PALU- Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Provinsi Sulawesi Tenggah (Sulteng) dan Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST) memohon kepada pengambil kebijakan agar fisik eks Jembatan Palu IV, baik di sisi timur maupun di sisi barat tetap dipertahankan sebagai situs sejarah kebencanaan Kota Palu, dan lingkungan sekitarnya agar segera dapat ditata secara ekologis dan berkelanjutan.

Permohonan ini disampaikan sebagai respon sekaligus pernyataan sikap atas rencana pembangunan kembali jembatan IV, dengan berbagai alasan pertimbangan.

Ketua IAP Provinsi Sulteng Wildani Pingkan Suripurna Hamzens mengatakan, pasca bencana alam 28 September 2018, Kota Palu harus mampu ditata berbasis sejarah, potensi, dan daya dukung fisik kota, dengan memperhatikan risiko Kota Palu yang rawan terhadap bencana alam.

“Untuk ini telah hadir konsep Taman Bumi atau Palu Geopark City untuk penataan ulang Kota Palu yang berkelanjutan,” kata Pingkan, turut didampingi Sekretaris IAP Sulteng, Renko Hutama Putra dan pengurus IAP Sulteng, Ibnu Mundzir, serta Koordinator KHST, Moh. Herianto di Kafe Tanaris, Jalan Juanda Kota Palu, Senin (9/5).

Ia mengatakan, Kota Palu kiranya ditata sebagai kota sumber ilmu pengetahuan kebumian yang resilient, ekologis, dan dibangun sebagai kota moderen dengan suasana hikmat.

“Sebuah kota yang ditata ulang dengan masyarakat yang cerdas dan maju dengan bekal spirit sejarah kota yang terawat dengan baik dalam ingatan dan juga terawat baik dalam kehidupan keseharian,” bebernya.

Ia mengatakan lagi, penataan kota diharapkan dapat menghadirkan warisan sejarah yang asli di tengah kota, dengan bukti situs sejarah. Lalu situs sejarah itu dapat dirawat berkelanjutan untuk saat ini dan masa depan.

Lebih lanjut menurutnya, pasca bencana 28 September 2018, Kota Palu harus mampu ditata dengan mempertimbangkan aspek sejarah dan aspek kebencanaan. Selain itu, juga hendaknya ditata sebagai kota pusat pengembangan ilmu pengetahuan berkelanjutan.

Adapun penataan kembali Kota Palu, pintanya, diikuti dengan spirit sejarah kota yang terawat, baik dalam ingatan maupun keseharian. 

“Diharapkan, dengan merawat tinggalan sejarah yang ada, dapat menghadirkan sejarah yang asli, terutama mengingat peristiwa bencana 28 September 2018 merupakan bagian dari sejarah Kota Palu. Selain itu, kawasan eks Jembatan IV Palu ini juga, merupakan bagian dari segitiga situs kebencanaan, bersama kawasan likuifaksi Balaroa dan kawasan likuifaksi Petobo,” ujarnya. 

Lanjut Pingkan, dengan keberadaan situs-situs sejarah kebencanaan ini, Palu dapat menjadi laboratorium ilmu kebumian, terutama bagi penelitian kebencanaan sejenis, juga potensi geowisata, dengan lima dimensi alam.

Untuk itu, pihaknya mendorong agar situs Jembatan IV Palu tetap dipertahankan, untuk merawat keaslian sejarah kota, bersamaan dengan upaya penataan dan pendataan situs kebencanaan lainnya. 

“Eks Jembatan Palu empat ini sangat layak untuk dilestarikan. Kemudian kawasan ini ditata menjadi Center of Tsunami Memorial Park dan merupakan ‘magnet’ dalam geowisata sejarah kebencanaan Kota Palu, bersamaan dengan upaya konservasi untuk penataan Area Nalodo (Likuefaksi) Balaroa-Area Nalodo (Likuefaksi) Petobo,” mengakhiri.

Sementara itu, Koordinator Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST), Moh. Herianto mengatakan, sebagai pegiat sejarah dan budaya, keberadaan artefak penting sebagai pengingat akan peristiwa bencana 28 September 2018, juga sebagai pengingat akan peristiwa bencana-bencana sebelumnya. 

“Jika jejak bencana sebelum 28 September 2018 hampir tidak lagi dapat kita temukan, jejak bencana 28 September 2018 masih ada di sekitar kita dan masih bisa dilihat. Namun, pembangunan kembali jembatan di lokasi Jembatan IV, akan menghilangkan salah satu jejak bencana tersebut,” paparnya. 

Ia mengatakan, memang bukan urusan yang gampang untuk menetapkan sebuah situs atau benda menjadi cagar budaya, namun menurutnya, situs-situs peristiwa kebencanaan 28 September 2018 penting untuk dilokalisir. 

“Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, perlu diturunkan menjadi peraturan daerah atau peraturan wali kota, agar penanganan situs-situs seperti ini bisa segera dilakukan,” sebutnya.

” Langkah taktis yang harus dilakukan adalah membuat plang informasi tentang situs tersebut, terlepas apakah situs ini dapat dimasukkan dalam kategori cagar budaya atau bukan. Penanda ini penting, agar orang-orang memahami nilai dari situs tersebut dan juga bisa menjadikan lokasi tersebut sebagai lokasi pembelajaran tentang kebencanaan,” pungkasnya.

Reporter: IKRAM
Editor: NANANG