PALU – Polemik di wilayah konsesi pertambangan emas di Kelurahan Poboya, Kota Palu, dinilai perlu dijernihkan agar tidak menjadi liar dan menimbulkan banyak opini.
Pemerhati Sosial dan Lingkungan, Abdi Losulangi, angkat bicara mengenai polemik ini. Kata Abdi, keberadaan Kontrak Karya (KK) yang dimiliki PT PT Citra Palu Minerals (CPM) di Poboya, tidak sesederhana yang dibayangkan.
Beberapa waktu lalu, sejumlah pihak melakukan aksi demonstrasi dengan sejumlah tuntutan. Salah satu yang disuarakan adalah meminta penghentian aktivitas CPM di Poboya, juga mencabut izin pertambangan yang dimiliki anak perusahaan Bumi Resource Minerals (BRMS) tersebut.
“Jika ada pihak-pihak yang menolak kehadiran CPM untuk melakukan aktivitas di wilayah konsesinya di Poboya, bisa dipastikan mereka tidak paham aturan dan mau mengaburkan fakta sesungguhnya,” tegas Abdi, Selasa (11/03).
Sebab, kata dia, Kontrak Karya PT CPM itu diperoleh melalui mekanisme persetujuan dari DPR RI dan dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia.
“Sehingga kalau ingin mengeluarkan CPM dari wilayah Poboya tentu juga harus melalui mekanisme persetujuan DPR RI dan Presiden,” jelasnya.
Kata dia, kalaupun Kontrak Karya CPM dicabut oleh pemerintah, maka CPM masih punya celah hukum melakukan gugatan ke Pemerintah Indonesia di Mahkamah Arbitrase di Den Hag Belanda.
“Jika dalam perjalanannya, CPM menang dalam gugatan di Mahkamah Arbitrase, mau tidak mau Pemerintah Indonesia harus mengembalikan hak pengelolaan pertambangan milik CPM itu,” jelas aktivis ’98 ini.
Sebaliknya, lanjut dia, jika Pemerintah Indonesia menang dalam gugatan di Mahkamah Arbitrase, maka tentu akan berdampak pada trust atau kepercayaan terhadap Indonesia di mata negara-negara lain.
Abdi juga menyinggung polemik yang sedang terjadi antara PT CPM dengan kontraktornya, yaitu PT Adijaya Karya Makmur (AKM).
“Sepengetahuan saya, AKM merupakan pihak kedua yang melakukan kontrak dengan CPM dalam hal penyediaan alat berat. Itu berawal dari surat dari Pemerintah Kota Palu saat itu Drs. Hidayat yang menganjurkan agar CPM sebagai pemilik kontrak karya merehabilitasi lubang-lubang tambang ilegal di Poboya,” tutur Abdi.
Kata dia, hal itulah yang melatarbelakangi PT CPM melakukan kontrak kerja sama dengan AKM, dalam hal penyediaan alat-alat kerja pertambangan.
Di kemudian hari, lanjut dia, PT AKM diduga justru melakukan pengolahan, dalam hal ini perendaman dengan mengakomodir cukong-cukong tambang ilegal yang mengatasnamakan tambang rakyat.
Kata Abdi, dugaan perendaman yang dilakukan AKM ini justru keluar dari kesepakatan kerja sama dengan CPM. Sebab, secara aturan, CPM-lah yang sebenarnya berhak melakukan pengolahan di wilayah konsesi.
“Dengan begitu, secara otomatis pihak yang melakukan aktivitas pertambangan selain CPM sudah tentu merupakan kategori illegal mining atau penambang ilegal,” tegasnya.
Ia kembali menegaskan, siapapun yang melakukan penambangan, bahkan Macmahon sekalipun (kontraktor CPM), tidak boleh.
“Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini pihak kepolisian wajib menghentikan pelaku tambang ilegal di wilayah Poboya,” harapnya. */IKRAM