Pada pada suatu hari, Harun Ar-Rasyid, salah seorang khalifah pada masa Bani Abasiyah (766-809 M), tampak gelisah. Ia lalu memerintahkan salah seorang pembantunya untuk memanggilkan Abu As-Sammak, salah seorang ulama terhormat dan terkenal jujur pada masanya.
“Nasihatilah aku wahai Abu As-Sammak,” kata khalifah saat Abu as-Sammak telah berada di hadapanya.
Tidak lama kemudian, salah seorang pembantunya membawa segelas air untuk khalifah. Pada saat hendak meminumnya, tiba-tiba Abu As-Sammak menyela, “Tunggu sebentar wahai khalifah. Mohon dijawab dulu pertanyaanku dengan apa adanya. Seandainya Anda haus, lalu segelas air ini tidak ada, berapa harga yang Anda bayarkan untuk menghilangkan dahagamu?” “Setengah dari yang kumiliki,” ujar sang Khalifah dan langsung meminum segelas air tersebut.
Beberapa saat kemudian, setelah sang Khalifah meminum segelas air tersebut, Abu As Sammak bertanya kembali, “Seandainya apa yang telah Anda minum tadi tak dapat dikeluarkan kembali, sehingga mengganggu kesehatan Anda. Berapakah Anda bersedia membayar untuk kesembuhan?” “Setengah dari yang kumiliki,” jawab Khalifah tegas.
“Ketahuilah bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan di dunia yang nilainya hanya seharga segelas air tidak wajar diperebutkan atau dipertahankan tanpa hak dan kebenaran,” kata Abu As-Sammak menimpali jawaban sang Khalifah.
Kisah ini ingin menggambarkan betapa hal mungkin kita anggap bukanlah apa-apa dan biasa, adalah sesuatu yang sesungguhnya sangat penting. Kita tidak menyadari semestinya, seteguk air adalah kenikmatan yang patut kita syukuri. Dan kita akan baru akan merasakan bahwa itu sangat berharga dan bernilai bilamana barang itu tidak ada.
Selain itu, pelajaran lainnya, bahwa kekayaan Harun bukanlah apa-apa, bila dibanding dengan rasa cukup. Senada dalam surat An-Najm ayat yang ke 48 rupanya Allah menjelaskan bahwa lawan dari Kaya Raya adalah merasa cukup. Jadi bukan miskin selama ini yang kita kenal; “dan Dialah yang memberikan kekayaan dan kecukupan” .
Jadi ketika Allah menciptakan kekayaan, Allah sebenarnya memasangkannya dengan kecukupan. Allah tidak menciptakan kemiskinan sama sekali. Hari ini misalnya, kita merasa sangat miskin bilamana kita tidak punya tivi, handphone, sepeda motor, baju hanya beberapa helai saja. Padahal bila dibanding dengan orang terdahulu yang berkecukupan, bahkan orang kaya sekalipun tidak pernah punya benda itu. Tapi mereka merasa tidak miskin.
Jadi miskin adalah jiwa kita, miskin itu adalah perasaan kita, yang tak pernah bersyukur dengan apa yang ada di sekitar kita. Seteguk air pun rupanya sebanding dengan kekayaan seorang Raja Harun Arrasyid. Jadi manusialah yang menciptakan kemiskinan, bukan Allah S.W.T. Allah SWT dalam surah ar-Rahman berkali-kali berfirman, “Nikmat Tuhan mana lagi yang akan engkau dustakan?” Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)