Disorientasi Pembangunan

oleh -
Moh. Ahlis Djirimu

Penulis: Moh. Ahlis Djirimu*

Perencanaan Pembangunan, terdiri atas perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, serta umpan balik. Keberhasilan pembangunan, 50 persen ditentukan oleh perencanaannya, sedangkan 50 persen lainnya ditentukan oleh implementasi, monev, maupun tidak lanjut umpan balik. Semuanya terukur dari indikator output dan outcome. Dokumen RPJMD Provinsi Sulteng telah melalui proses penyusunan dan penyajian yang patuh pada 648 regulasi. Dokumen perencanaan ini disusun lebih awal sejak pertengahan Januari 2021 dengan harapan saat April 2021 atau saat lini masa Musrenbang RKPD 2022, amanah Visi, Misi, Program pemerintahan periode 2021-2024 tertampung. Hasilnya adalah terdapat 214 program yang terbagi atas 24 program mendukung Misi 1 dan Misi 8 yang intinya fokus pada digitalisasi layanan Pendidikan dan Kesehatan. Misi 2 mencakup 28 Program fokus pada Supremasi Hukum dan Reformasi Birokrasi. Misi 3 mencakup 75 program paling banyak yang fokus pada Penanggulangan Kemiskinan. Misi 4 mencakup 30 program yang fokus pada Peningkatan Infrastruktur Daerah. Misi 5  mencakup 11 program yang fokus pada penanganan kesenjangan antar daerah. Misi 6 meliputi 18 program yang fokus pada Pembangunan Berkelanjutan termasuk Green Economy dan Green Budget, Green Banking yang akan terukur dari PDRB Hijau, Asuransi Hijau, Asuransi Bencana, Transfer Anggaran berbasis Ekologi (TAPE), pembangunan rendah carbon. Misi 7 meliputi 3 program fokus pada kerjasama antar daerah, serta Misi 9 mencakup 3 program mengamanahkan penyiapan janji Politik Pemerintah Provinsi Sulteng atas adanya pemenuhan syarat-syarat Daerah Otonom Baru. Selain itu, RPJMD telah pro-disabilitas dan green RPJMD yang didampingi oleh Kemendagri dan Kemenkeu. Ringkasan Eksekutif dan intisari presentasi RPJMD telah disiapkan bagi konsumsi bacaan pimpinan daerah melalui Bappeda.

Amanah Presiden Jokowi pada Agustus 2017 menyatakan bahwa saat ini, paradigma pembangunan yang diterapkan adalah Uang Mengikuti Program, Program Mengikuti Hasil, meninggalkan Paradigma Uang Mengikuti Fungsi melalui Permendagri Nomor 86 Tahun 2017. Konsekuensinya, pembangunan berorientasi pada pencapaian Misi, sehingga penekanannya pada urusan. Urusan yang mendukung pencapaian misi inilah yang alokasi anggaran programnya paling besar, setelah menunaikan amanah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Dasar dan amanah dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kedua regulasi tersebut mensyarakatkan 20 persen minimal komitmen anggaran pada urusan Pendidikan dan minimal 10 persen anggaran pada Urusan Kesehatan. Konsekuensi lain dari paradigma ini adalah, adanya kenyataan bahwa Perangkat Daerah yang tidak mendukung pencapaian Misi, hanya dialokasikan anggaran rutin semata. Apakah hal ini terjadi di Sulteng? Pengambil kebijakan yang menjalankan fungsi pengawasan yang menjawabnya.

Selanjutnya, untuk memenuhi amanah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran Dalam Pembangunan Nasional, dokumen jabaran RPJMD dalam Renstra dan Renja OPD secara general tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang setiap tahun ditelurkan oleh Bappeda sebagai leading sector perencanaan. Lalu Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh Sekretaris Provinsi memimpin penyelarasan Perencanaan dengan Penganggaran, yang secara tehnis tertuang dalam sinkronisasi RKPD dan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Pada tataran ini, hal merupakan tupoksi tehnis Pemerintah Daerah, tetapi keselarasannya terjamin karena secara digital. Keselarasannya telah terukur dan tersistem dalam Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) sesuai Permendagri Nomor 70 Tahun 2019, Permendagri Nomor 90 Tahun 2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan Daerah yang secara rinci terjabar dalam Kepmedagri Nomor 050-3708 Tahun 2020 dan 050-5889 Tahun 2021. Walaupun belum semua, perangkat daerah relatif telah membaca regulasi setebal 4000 halaman tersebut sehingga pemahaman mereka sangat dalam yang tercemin dari pendampingan selama ini dan adanya kesamaan pola pikir dalam perencanaan pembangunan.

RPJMD mencantumkan indikator kinerja Kepala Daerah yakni Laju Pertumbuhan Ekonomi, Angka Kemiskinan, Angka Ketimpangan yang tercemin dari Indeks Gini, Indeks Pembangunan Manusia, Tingkat Pengangguran Terbuka, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup. Selanjutnya, enam indikator tersebut terjabarkan dan terbagi habis dari eselon 2, eselon 3, sampai dengan eselon 4 maupun fungsional. Provinsi  ini belum terbiasa bekerja berdasarkan indikator.

