OLEH: Jamrin Abubakar*

PELABUHAN Donggala yang pernah diperhitungkan dalam pelayaran dunia internasional (pusatnya di Kelurahan Boya), kini telah dibongkar (untuk tidak menyatakan dirusak) pada Januari 2022 lalu. Dermaga sepanjang delapan puluh meter dibangun tahun 2013 itu, kini tinggal kenangan.

Dermaga yang tersisa tinggal satu unit buatan lama. Selanjutnya pemerintah mulai membangun pelabuhan baru di antara batas Kelurahan Tanjung Batu dengan Kabonga Kecil, masih dalam wilayah Kota Donggala. Tepatnya di kawasan jalan lingkar Anjungan Gonengganti, saat ini diawali penimbunan kolam di tengah jalan lingkar dikerjakan PT. WIKA, salah satu perusahaan BUMN

Padahal pelabuhan Donggala lama pascagempa dan tsunami tahun 2018 banyak dikunjungi kapal melakukan bongkar-muat barang. Utamanya pengiriman bantuan logistik dari luar bagi korban di wilayah Donggala, Palu dan Sigi. Bahkan di dermaga itu sempat dilakukan bongkar bahan bangunan dan pupuk dari kapal besar bertonase 1000 GT hingga 2600 GT.

Dengan bersandarnya kapal ribuan GT pascabencana ketika itu menurut Almubin Marwata, SH, MH (58 tahun) saat menjabat Kepala Kantor Wilayah Kerja (Wilker) Pelabuhan Donggala, terjawab sudah terhadap berbagai isu cukup lama kalau seakan-akan Pelabuhan Donggala tidak layak. Apalagi kalau dianggap tidak memenui syarat untuk pembongkaran barang skala besar dan tidak siapnya tenaga kerja, kenyataannya semua berjalan lancar.

“Karena selama ada kebijakan pemerintah mengarahkan aktivitas bongkar muat barang diprioritaskan di Donggala pasti mengalami peningkatan ekonomi masyarakat seperti era 1970-an,” kata Almubin yang telah pensiun sejak April 2020.

Bagi masyarakat Kota Donggala, pelabuhan bagai urat nadi perekonomian, sehingga saat vakum banyak buruh menganggur. Apalagi sejak aktivitas dan pembangunan sarana lebih fokus di Pantoloan dengan mengabaikan Donggala yang semula merupakan induk, kemudian hanya jadi wilayah kerja (Wilker) dari Pantoloan.

Berdasarkan laporan rekapitulasi kunjungan kapal tahun 2018 di Wilker Pelabuhan Donggala, kapal container sebanyak 64 dengan isi kotor 205.443 ton, kapal tanker 114 dengan isi kotor 405.534 ton dan kapal tunda jumlahnya 823 unit dengan isi 128.934 ton. Sedangkan kapal tongkang selama kurun 2018 itu sebanyak 774 unit dengan isi 1.442.864 ton dan Kapal Layar Motor (KLM) hanya 39 dengan total isi 1010 ton.

Praktis jumah total kapal bertonase dibawah 500 GT pada tahun 2018 masuk di Donggala sebanyak 862 unit dengan total muatan 129.944 ton. Adapun kapal nasional di atas 500 GT sebanyak 952 kapal total isi kotor 2.053.841 ton.

Sedangkan data kunjungan tahun 2019 di Wilker Donggala terdapat kapal barang 46 unit dengan total isi kotor 43.290 ton, kapal container 67 unit dengan isi kotor 223.164 ton, kapal tanker 116 unit dengan isi kotor 425.480 ton.

Selain itu pada kurun tahun 2019 terdapat pula kapal tunda 28 buah dengan isi kotor 4.159 ton, kapal tongkang 27 dengan isi kotor 49.451 ton dan KLM 34 unit dengan isi kotor 9.655 ton.

Dengan demikian total jumlah kapal dibawah 500 GT dalam tahun 2019 sebanyak 62 unit dengan isi kotor 13.814 ton dan kapal di atas 500 GT sebanyak 257 unit dengan total isi kotor 741.385 ton.

Sayang, pendataan bongkar-muat barang dan kunjungan kapal selama ini tidak masuk pencatatan BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Donggala, melainkan masuk Kota Palu atas nama Pantoloan. Persoalan regulasi dan administrasi cukup lama mewarnai pergulatan secara pasang-surut walau secara historis pelabuhan ini mulanya induk administrasi difokuskan di Donggala sebagai gerbang Sulawesi Tengah.

Pada akhirnya berubah akibat “permainan” politik dengan memfokuskan pembangunan di Kota Palu secara administrasi tahun 1978 dibentuk Kota Administratif (Kotif) bersamaan pengalihan fungsi utama pelabuhan ke Pantoloan. Perintisan pembangunan mulai tahun 1975 dan diresmikan penggunaannya oleh Menteri Perhubungan RI saat itu, Roesmin Nurjadin pada tanggal 2 Mei 1978. Akibatnya berdampak pada perekonomian dan kondisi sosial masyarakat kota Donggala.

Awalnya status Pantoloan diklasifikasikan sambungan Pelabuhan Donggala sehingga pada saat peresmian disebutkan segala aktivitas administrasi masih dipegang Pelabuhan Donggala. Hal itu berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor: DPP 30/1/19 ditetapkan di Jakarta tanggal 28 Maret 1978 ditandatangani Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Laksamana Muda TNI. Haryono Nimpuno.

