Belakangan ini, makna toleransi seperti menjadi liar dalam kepala orang-orang. Kekeliruan, membuat penganut fanatik menjadi kebablasan dalam mengartikan, bahkan sampai pada titik merasa wajar ketika turut serta dalam urusan ritual ibadah agama lain.

Toleransi bukanlah mencampuradukkan agama. Toleransi sejati menghargai dan mengakui keberagaman agama serta keyakinan yang berbeda. Toleransi sejati juga tidak berarti meniadakan perbedaan atau mereduksi nilai-nilai agama menjadi satu kesatuan.

Namun, toleransi sebenarnya lebih dari sekadar sebuah konsep yang kadang digaungkan begitu kuat, seakan-akan mereka yang yang enggan terlibat dalam urusan ibadah agama lain, adalah orang-orang yang intoleran, tidak nasionalis, bahkan dituding anti kebhinekaan.

Sesungguhnya, toleransi yang kebablasan itulah yang tidak dibenarkan, karena justru mengabaikan batasan-batasan dan nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Dalam hal ini, seseorang yang terlalu toleran cenderung tidak memperhatikan batasan-batasan yang ada dalam masyarakat.

Karena itu, toleransi yang sebenarnya adalah toleransi yang seimbang dan tidak melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh masyarakat.

Toleransi yang seimbang adalah toleransi yang mampu menghargai perbedaan dan keberagaman, tetapi juga tetap memperhatikan dan mempertahankan hak dan martabat orang lain.

Model toleransi inilah yang dipraktikkan secara konsisten oleh Pendiri Alkhairaat, Habib Sayyid Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua dalam merajut kehidupan di negeri yang kemudian hari menjadi  tempat terakhirnya menutup mata menghadap Rabbul Alamin.

Guru Tua selalu memperlihatkan tauladan yang baik kepada murid-muridnya, tentang bagaimana seharusnya hidup berdampingan dengan orang yang berbeda keyakinan, tentang bagaimana memposisikan diri dalam lingkungan itu tanpa dicap eksklusif oleh kaum minoritas yang berbeda sembahan, juga tentang bagaimana berbaur tanpa harus berpartisipasi dalam ritual ibadah mereka.

Ingatkah kita pada sebuah kisah ketika Guru Tua dengan gampangnya mengajak seorang guru yang juga pendeta pantekosta bernama P. K. Entoh untuk bergabung mengajarkan ilmu Aljabar di Alkhairaat?

Kala itu, madrasah Alkhairaat di awal mula beroperasi, mengalami kekurangan tenaga Guru untuk mengajar secara khusus mata pelajaran Aljabar atau ilmu hitung (matematika), dan saat itu dari kalangan Alkhairaat tidak ada yang menguasai ilmu tersebut.

Mengetahui ada seorang guru di SMA Negeri 1 Palu yang menguasai mata pelajaran itu, , Guru Tua menyuruh utusannya untuk menemui P. K. Entoh. Awalnya P. K. Entoh terkejut bahkan takut untuk memenuhi permintaan Guru Tua.

Alasannya, bagaimana mungkin mengajar di madrasah Alkhairaat yang siswa-siswinya semua beragama Islam, sedangkan dia adalah seorang Kristen dengan jabatan Pendeta. Namun pada akhirnya dia menyetujui permintaan tersebut.

P. K. Entoh mengajar di Alkhairaat mulai tahun 1957-1962 kurang lebih lima tahun. Dalam pengalamannya selama mengajar di Alkhairaat, P.K. Entoh sangat kagum melihat sikap Guru Tua yang sangat menghargainya sebagai seorang yang beragama Kristen dan juga pendeta.

Saksikan akhlak Guru Tua. Saksikan bagaimana caranya menghargai perbedaan dengan sentuhan budi pekerti yang dapat masuk menyentuh hati orang yang berbeda dengannya. Itu semua dia tunjukkan sebagai contoh untuk kita yang kemudian hari menjadikan madrasah warisannya ini, Alkhairaat, sebagai tempat menimba ilmu.

Ketegasan Guru Tua dalam mengaplikasikan makna toleransi juga dapat dilihat dari bagaimana kerasnya ia terhadap salah satu muridnya bernama KH. Abdul Hay ketika berselisih dengan umat kristen.

Suatu waktu, KH. Abdul Hay melihat umat kristen sedang beribadah di Pasar Tua yang notabene dihuni mayoritas Islam, menyanyikan lagu-lagu gereja diiringan dengan alat-alat musik yang keras. Saking jengkelnya, Abdul Hay mengambil beberapa telor dan buah tomat kemudian dilemparkan ke arah pendeta dan jemaah yang sedang kebaktian.

Mengetahui itu Guru Tua pun memberikan peringatan keras kepada Abdul Hay bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Guru Tua tidak ingin, apa yang dilakukan muridnya itu akan berdampak pada pembalasan yang lebih buruk dari mereka.

Masih banyak kisah lain yang menjadi bukti begitu tolerannya Guru Tua ketika menjalani kehidupan dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Status ulama yang disandangnya karena ketinggian ilmu, tidak serta merta menjadikannya arogan dan mengharuskan semua yang ada di sekelilingnya mengikuti ajarannya dalam beragama.

Kesholehan tidak membuatnya fanatik pada satu sisi aturan kehidupan, di mana orang harus memakai kaca mata kuda ketika dalam menerapkan ajaran Islam. Ketika hadir di Bumi Tadulako, Guru Tua sudah memahami secara mendalam budaya animisme turun-temurun yang dianut masyarakat, lalu mengikuti irama itu dengan sentuhan-sentuhan ajaran Islam yang santun, hingga akhirnya berhasil mengikis ajaran tersebut.

Namun satu hal yang belum terdengar dalam kisah perjalanan dakwahnya. Setoleran-tolerannya Guru Tua, belum pernah ada yang mengisahkan dia shalat dalam rumah ibadah orang lain. Tidak juga ada cerita, dia pernah merayakan hari raya agama lain, semisal natalan di gereja P.K. Entoh. Wallahu a’lam.

RIFAY (DIREKTUR PT MEDIA ALKHAIRAAT ONLINE)