KONSEP BID’AH MENURUT Al-QUR’AN, AS-SUNNAH DAN ULAMA AHLU SUNNAH

oleh -
Dr. Khairan M Arif, MA

Oleh: Dr. Khairan Muhammad Arif, MA*

BID’AH SECARA BAHASA

1.  Bid’ah dalam Istilah Al-Qur’an:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَإِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

 Artinya adalah “Memulai, mengkreasi dan mencipta sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya” (QS. Al-Baqarah 117).

Ibnu Katsir: Allah menciptakan keduanya tanpa contoh atau bentuk apapun sebelumnya” menurut ibnu katsir. Bid’ah secara bahsa walaapun baru namun ada sumbernya dalam Alquran dan assunnah maka bukan bid’ah (lihat Tafsir Ibnu Katsir) juga (Lihat Ibnu Al-Atsir, An-Nihayah, Vol 1, hal 106)

2.  Dalam As-Sunnah Bid’ah adalah:

عن جابر ابن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Dari Jabir bin Abdullah Rasulullah saw bersabda: Amma ba’du: ” Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Al-Qur’an dan dan sebaik-baik petunjuk adlah petunjuk Muhammad saw. Seburuk-buruknya urusan adalah yg diada adakan (hal baru yg diada-adakan) setiap bid’ah adalah sesat (Lafadz Shahih Muslim) (HR. Muslim No 1435, Abu Daud No 453, Tirmizi No 2601, Ahmad No 13815 Darimi No 208, Ibnu Majah No 45, An-Nasai No 1560)

Dari kata bid’ah dalam hadits di atas bermakna “Semua sesuatu dalam agama Islam yang baru diada-adakan/diciptakan”. (Lihat: Arraghib Al-Ashfahani, Mufradat Alfadzil Qur’an, hal 111, lihat lisanul Arab, vol 8 hal 6).

BID’AH SECARA ISTILAH

Adapun secara Istilah Bid’ah menurut para Ulama:

1. Ibnu Rajab Alhanbali: “Apa yang diadakan tidak ada asalnya/sumbernya dalam syariat yg menujukkan hukumnya, adapun bila ada sumbernya dalam syariat yang menunjukkan keberadaan hukumnya maka bukan bid’ah, walaupun secara bahasa disebut bid’ah” (Lihat: Ibnu Rajab, Jamiul ulum walhikam, hal 160).

Jadi menurut Ibnu Rajab, bid’ah itu harus masalah agama/syariat (aqidah dan Ibadah), kalau bukan masalah syariat yang sudah ditetapkn oleh Allah dan RasulNya maka bukan bid’ah.

Kedua bid’ah itu menurutnya bila tidak ada sumbernya dalam Islam (Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ). Bila ada sumbernya baik langsung maupun tidak maka bukan bid’ah, walaupun secara bahasa (semua sesuatu yang baru) maka bukan bid’ah.

Menurut Ibnu Rajab hati-hati melabelkan bid’ah bila perkara yang dilakukan dalam Islam itu ada sumber dalilnya baik langsung atau tidak. Contoh: Secara teks/nash satu perkara tidak ada nashnya baik Quran, Sunnah dan Ijma’, namun secara makna tafsir dan pandapat mayoritas Ulama bahwa amal tersebut ada isyaratnya dalam Alquran atau hadits atau ijma’, maka amal tersebut tidak boleh disebut bid’ah.

2. Ibnu Hajar Al-Astqalani:  “Semua sesuatu yang diadakan/diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya, yang terjadi dalam syariat, kebalikan dari “sunnah”, maka hukumnya tercela”.(Lihat: Ibnu Hajar, Fathul Bari, Vol 5, hal 156 dan vol 9, hal 17) Jadi menurut Ibnu Hajar bid’ah adalah sesuatu yg baru diciptakan di dalam syariat, lawan dari sunnah, bid’ah seperti ini tercela dalam agama. Namun bila yang baru yg diciptakan itu ada sumbernya dalam syariat maka bukan bid’ah. Contoh Maulid Nabi SAW untuk memperingati lahirnya Nabi bukan bid’ah karena ada sumbernya dalm hadits Nabi “Aku berpuasa hari senin karena hari ini adalh hari kelahiranku” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Daud). Hadits ini umum bolehnya menghormati hari lahir (maulid nabi saw).

3. As-Syatibi berkata: “Bid’ah adalah satu jalan/cara dalam agama yg berasal dari kreatifitas/ciptaan baru, bertentangan dgn syariat, menjadi prilaku dlm syariat dan berlebihan dlm ta’abud/ibadah kepada Allah”(Lihat: As-Syatibi, Al-I’tishom, vol 1, hal 37). Jadi menurut Syatibi, bid’ah adalah tata cara beribadah dalam agama, yang diciptakan diada-adakan bertentangan dengan syariat dan menjadi kebiasaan/prilaku agama dan berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt, seperti sholat diterik matahari, mencambuk diri bila tidak sholat malam dan sebagainya, itu adalah bid’ah. Contoh lain: Menambah- nambah ibadah baru dan membiasakannya seperti puasa mutih, shalat sunnah ribuan rakaat dan sebagaubta ini adalah bid’ah.

4. Ibnu Taimiyah: ” Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sesuatu yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun sunnah. Bid’ah adalah apapun yg menyelisihi Al-Qur’an dan As-sunnah atau Ijma’ salaf, dalam hal i’tiqadat dan ibadaat (aqidah dan ibadah), seperti pandangan kaum khawarij, rawafidh, qadariyah, jahmiyah, beribadah dengan berjoget, nyanyi2 di masjid, orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan mencukur jenggot makan hasyisy, yang menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah”(Lihat: Ibnu Taimiyah, Fatawa, vol 4, hal 107-108).

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa bid’ah: – lebih spesifik kepada semua hal dalm aqidah dan ibadah (selain aqidah dan ibadah tidak boleh dihukumi bid’ah) – Bid’ah itu bila bertentangan atau tidak ada dalam Al-Qur’an, Hadits/Sunnah dan Ijma’ Salaf, baik wajib maupun sunnah. Jadi bila satu ibadah ada dasar ayatnya, atau haditsnya atau hanya ijma’ ulama, maka ibadah itu tidak dapat  disebut bid’ah.

– Bahwa ahlu bid’ah itu bukan sesama ahlu sunnah waljama’ah seprti NU, Muhamadiyah, Ikhwan Muslimin dan semua ormas dan aliran Islam Sunni selain salafiy, akan tetapi menurut Ibnu Taimiyah adalah kelompok selain sunni seperti Syiah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah, Murjiah, Jahmiyah dan lain-lain, bukan sesama Sunni yang mengikuti Alquran, Sunnah dan Ijma
(Lihat: Said bin Ali Al-Qahthani, Nur Sunnah wazulumatul bid’ah, hal 20).

Wallahu a’lam bishawab..

*Penulis adalah Dosen PNS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Pascasarjana UIA Jakarta.