Siapa “Orang Kuat” dibalik Terbitnya SK MEN LHK Untuk PT.HIP

oleh -
Bupati Buol Amirudin Rauf

Terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor: 517/MEN LHK/Setjen/PLA.2/II/2018 untuk PT. Hardaya Inti Plantation (HIP) seluas 9.964 hektar untuk dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit di Kabupaten Buol, mengejutkan, sekaligus menuai tanya dan kontroversi dari banyak kalangan. Tidak hanya bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buol, tetapi juga dari pegiat lingkungan.

Terbitnya surat keputusan tersebut, selain dinilai melanggar sejumlah peraturan dan undang-undang, juga ada dianggap janggal. Pasalnya, di tengah menurunya harga sawit, pihak kementerian justru masih nekad mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

Bahkan sejak awal, Bupati Buol, Amirudin Rauf dalam sebuah pertemuan dengan instansi terkait yang dipimpin langsung Gubernur Sulteng Longki Djanggola, dengan tegas sudah menolak pelepasan kawasan atau perluasan tanah untuk perkebunan kelapa sawit.

“Sehingga usai pertemuan tersebut tidak ada lagi masalah. Namun tiba-tiba keluar SK Menteri LHK. Berbagai upaya sudah kami dilakukan dengan menyurati semua lini, bahkan Presiden, guna menyampaikan adanya upaya yang dilakukan oknum tertentu untuk melakukan pelepasan kawasan ini dan kami tidak setujui,” tutur Bupati Buol, Amiruddin Rauf, pada sebuah pertemuan yang difasilitasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pemberdayaan Masyarakat Desa, di salah satu kafe di Kota Palu, belum lama ini.

Tetapi, kata dia, pihaknya mendapati kenyataan bahwa SK Menteri LHK itu tetap juga dikeluarkan.

 

BERLAKUNYA PEPATAH “DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT”

 

Kekesalan Sang Bupati cukup beralasan. Di tengah sikap tegas dan mati-matian menolak adanya perluasan lahan untuk sawit di daerahnya. Tapi di sisi lain ada kekuatan yang dianggap cukup besar sehingga membuat pihaknya tidak bisa berbuat banyak.

“Dalam hal ini berlaku pepatah, di atas langit masih ada langit,” kata Bupati dua periode itu.

Lalu siapa yang “bermain” di balik terbitnya SK yang dimaksud. Apakah pihak provinsi atau langsung di kementerian. Sampai hari ini pun, dia mengaku tidak mengetahui sama sekali. Sebab di pihaknya sudah ditelusuri dan tidak ada yang berani bermain di balik layar untuk menggolkan SK tersebut.

“Artinya, segala upaya dilakukan Pemkab, dinafikan dengan keluarnya SK tersebut,” katanya.

SK tersebutlah yang menjadi sebab musababnya. Menjadi dasar pelepasan kawasan oleh instansi terkait, baik tingkat provinsi dan pusat, melalui izin prinsip yang dikeluarkan Menteri Kehutanan.

Di mana dalam izin prinsip itu disebutkan bahwa lahan pencadangan untuk perkebunan PT. HIP seluas 36 ribu hektare.

Namun, kata dia, dalam poin 5 izin prinsip itu disebutkan bahwa hanya berlaku enam bulan. Bilamana dalam waktu enam bulan tidak ditindaklanjuti dalam bentuk tata batas, maka izin prinsip itu batal demi hukum.

“Tata batas mereka lakukan lebih dari satu tahun kemudian, tahun 1998 dan diperbaharui kembali tahun 2014,” tuturnya.

Ada beberapa alasan mendasar yang membuat Pemkab Buol mati-matian menolak perluasan perkebunan kelapa sawit di daerah itu. Di antaranya, kawasan yang dimohonkan adalah seluas 10.000 ribu hektar, di mana dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Buol, tidak diperuntukan untuk kawasan perkebunan, tetapi menjadi kawasan cadangan daerah.