Indikator pertama, laju pertumbuhan ekonomi Sulteng pada Tahun 2021 mencapai 11,70 persen. Pada Triwulan I 2022 mencapai 11,07 persen dan Triwulan II 2022 mencapai 11,17 persen. Capaian ini melampaui target Laju Pertumbuhan Ekonomi Sulteng dalam RPJMD yang diperkirakan mencapai 9,95 persen pada 2022. Kinerja pemerintahan ini terukur secara riil pada Tahun 2022. Kita tidak dapat menjustifikasi adalah buah dari usaha kita karena peran swasta khususnya di Morowali dan Banggai sangat besar. Pada sisi produksi, laju pertumbuhan ekonomi Triwulan II ini 33,32 persen dicapai oleh Sektor Transportasi dan Pergudangan yang menggeliat lagi setelah Covid-19 menurun, 19,99 persen oleh Sektor Industri Pengolahan, dan 16,89 persen dicapai oleh Sektor Pertambangan dan Penggalian. Sementara Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi dan Sektor Administrasi Pemerintahan justru memberikan kinerja negatif pada perekonomian Sulteng masing-masing -2,98 persen dan -13,79 persen. Kontribusi terbesar dalam perekonomian Sulteng pada Triwulan II disumbangkan oleh Sektor Industri Pengolahan mencapai 32,70 persen, disusul oleh Sektor Pertanian sebesar 18,90 persen dan Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 17,20 persen. Dari tiga sektor di atas, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan semuanya berbasis pada migas dan logam dasar. Artinya kinerja di hulu (upstream) terletak pada wilayah kerja migas dan pertambangan umum yang tidak dapat diperlakukan sama, karena mahalnya biaya eksplorasi dan eksploitasi. Tentu peran besar ada pada pihak swasta. Sulteng berjasa karena PT. Donggi-Senoro LNG dapat menerangi tujuh prefektur di Jepang. Pemerintah Provinsi Sulteng mengambil peran pada sektor pertanian. Sub sektor pangan dan hortikultura dan perikanan menjadi primadona. Di sektor pangan dan hortikultura, orientasi pembangunannya hanya jangka Panjang dengan membangun Kawasan Pangan Nusantara (KPN) di Talaga. Dalam RPJMD telah dijelaskan adanya Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) di Tolitoli, Poso, Parigi Moutong, Sigi, yang tidak perlu melakukan pembebasan lahan. Potensi sungai sangat besar karena didukung oleh agroklimatologi dan adanya sungai besar seperti dijelaskan dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Sulteng Tahun 2021-2026. Inilah disorientasi pembangunan yang pertama. Masa depan Sulteng itu ada di laut. Garis pantai Sulteng mencapai 6.600 km, tetapi devisa yang dihasilkan hanya kurang dari US$2 juta. Thailand yang mempunyai Panjang garis pantai 3.400 km dapat menghasilkan US$8,90 miliar dan Vietnam mempunyai Panjang garis pantai 3.200 km dapat menghasilkan 8,20 miliar. Sulteng berarti setara dengan dua negara ASEAN. Sulteng merupakan satu-satunya provinsi yang mempunyai 4 Wilayah Pengolahan Perikanan (WPP), tetapi daerah lain yang mengambil manfaat.

Pada sisi pengeluaran, Kinerja Triwulan II 2022 ditentukan oleh kinerja ekspor sebesar 136,60 persen dan Pembentukan Modal Domestik Bruto 43,50 persen. Oleh karena itu, sangat naif bila menjustifikasi bahwa keberhasilan ini ditentukan oleh figur tunggal satu pemerintahan,  karena pemerintahan ini efektif mulai 16 Juni 2021. Selain itu, ada usaha dari pemeritahan sebelumnya selama 1 Januari-15 Juni 2021, dan ada usaha pemerintah kabupaten/kota yang tidak dapat diabaikan. serta mengabaikan pihak lain seperti swasta yang berkiprah di Sulteng.

Kedua, selama Tahun 2021, angka kemiskinan menurun dari Maret 2021 sebesar 13,00 persen menjadi 12,18 persen pada September 2021. Sangat naif menjutifikasi bahwa penurunan angka kemiskinan tersebut sebesar 0,82 persen merupakan buah dari usaha Pemerintah Provinsi Sulteng saat ini. Sepatutnya memahami bahwa kinerja pembangunan Tahun 2022 merupakan buah dari hasil kerja di Tahun 2021. Saat itu, pemerintahan transisi. Inilah yang dinamakan dengan jedah waktu (time lag). Selain itu, masyarakat miskin di Sulteng merupakan wilayah tupoksi kabupaten dan kota. Akumulasi keberhasilan kabupaten/kota itulah dalam menurunkan angka kemiskinan yang patut diapresiasi. Apakah pencapaian penurunan angka kemiskinan pada 2021 dapat diclaimed merupakan kerja pemerintahan ini? Hal ini membutuhkan diskusi Panjang karena, claim sepihak dapat membuat ketersinggungan Pemerintah Kabupaten/Kota yang seolah-olah tidak berbuat apa-apa dengan APBD kabupaten/kotanya. Dalam kurun waktu 2020-2021, dua belas kabupaten/kota dapat menurunkan angka kemiskinan, kecuali Buol yang angka kemiskinannya meningkat dari 13,93 persen menjadi 14,10 persen. Seharusnya, fenomena ini menjadi pertanyaan kritis agar memunculkan komitmen membantu kabupaten yang angka kemiskinannya naik, agar tidak menjadi pengurang dari kinerja penurunan kemiskinan.

