Proyek KPN Dampelas Dijamin Tidak Mengganggu Ekosistem Danau dan Hutan Lindung

oleh -
Anggota Advicer, Tim Transisi Pembangunan KPN, Datu Wajar Lamarauna saat menunjukkan lokasi Danau Talaga, Ahad (25/09). (FOTO: media.alkhairaat.id/Rifay)

Sementara itu, masyarakat setempat yang terlibat sebagai Konsultan Pendamping Proyek KPN, Saiful Pagesa, menambahkan, akan ada akses jalan kurang lebih 26 kilometer (km) karena sejauh ini yang baru dibuka itu kurang lebih baru 9,8 km.

Ia menjelaskan, dari total kurang lebih 1.123,59 hektar potensi yang ada di area tersebut, yang bisa dimanfaatkan hanya sekitar 70 persen atau 850 hektar, karena ada buffer zone sekitar 100 meter untuk membatasi kawasan dengan hutan lindung dan laut.

“Arahan awal, pemanfaatan ruang kita betul-betul memperhatikan aspek lingkungan,” ujar Ketua Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Sulteng itu.

Selain buffer zone, lanjut dia, juga ada area konservasi, di mana terdapat area tebing yang tidak bisa dimanfaatkan. Selain itu ada ruang terbuka hijau (RTH) yang esxisting lapangannya berupa alur-alur sungai sehingga tetap dipertahankan kondisinya.

Konsultan pendamping proyek KPN, Saiful Pagesa memantau pembangunan instalasi air di lokasi KPN. (FOTO: IST)

Kemudian untuk hutan lindung sendiri, lanjut dia, sebagian besar memang masih hutan, tetapi ada sebagian wilayahnya yang telah dimanfaatkan masyarakat untuk perkebunan, kelapa dalam dan cengkeh. Kemungkinan, kata dia, di awal-awal karena masyarakat belum mengerti tentang status hutan tersebut.

“Status hutan lindung itu sendiri sudah lama ditetapkan, hanya memang tata batas kawasan belum dilakukan, baru sekitar lima tahun terakhir. Sehingga masyarakat sempat protes kenapa perkebunan mereka masuk sebagai kawasan hutan lindung, padahal sebenarnya pemerintah yang lambat menentukan tata batasnya,” jelasnya.

Namun, saat ini, kata dia, masyarakat juga sudah teredukasi bahwa wilayah yang mereka garap itu adalah hutan lindung. Masyarakat sudah meminta kepada pemerintah untuk memfasilitasi penurunan status karena memang mereka sudah mengolah sejak tahun 70-an (kurang lebih hampir 40 tahun).

“Ada arahan dari Dinas Kehutanan bahwa bisa saja diturunkan statusnya atau ada program lain HKM (Hutan Kemasyarakatan) melalui kelompok-kelompok untuk mengolah lahan yang ada tetap dengan komoditi kehutanan,” ujarnya.

Secara pasti, kata dia, luasan yang digunakan masyarakat belum dihitung, namun pastinya di atas 100 hektar. Yang terdata di awal, kurang lebih 50-an KK dan saat ini masih terus dilakukan pendataan.

“Itu juga yang kemudian nanti akan menjadi sasaran dari program KPN ini, mereka yang statusnya sebagai petani kelapa dan sebagainya,” pungkas Alumni Fakultas Kehutanan, Universitas Tadulako itu. (RIFAY)