Awalnya status Pantoloan diklasifikasikan sambungan Pelabuhan Donggala sehingga pada saat peresmian disebutkan segala aktivitas administrasi masih dipegang Pelabuhan Donggala. Hal itu berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor: DPP 30/1/19 ditetapkan di Jakarta tanggal 28 Maret 1978 ditandatangani Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Laksamana Muda TNI. Haryono Nimpuno.
Sebagai pertimbangan dalam SK tersebut yaitu; a) bahwa dengan selesainya pembangunan Pelabuhan Pantoloan di Daerah Sulawesi Tengah perlu adanya pengaturan lebih lanjut guna pembinaan pengelolaan dan pengembangan di kemudian hari. b) bahwa Pelabuhan Pantoloan terletak berdekatan dengan Pelabuhan Donggala berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: 0.10/3/21-MPHB, tanggal 20 Juni 1969 telah ditetapkan sebagai pelabuhan diusahakan. c) bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna efektivitas pembinaan, pengelolaan dan pengembangan dipandang perlu menetapkan Pelabuhan Pantoloan sebagai verlengstuk (sambungan) dari Pelabuhan Donggala.
Inti keputusan tersebut ada tiga hal; Pertama Pelabuhan Pantoloan sambungan dari Pelabuhan Donggala pengelolaan dan pengembangannya dilaksanakan oleh Kepala Pelabuhan Donggala. Kedua; Hal-hal mengenai pembinaan pelabuhan lebih lanjut dari Surat Keputusan ini akan diatur dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah VII Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Manado. Ketiga: Surat Keputusan ini dimulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Dalam perkembangan sesuai kebijakan pemerintah tentang pengalihan fungsi utama pelabuhan ke Pantoloan terutama kapal berkapasitas besar, maka status Pelabuhan Donggala terbalik dari sebelumnya. Pantoloan bukan lagi sambungan dari Pelabuhan Donggala, tapi Pelabuhan Donggala hanya jadi Kawasan Pelabuhan Pantoloan. Pelabuhan Pantoloan diperuntukkan bagi pelayaran Dalam Negeri dan Luar Negeri dikembangkan jadi pelabuhan utama di Sulawesi Tengah secara efektif sejak 1981.
Ada ratusan buruh dan warga di Donggala dan sekitarnya kehilangan akses ekonomi dan sosial secara berangsur-angsur mengalami kevakuman. Kapal penumpang milik PELNI dan kapal cargo juga dialihkan ke Pantoloan membuat “kekagetan sosial” yang tak terbayangkan.
Pada dekade 1970-an pengelolaan Pelabuhan Donggala ditangani Jawatan Pelayaran Ekonomi (JAPEK). Pada dekade 1980-an pengelola ditangani Perusahan Umum (Perum) Pelabuhan IV kemudian sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1991 berubah menjadi Perusahan Perseroan (Persero) Pelabuhan Indonesia (PELINDO) IV di dalamnya Pelabuhan Donggala dijadikan kawasan PT PELINDO Cabang Pantoloan.
Posisi Pantoloan semakin kuat dengan adanya Surat Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perhubungan Nomor 28 dan Nomor K.M. 44 Tahun 1993 ditetapkan di Jakarta tanggal 27 Pebruari 1993 Tentang Batas-Batas Daerah Lingkungan Kerja Periran dan Daerah Lingkungan Kerja Daratan Pelabuhan Pantoloan/Donggala.
Dalam surat tersebut menguraikan luas lingkungan kerja perairan dan darat cukup luas dengan batas lingkungan kerja perairan lebih kurang 681,90 ha. Sedangkan batas lingkungan kerja daratan meliputi dua lokasi, yaitu pangkalan Kapal Samudra dan Nusantara di Pantoloan luasnya 105.330 meter persegi. Khusus kawasan Pelabuhan Donggala untuk pangkalan kapal lokal dan kapal rakyat kurang lebih 6.640 meter persegi.
Setelah melalui perjuangan berbagai pihak akhirnya tahun 2016 Wilayah Kerja Pelabuhan Donggala terpisah dari Pantoloan dengan berdirinya Kantor UPP (Unit Penyelenggara Pelabuhan) disahkan Menteri Perhubungan RI Ignatius Jonan.
Sayang, tidak lama bertahan hanya tiga tahun (2016-2019) seiring perubahan status Pelabuhan Pantoloan dari kelas III menjadi kelas II, maka UPP Donggala dihapus dan dilebur dalam KSOP (Kesyahbandaran Otoritas dan Pelabuhan) Kelas II Teluk Palu berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 76 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor KSOP.
Pelabuhan Teluk Palu (pusatnya di Pantoloan) memiliki wilayah kerja Wani, Donggala, Labuan, Dalaka, Toaya, Masaingi, Tibo, Batusuya, Alindau, Tompe, Sibayu, Loli Oge, dan Surumana. Itu artinya Pelabuhan Donggala secara administrasi dan historis serta pendapatan keuangan daerah “dihilangkan.”
Fathurahman Mansur, mantan dosen Fakultas Teknik UNTAD menyebut hal ini sebagai “Pantoloanisasi” Pelabuhan Donggala.
Setelah kawasan pelabuhan baru terbangun, apakah statusnya tetap bagian dari Pelabuhan Teluk Palu atau bisa berdiri sendiri secara pengelolaan administrasi? Jawaban pertanyaan itu butuh waktu, entah kapan. Yang pasti sejak tahun 1980-an, pelabuhan Donggala berada dibawah bayang-bayang Pantoloan.
*Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya/Wartawan Senior Media Alkhairaat