Sebagai Rahmatan Lil Alamin

oleh -

OLEH : Muhammad Izfaldi

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa salah satu keistimewaan pada agama Islam yakni jati dirinya sebagai rahmatan lil-‘alamin yang telah lama diterapkan serta sangat lekat pada karakteristik Nabi Muhammad Shalaullah Alaihi Wassalam disetiap langkah dan dakwahnya. Belakangan ini kita juga sering mendengar bahwa Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin (Islam adalah rahmat bagi alam semesta). Dan terkadang keistimewaan islam sebagai Ramatan Lil Alamin ini seringkali menjadi lahan eksploitasi yang sangat berlebihan sehingga membuyarkan makna rahmatan lil-‘alamin yang sebenarnya seperti yang sudah dijelaskan mereka para ulama tafsir.

Akan tetapi juga, tak jarang sebutan Islam sebagai rahmatan lil alamin dijadikan justifikasi oleh sebagian kalangan ketika memberikan khutbah dalam sebuah kebaktian agama lain. Olehnya itu melalui tulisan ini kita akan coba mengupas ataupun membuka makna Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin yang saat ini mulai dikaitkan dengan interaksi umat Islam terhadap non Muslim.

Sebagai umat Islam, tentunya kita harus meyakini bahwa Islam sebagai rahmatan lil alamin, karena sebutan Islam sebagai rahmatan lil alamin ini bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Akan tetapi Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin sudah dijelaskan didalam al-Qur’an sebagai salah satu karakteristik yang sangat lekat pada kepribadian Nabi Muhammad Shalaullahu Alaihi Wasallam, yang sudah semestinya kita jadikan contoh untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap Muslim bahkan juga mereka non muslim. Hanya saja, juga tak sedikit orang yang menanyakan termasuk saudara kita yang muslim, apa sebenarnya yang membuat munculnya sebutan islam adalah rahmatan lil alamin.?

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya :

“Allah Ta’ala memberitahukan bahwasanya Ia menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Yaitu Allah mengutus beliau sebagai rahmat bagi mereka semua. Barang siapa yang menyambut rahmat ini dan mensyukurinya, ia akan berbahagia di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang menolak dan menentangnya, ia akan merugi di dunia dan akhirat sebagaimana yang Allah firmankan :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الّذِيْنَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَالْبَوَارِ. جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan. Yaitu neraka Jahannam. Mereka masuk kedalamnya, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. (QS. Ibrahim: 28-29)

Sebutan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin ini juga dikutip dari salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi, “wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS. al-Anbiya’ : 107). Dalam ayat ini, kalimat rahmatan lil-‘alamin secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad Shalaullahu Alaihi Wasallam. Dalam artian, Allah tidak menjadikan Nabi Muhammad Shalaullahu Alaihi Wasallam sebagai sebagai seorang Rasul, melainkan kerasulannya itu menjadi rahmat bagi alam semesta atas apa yang dibawanya.

Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi saw yang pakar dalam bidang tafsir berkata: “Orang yang beriman kepada Nabi Muhammad Shalaullahu Alaihi Wasallam, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad Shalaullahu Alaihi Wasallam, maka tidak akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit.” Demikian penafsiran yang dinilai paling kuat oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya, Al-Durr Al-Mantsur.

Penafsiran di atas juga diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-‘alamin telah menjadi karakter serta kepribadian Nabi Muhammad Shalaullahu Alaihi Wasallam. Ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau, agar mendoakan keburukan bagi orang-orang Musyrik, Nabi Muhammad Shalaullahu Alaihi Wasallam justru menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR. Muslim).

Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan lil alamin memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kerasulan Nabi Muhammad Shalaullahu Alaihi Wasallam. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab tafsir yang ada, kita tidak menemukan keterkaitan makna rahmatan lil-‘alamin dengan sikap toleransi seorang Muslim yang berlebih-lebihan dengan komunitas agama lain. Hal ini jelas bahwa rahmatan lil alamin sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi Muhammad Shalaullahu Alaihi Wasallam. Sebagaimana Rasul adalah seseorang yang mendapatkan wahyu dari Allah tentang suatu ajaran yang harus disampaikannya kepada kepada seluruh ummat. Maka seorang Muslim, dalam menghayati dan menerapkan pesan Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak boleh menghilangkan misi dakwah yang dibawa oleh Islam itu sendiri, seperti dengan memberikan khutbah pada kebaktian agama lain dengan alasan bahwa Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Dengan kata lain seorang muslim tidak boleh menjadikan alasan bahwa islam adalah Rahmatan Lil Alamin ketika bertoleransi saat memberikan khutbah pada agama lain dengan minggalkan misi dakwah Islam yang sebenarnya, sebab diantaranya itu sebenarnya tidak saling memiliki keterkaitan. Justru hal itu hanya akan mengaburkan makna rahmatan lil alamin yang berkaitan erat dengan misi dakwah Islam yang sebenarnya.

Oleh karena itu seorang Muslim harus bertanggungjawab menjalankan misi rahmatan lil alamin, Islam sama sekali tidak melarang umatnya untuk berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapat kita sampaikan kepada ummat lain, jika komunikasi kita dengan mereka tidak berjalan baik. Oleh karena itu, para Ahli Fuqaha atau Ahli Fiqih dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah sunnat kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan untuk menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim.

Sementara di sisi lain, karena seorang Muslim juga bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-‘alamin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam), Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka. Selain itu juga mayoritas ahli fuqaha tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang salah dalam pandangan Islam. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS. al-Ma’idah : 2).

Tentunya besar harapan melalui tulisan ini agar kita sebagai kaum Muslimin senantiasa membawa misi dakwah yang sebenar – benarnya tanpa menggunakan dalih Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin untuk berbagi kasih kepada mereka (Non Muslim). Sebab didalam QS. Al Imran: 19 Allah Subhana Wata’Ala berfirman yang artinya :

Agama yang diridhoi oleh Allah adalah Islam,” (QS.AL Imran : 19)

Dan tentunya juga Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin lebih memiliki keterkaitan dengan kerasulan Nabi Muhammad Shalaullahu Alaihi Wasallam atas apa yang diawa oleh beliau untuk orang – orang yang beriman kepada Allah Subhana Wata’Ala. Sementara rahmat bagi orang kafir bukanlah berkasih sayang kepada mereka. Karena sesungguhnya rahmat bagi mereka orang – orang kafir (Non Muslim) sesuai pendapat para ahli tafsir adalah dengan tidak ditimpah musibah besar layaknya yang menimpa ummat terdahulu.

Jika sekiranya dalam tulisan ini memberikan manfaat bagi kalian semua sungguh itu datangnya dari Allah Subhana Wata’Ala dan jika tulisan ini hanya akan menimbulkan perdebatan yang hebat sehingga timbulnya rasa saling untuk mengucilkan satu sama lain sungguh itu pertanda ketidak dewasaan kita dalam menghadapi perbedaan yang ada. Wallahu A’lam Bisawab…