Kemudian, lanjut dia, kajian lingkungan hidup strategis dilakukan akademisi dan para ahli, merekomendasikan bahwa Kabupaten Buol tidak boleh lagi ada pelepasan kawasan atau perluasan perkebunan kelapa sawit karena sudah melampaui daya dukung lingkungan.

“Selain itu didasarkan pada konservasi sumber air. Di areal 10 ribu hectare ini, wilayah tangkapan atau cadangan air untuk beberapa sumber irigasi, di antaranya Irigasi Modo yang mengairi 1500 hektare sawah rakyat terancam kering. Demikian halnya dengan Irigasi Binangun,” tuturnya.

Secara empiric, kata dia, dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit di Buol, ada beberapa daerah pertanian yang tadinya subur, kini tidak produktif lagi.

Lebih lanjut, PT. HIP adalah perusahaan yang masih memiliki masalah hukum, setelah ditangkapnya mantan Bupati Buol Amran Batalipu dan pemiliknya, karena kasus suap.

“Sayangnya, kasus suapnya saja yang diproses hukum, tapi objek yang menyebabkan terjadinya suap tidak pernah tersentuh, yaitu 5.951 ribu hektare lebih perkebunan sawit yang berada di luar HGU,” ungkapnya.

Alasan lainnnya adalah adanya Peraturan Menteri Agraria yang menyatakan bahwa satu konsorsium hanya boleh menguasai 20 ribu hektare dalam satu provinsi. Sementara PT. HIP justru telah menguasai 32 ribu hektare.

“Artinya PT. HIP juga telah melabrak Aturan Menteri Agraria. Semuanya dilabrak,” sesalnya.

Bahkan, kata dia, hadirnya perkebunan kelapa sawit di Buol, lebih banyak mudharatnya, daripada manfaatnya.

Bahkan kata dia, dalam uji petik yang dilakukan pihaknya, kecamatan yang memiliki areal sawit, adalah yang termiskin.

 

BANYAK REGULASI DITABRAK

 

Direktur Eksekutif WALHI Sulteng, Abdul Haris menilai, ada beberapa regulasi yang dilanggar dengan keluarnya SK Menteri KLHK tersebut.

Pelanggaran yang dimaksud, di antaranya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Perkebunan Kelapa Sawit, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 86 Tahun 2018 tentang Tanah Objek Reforma Agraria, Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Kabupaten Buol Nomor: 4 tahun 2012.

Kemudian Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 104 Tahun 2015 tentang Tatacara Perubahan untuk Pelepasan Kawasan Hutan, kajian lingkungan hidup strategis, Peraturan Menteri LHK Nomor: P.51 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi.

Lebih jauh lagi, dia melihat adanya tumpang tindih antara kebijakan Negara, dengan implementasinya.

Haris menilai, ada muatan politis dari terbitnya SK tersebut seiring dengan momentum menjelang pileg dan pilres.

“Motifnya tidak lain untuk pembiayaan pemilu,” katanya.

Ada dugaan, kata dia, upaya yang dilakukan kementerian adalah untuk memastikan pendanaan pilpres.

“Semangat Presiden Jokowi ingin mendistribusikan lahan, tercoreng dengan dilepaskanya izin perkebunan sawit di Buol ini,” katanya.

Dalam Nawacita Jokowi, tutur Haris, akan didistribusikan lahan sekitar 12 juta hectare yang terdiri dari 4 juta untuk objek tanah reforma agraria dan 9 juta untuk perhutanan sosial.

Distribusi lahan itu tertuang dalam Perpres Nomor: 85 Tahun 2018, di mana Presiden memerintahkan Menteri LHK sebagai pemangku kepentingan, untuk memastikan kawasan hutan dikelola rakyat dan segera dilakukan pelepasan untuk diberikan kepada masyarakat.

“Dan Bupati Buol sejak pertama terpilih telah melakukan redistribusi lahan,” ujarnya.

Sehingga, kata dia, terbitnya SK itu mengambarkan kontradiktifnya antara kebijakan Presiden untuk mendorong pendistribusian lahan dengan keputusan Menteri LHK.

Sementara Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Buol, Rusli, mengatakan, ada indikasi pelanggaran yang dilakukan PT. HIP, yakni mengusahakan pembebasan 5.951 hektare di luar Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki.