Begitu pula dengan Pemerintah Pusat yang sudah banyak memberikan program jaringan pengaman sosial untuk penanganan dampak Covid-19 melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Selanjutnya, pada Maret 2022, angka kemiskinan ini meningkat lagi dari 12,18 persen pada September 2021 menjadi 12,33 persen pada 2022. Inilah kinerja riil pemerintahan sekarang yang disebabkan oleh belum satupun program pemberdayaan masyarakat miskin yang berjalan. Jikapun ada yang berjalan, hanyalah pemberian “hagala” pada Rumah Tangga Miskin (RTM) sebesar Rp1 juta yang diberikan saat jelang Hari Raya Idul Fitri 1443H, namun pemberian ini bias waktu karena BPS telah selesai melakukan survei yang dalam SOPnya hanya dilakukan pada Maret dan September. Oleh karena itu, akan lebih tepat di Tahun 2023, bila Program Perlindungan Sosial dan dukungan pada pengeluaran RTM diberikan pada Januari-Maret 2023, karena hasilnya akan terlihat pada Survei Kemiskinan Maret 2023. Selain, Pemerintah Provinsi Sulteng melalui Tim Pemantau Inflasi Daerah (TPID) sebaiknya mengantisipasi kenaikan harga-harga pada September 2022 yang disebabkan secara langsung oleh Inflasi Inti, seperti sayur mayur, ikan katamba, selar, malalugis/sorihi, bawang merah, tabung gas melon, minyak goreng. Riset Bank Indonesia Perwakilan Sulteng menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM subsidi berdampak secara tak langsung pada perekonomian Sulteng, sehingga kebijakan yang diterapkan tidak secara sporadis tanpa kajian yang riil. Selain itu, volatiled food di Sulteng dominan menjadi pendorong inflasi adalah tomat, cabe rawit dan buncis, sesuatu yang sebenarnya melimpah di Sulteng.

Dalam RPJMD, program unggulan 100 miliar ke kabupaten/kota teralokasi dalam program yang ada di Bab 7. Keseluruhan ada 75 program mencakup keseluruhan Rp323 miliar yang ditargetkan sesuai kinerja fiskal Sulteng. Peta jalannya ada di dalam RPKD, lalu dijabarkan lagi dalam Rencana Aksi Tahunan (RAT) Penanggulangan Kemiskinan secara spasial, terinci hingga ke sasaran By Name By Address (BNBA). Sayangnya, baik RPJMD, RPKD, KLHS tidak dibaca secara utuh untuk menjadi panduan dalam pengambilan kebijakan. Inilah disorientasi yang kedua.    

  Disorientasi ketiga terletak pada kepuasan atas capaian bahwa angka pengangguran telah menurun dari 3,75 persen pada Agustus 2021 menjadi 3,67 persen pada 2022. Penurunan ini merupakan implementasi PEN Pemerintah Pusat yang memberikan subsidi Rp600 ribu kepada pekerja yang berupah Rp3,5 juta ke bawah yang keseluruhan alokasi anggarannya Tahun 2022 mencapai Rp9,6 triliun. Demikian pula dengan Kartu Pra-Kerja merupakan inisiatif Pemerintah Pusat. Inisiatif pemberian BPJS-Tenaga Kerja oleh Pemerintah Sulteng baru saat ini diinisiasi bagi 31 Desa Sangat Tertinggal dan 436 Desa Tertinggal. Bila ingin diluncurkan, sebaiknya, menyasar pada 58.260 jiwa penganggur di Sulteng sesuai data Februari 2022.

Disorientasi keempat, paradigma pembangunan masih menganut Uang Mengikuti Fungsi, artinya, anggaran terdistribusi berdasarkan “konsep bagi-bagi pizza pembangunan”. Hal ini tentu bergantung pada Komitmen dan Konsistensi Pemerintah Daerah, yang sebaiknya diperbaiki melalui digitalisasi keuangan daerah dan perubahan paradigma ke Money Follow Program, Program Follow Result.

Disorientasi ini, jika masih tetap berlanjut, perkiraan kami angka kemiskinan masih akan meningkat pada September 2022.

*Penulis adalah Staf Pengajar FEB-Untad