Sebagai pertimbangan dalam SK tersebut yaitu; a) bahwa dengan selesainya pembangunan Pelabuhan Pantoloan di Daerah Sulawesi Tengah perlu adanya pengaturan lebih lanjut guna pembinaan pengelolaan dan pengembangan di kemudian hari. b) bahwa Pelabuhan Pantoloan terletak berdekatan dengan Pelabuhan Donggala berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: 0.10/3/21-MPHB, tanggal 20 Juni 1969 telah ditetapkan sebagai pelabuhan diusahakan. c) bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna efektivitas pembinaan, pengelolaan dan pengembangan dipandang perlu menetapkan Pelabuhan Pantoloan sebagai verlengstuk (sambungan) dari Pelabuhan Donggala.

Inti keputusan tersebut ada tiga hal; Pertama Pelabuhan Pantoloan sambungan dari Pelabuhan Donggala pengelolaan dan pengembangannya dilaksanakan oleh Kepala Pelabuhan Donggala. Kedua; Hal-hal mengenai pembinaan pelabuhan lebih lanjut dari Surat Keputusan ini akan diatur dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah VII Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Manado. Ketiga: Surat Keputusan ini dimulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Kawasan Anjungan Gonenggati yang dialihjan menjadi pelabuhan baru Donggala. (FOTO: media.alkhairaat.id/Jamrin AB)

Dalam perkembangan sesuai kebijakan pemerintah tentang pengalihan fungsi utama pelabuhan ke Pantoloan terutama kapal berkapasitas besar, maka status Pelabuhan Donggala terbalik dari sebelumnya. Pantoloan bukan lagi sambungan dari Pelabuhan Donggala, tapi Pelabuhan Donggala hanya jadi Kawasan Pelabuhan Pantoloan. Pelabuhan Pantoloan diperuntukkan bagi pelayaran Dalam Negeri dan Luar Negeri dikembangkan jadi pelabuhan utama di Sulawesi Tengah secara efektif sejak 1981.

Ada ratusan buruh dan warga di Donggala dan sekitarnya kehilangan akses ekonomi dan sosial secara berangsur-angsur mengalami kevakuman. Kapal penumpang milik PELNI dan kapal cargo juga dialihkan ke Pantoloan membuat “kekagetan sosial” yang tak terbayangkan.

Pada dekade 1970-an pengelolaan Pelabuhan Donggala ditangani Jawatan Pelayaran Ekonomi (JAPEK). Pada dekade 1980-an pengelola ditangani Perusahan Umum (Perum) Pelabuhan IV kemudian sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1991 berubah menjadi Perusahan Perseroan (Persero) Pelabuhan Indonesia (PELINDO) IV di dalamnya Pelabuhan Donggala dijadikan kawasan PT PELINDO Cabang Pantoloan.

Posisi Pantoloan semakin kuat dengan adanya Surat Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perhubungan Nomor 28 dan Nomor K.M. 44 Tahun 1993 ditetapkan di Jakarta tanggal 27 Pebruari 1993 Tentang Batas-Batas Daerah Lingkungan Kerja Periran dan Daerah Lingkungan Kerja Daratan Pelabuhan Pantoloan/Donggala.

Dalam surat tersebut menguraikan luas lingkungan kerja perairan dan darat cukup luas dengan batas lingkungan kerja perairan lebih kurang 681,90 ha. Sedangkan batas lingkungan kerja daratan meliputi dua lokasi, yaitu pangkalan Kapal Samudra dan Nusantara di Pantoloan luasnya 105.330 meter persegi. Khusus kawasan Pelabuhan Donggala untuk pangkalan kapal lokal dan kapal rakyat kurang lebih 6.640 meter persegi.

Setelah melalui perjuangan berbagai pihak akhirnya tahun 2016 Wilayah Kerja Pelabuhan Donggala terpisah dari Pantoloan dengan berdirinya Kantor UPP (Unit Penyelenggara Pelabuhan) disahkan Menteri Perhubungan RI Ignatius Jonan.

Sayang, tidak lama bertahan hanya tiga tahun (2016-2019) seiring perubahan status Pelabuhan Pantoloan dari kelas III menjadi kelas II, maka UPP Donggala dihapus dan dilebur dalam KSOP (Kesyahbandaran Otoritas dan Pelabuhan) Kelas II Teluk Palu berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 76 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor KSOP.

Pelabuhan Teluk Palu (pusatnya di Pantoloan) memiliki wilayah kerja Wani, Donggala, Labuan, Dalaka, Toaya, Masaingi, Tibo, Batusuya, Alindau, Tompe, Sibayu, Loli Oge, dan Surumana. Itu artinya Pelabuhan Donggala secara administrasi dan historis serta pendapatan keuangan daerah “dihilangkan.”

Fathurahman Mansur, mantan dosen Fakultas Teknik UNTAD menyebut hal ini sebagai “Pantoloanisasi” Pelabuhan Donggala.

Setelah kawasan pelabuhan baru terbangun, apakah statusnya tetap bagian dari Pelabuhan Teluk Palu atau bisa berdiri sendiri secara pengelolaan administrasi? Jawaban pertanyaan itu butuh waktu, entah kapan. Yang pasti sejak tahun 1980-an, pelabuhan Donggala berada dibawah bayang-bayang Pantoloan.

*Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya/Wartawan Senior Media Alkhairaat