DONGGALA – Aktivitas proyek Kawasan Pangan Nasional (KPN) di Desa Talaga, Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), dijamin tidak akan mengganggu ekosistem yang ada di sekitarnya.

Eskosistem yang dimaksud adalah Danau Talaga dan Hutan Lindung yang berada di pinggir kawasan food estate penunjang pangan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur itu.

Anggota Advicer, Tim Transisi Pembangunan KPN Sulteng, Datu Wajar Lamarauna, Ahad (24/09), mengatakan, khusus untuk Danau Talaga, sudah dipastikan tidak akan terganggu karena selain jaraknya yang mencapai 14 kilometer (km) ke lokasi KPN, juga dibatasi bentangan Gunung Sitangke.

“Jadi tidak mungkin terganggu. Selain itu, akan dibangun buffer zone sebagai pembatas antara lokasi KPN dengan lahan di sekitarnya. Jadi sangat terlindung,” kata Datu.

PLTS untuk memenuhi kebutuhan listrik di lokasi KPN. (FOTO: media.alkhairaat.id/Rifay)

Demikian halnya dengan hutan lindung, kata dia. Demi melindungi habitat hutan lindung tersebut, pihaknya juga akan memasang buffer zone sepanjang 100 meter. Kawasan hutan lindung sendiri tidak akan diganggu sama sekali, meskipun hanya untuk pembuatan akses jalan.

Ke depan, lanjut dia, akses jalan akan dibuka melingkari kawasan, tidak hanya sampai di titik nol KPN yang hanya berjarak kurang lebih 9 kilometer (km).

“Tetapi akses jalan tetap akan dibuka sejauh 26 km, mulai dari Desa Kambayang ke Dusun I Bayabi, Desa Talaga,” jelas salah satu tokoh masyarakat Kecamatan Dampelas itu.

Selain itu, lanjut dia, dalam kawasan juga akan disediakan instalasi listrik menggunakan pembangkit tenaga surya serta instalasi air yang bisa dipakai oleh petani di dalam maupun luar kawasan.

Hal senada juga dikatakan Sekretaris Pelaksana, Tim Transisi Pembangunan KPN Sulteng, Muhammad Ridha Saleh. Ia mengatakan, secara tata ruang, lokasi KPN adalah wilayah perkebunan yang sudah diolah sejak 30 tahun lalu.

“Makanya di dalam KKKPR (Keterangan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) yang dikeluarkan Bupati Donggala kepada Gubernur Sulteng, ini adalah clear sebagai wilayah pertanian, bukan hutan,” tegas Ridha Saleh.

Edang, sapaan akrabnya juga menunjukkan peta di mana terdapat hutan lindung yang sama sekali tidak diganggu dalam proyek tersebut.

“Ini (menunjukkan peta di sisi lokasi KPN yang berstatus hutan lindung) yang pernah diusulkan menjadi proyek REDD+ (Reducing Emission from Deforestration and Forest Degradation/proyek pemberian insentif positif bagi negara berkembang yang bersedia dan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan) seluas 72 hektar,” jelasnya.

Di dalam kawasan sendiri, kata dia, juga disediakan barrier atau buffer zone yang mengitari kawasan sekitar 100 hektar. Karena sebagai barrier, maka pohon-pohon yang ada juga tidak ditebang, ditambah dengan kawasan konservasi dan ruang terbuka hijau.

“Jadi totalnya bisa mencapai 200 hektar lahan yang tidak diolah untuk penanaman. Jadi dalam kawasan ini tetap ada tegakkan yang dipertahankan,” ungkapnya.

Dari peninjauan langsung wartawan ke lokasi KPN yang telah dibuka, tidak ada satupun hasil tebangan kayu yang dibawa keluar sebagaimana yang diisukan selama ini. Semuanya masih berada dalam kawasan.

Sementara itu, masyarakat setempat yang terlibat sebagai Konsultan Pendamping Proyek KPN, Saiful Pagesa, menambahkan, akan ada akses jalan kurang lebih 26 kilometer (km) karena sejauh ini yang baru dibuka itu kurang lebih baru 9,8 km.

Ia menjelaskan, dari total kurang lebih 1.123,59 hektar potensi yang ada di area tersebut, yang bisa dimanfaatkan hanya sekitar 70 persen atau 850 hektar, karena ada buffer zone sekitar 100 meter untuk membatasi kawasan dengan hutan lindung dan laut.

“Arahan awal, pemanfaatan ruang kita betul-betul memperhatikan aspek lingkungan,” ujar Ketua Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Sulteng itu.

Selain buffer zone, lanjut dia, juga ada area konservasi, di mana terdapat area tebing yang tidak bisa dimanfaatkan. Selain itu ada ruang terbuka hijau (RTH) yang esxisting lapangannya berupa alur-alur sungai sehingga tetap dipertahankan kondisinya.

Konsultan pendamping proyek KPN, Saiful Pagesa memantau pembangunan instalasi air di lokasi KPN. (FOTO: IST)

Kemudian untuk hutan lindung sendiri, lanjut dia, sebagian besar memang masih hutan, tetapi ada sebagian wilayahnya yang telah dimanfaatkan masyarakat untuk perkebunan, kelapa dalam dan cengkeh. Kemungkinan, kata dia, di awal-awal karena masyarakat belum mengerti tentang status hutan tersebut.

“Status hutan lindung itu sendiri sudah lama ditetapkan, hanya memang tata batas kawasan belum dilakukan, baru sekitar lima tahun terakhir. Sehingga masyarakat sempat protes kenapa perkebunan mereka masuk sebagai kawasan hutan lindung, padahal sebenarnya pemerintah yang lambat menentukan tata batasnya,” jelasnya.

Namun, saat ini, kata dia, masyarakat juga sudah teredukasi bahwa wilayah yang mereka garap itu adalah hutan lindung. Masyarakat sudah meminta kepada pemerintah untuk memfasilitasi penurunan status karena memang mereka sudah mengolah sejak tahun 70-an (kurang lebih hampir 40 tahun).

“Ada arahan dari Dinas Kehutanan bahwa bisa saja diturunkan statusnya atau ada program lain HKM (Hutan Kemasyarakatan) melalui kelompok-kelompok untuk mengolah lahan yang ada tetap dengan komoditi kehutanan,” ujarnya.

Secara pasti, kata dia, luasan yang digunakan masyarakat belum dihitung, namun pastinya di atas 100 hektar. Yang terdata di awal, kurang lebih 50-an KK dan saat ini masih terus dilakukan pendataan.

“Itu juga yang kemudian nanti akan menjadi sasaran dari program KPN ini, mereka yang statusnya sebagai petani kelapa dan sebagainya,” pungkas Alumni Fakultas Kehutanan, Universitas Tadulako itu. (RIFAY)