PALU – Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesih Tengah, Sahran Raden, mengatakan, salah satu masalah yang masih sering terjadi di tiap pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah politik identitas yang dipraktikkan masing-masing kelompok.

“Hampir semua momentum pemilu atau pilkada, politik identitas ini selalu ada,” ungkap Sahran Raden saat menjadi narasumber dalam diskusi virtual PPP-KI, Jumat (24/07)

Ia menjelaskan, politik identitas adalah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu.

“Misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri kelompok tersebut,” terangnya.

Kata dia, identitas tersebut dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrem, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Namun, kata dia, politik identitas menjadi masalah jika dipraktikkan secara ekstrim dengan menjatuhkan, memfitnah dan menghina atas nama agama, suku dan ras.

“Jadi agama, suku dan ras dipolitisasi untuk tujuan memenangkan konstestasi pemilihan. Sebab karakter politik pilkada itu adalah rivalitas dan perebutan kursi kekuasaan,” bebernya.

Menurutnya, politik identitas lahir dari dua tujuan, yakni sebagai alat menentukan posisi seseorang atau politisasi dengan mencari kesamaan kelelompok tertentu sehingga memunculkan kepemilikan kelompok secara ekstrim dan sebagai alat yang dibuat untuk mempertegas perbedaan identitas dengan kelompok lainnya.

Selanjutnya, kata dia, bentuk bentuk dari politik identitas ini yakni berupa pengancaman, intimidasi, kekerasan terhadap seseorang atau calon kepala daerah atau kelompok tertentu di ruang publik, baik secara nyata maupun melalui media sosial.

“Dalam pilkada, praktik politik identitas terlihat saat pencalonan dan tahapan kampanye,” katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan, dalam kerangka hukum pilkada sebagaimana dalam UU 10 Tahun 2016, syarat pencalonan dan syarat calon bersifat universal dan berlaku untuk siapa saja.

Selain itu, kerangka hukum pemilu juga melarang setiap orang dalam kampanye melakukan tindak kekerasan, menghina, mengintimidasi dalam bentuk apapun.

“Politik identitas dengan ekstrem digunakan dalam pilkada akan mengggangu demokrasi lokal di daerah,” katanya.

Untuk mencega itu, kata dia, dibutuhkan pemilu atau pemilihan yang berintegritas. (RIFAY)