Kata dia, PT. HIP telah melakukan proses usulan pelepasan kawasan hutan ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebanyak dua kali.

“Yang pertama pada Tahun 1998 seluas 19.122 hektare. Kemudian usulan kedua seluas 32 ribu hectare guna mendapatkan legitimasi kawasan hutan tersebut,” ujarnya.

Akan tetapi, kata dia, pada usulan kedua ini tidak ditindak lanjuti dalam proses pelepasan kawasan hutan.

Sementara Bagian Hukum Pemkab Buol, Suparman Marhum, mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih mengkaji keluarnya SK Menteri LHK tersebut dari dua sisi, yakni dari sisi administrasi dan sisi substansi.

Terpisah, Kuasa Hukum Pemkab Buol, Amerullah, menilai, keluarnya SK Menteri LHK merupakan senjata PT HIP untuk menghindar dari jeratan hokum, sekaligus menjadi salah satu instrumen hukum guna mendapatkan HGU.

Kuasa Hukum Amerullah

Amerullah menjelaskan, dari hasil temuan Pemkab, terdapat areal perkebunan yang berada di luar HGU sekira 5.190 hektare, terdiri dari Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lain (APL).

Selain itu, lanjut dia, ditemukan areal perkebunan sawit yang berada diluar izin HGU, sekira 1.107 hektare yang merupakan hutan kawasan yang belum dilakukan pelepasan, terletak dalam kawasan hutan produksi dan hutan produksi konversi.

“Lebih mencengangkan lagi adalah permohonan PT. HIP pada Tahun 2015 terkait penetapan batas ulang atas areal seluas sekitar 10.028 hektare,” kata Amerullah.

Menurut Amerullah, PT. HIP ingin melepas sandraan status hukum, karena telah berapa kali dilaporkan serta dianggap kementerian merupakan satu tindak pidana.

Pemerintah Buol sendiri telah membiayai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sekitar Rp300 juta untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Pada saat itu telah dilakukan pul baket dan gelar perkara, tetapi kesimpulannya tidak ditemukan satu alat bukti dan bukan satu tindak pidana.

“Inilah yang sangat mengherankan,” ucapnya.

Bahkan, kata dia, telah dilakukan aksi unjuk rasa di kementerian untuk menolak upaya pelepasa kawasan hutan tersebut dan telah dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditunjang dengan bukti surat-surat.

Tapi belakang hari, KPK mengembalikan berkas-berkas dan menyatakan lembaganya tidak berwenang menangani kasus tersebut.

“Padahal KPK-lah yang menangkap mantan Bupati Buol Amran Batalipu dalam kasus suap kepada pemilik PT. HIP,” ujarnya.

Menurut dia, tindakan itu nyata sebagai perbuatan melawan hokum, di mana melakukan satu aktifitas perkebunan di luar areal HGU.

“Sehingga berdasarkan analisis dan kajian, dimungkinkan ada persengkokolan penguasa dan kekuasaan, sehingga adanya pelanggaran nyata yang dianggap biasa saja,” imbuhnya.

 

REKOMENDASI MORATORIUM SAWIT DI BUOL

 

Koordinataor Tim Kajian Lingkup Strategis (KLS), Zulkifli mengatakan, dari kajian yang dilakukan, baik dari sisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), akhirnya pihaknya merekomendasikan moratorium perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol.

Sebab kata dia, luas hutan Kabupaten Buol saja hanya sekitar 40 ribu hectare. Sementara, perkebunan sawit inti saja sudah mencapai 30 ribu hektar, itupun di luar plasma.

“Jadi sekitar 20 persen Kabupaten Buol sudah dimiliki kelapa sawit,” katanya.

Sementara itu, dari 10 ribu hektar yang diusulkan untuk dibebaskan tersebut, posisinya tidak layak untuk perkebunan.

Yang mengherankan, kata dia, keluarnya SK Menteri LHK tersebut di saat harga sawit dunia turun, tapi mereka masih memaksakan perluasan perkebunan sawit. (IKRAM)