“Kalau baca cerita rakyat, atau fabel, bagus dengan metode dongeng,” ucap Ilma, mengomentari siswanya yang baru saja menceritakan kembali cerita Timun Emas.
Guru mata pelajaran Kimia itu masih menerapkan pembiasaan membaca 15 menit sebelum memulai pelajarannya di pagi hari.
Ia berharap cerita Timun Emas atau cerita serupa tidak lagi menjadi pilihan bagi siswanya, apalagi sudah kelas XII, untuk dibacakan kembali ataupun diulas.
Tetapi ia menyadari bahwa membaca tidak dapat dipaksa dan dikontrol. Jika pun demikian, ia meminta siswanya melestarikan dongeng atau banunut ke adik-adik mereka.
Pemilik nama lengkap Nur Ilma Yaby itu merupakan alumni Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Tano Bonunungan (dulu Madrasah Ibtidaiyah Swasta/MIS). Ia lalu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Banggai dan SMA Negeri 1 Banggai.
Ilma menginginkan kuliah jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) karena kendala ekonomi. Begitu pula yang dipesankan orangtuanya. Kuliah di PGSD hanya memakan waktu dua tahun, dan bisa langsung menjadi guru SD setelah lulus.
Ia kemudian mendaftar jurusan itu sebagai pilihan pertama dan Kimia untuk pilihan kedua, dengan mengikuti seleksi masuk Perguruan Tinggi bebas tes. Ketika pengumuman, ia lulus di jurusan Kimia.
Ilma berusaha menggapai keinginannya. Ia bahkan mencoba mengambil formulir pendaftaran lagi untuk kembali mengadu keberuntungan. Tetapi, hal itu urung dilakukan karena dorongan dan saran dari guru SMA-nya yang pernah menjadi Kepala SMAN 1 Banggai.
“Saya pilih kimia, nanti kalo sudah jalan perkuliahan, saya bisa pindah jurusan. Begitu pula saran guru saya itu, Pak Ahmad, yang waktu itu mengajar Biologi. Tetapi pindah jurusan tidak mudah. Saya akhirnya tetap kuliah di jurusan Pendidikan Kimia, tahun 1993 dan selesai tahun 1999, lama saya kuliah. Saya sendiri sebenarnya lebih tertarik biologi. Tapi Pak Ahmad bilang kalau orang biologi sudah banyak,” terang Ilma.
Ketika selesai wisuda, guru yang berjasa memberinya saran itu langsung menelepon, memintanya kembali, menjadi guru honorer di SMAN 1 Banggai. Ketika ia diwawancarai bertepatan dengan 23 tahun ia mengabdi, dari 18 Januari 2000 hingga 18 Januari 2023. 1 Desember 2002, ia mengikuti tes CPNS.
“Honor pertama itu, hitungannya Rp2500/jam, per bulan. Kalau torang mengajar 10 jam dalam seminggu, itu 25 ribu. Saya ingat, saya terima honor pertama itu, sampai di rumah itu uang saya buang di koi (ranjang). Saya bilang, Ya Allah mama, pe suak (capek sekali) mengajar baru depe doi (gajinya) cuma bagini. Saya hambur itu uang di koi, saya menangis, saya rasa tidak sebanding dengan kerjaan. Cuma mama saya bilang, sabar, orang bahonor harus sabar,” kenangnya sambil tertawa mengingat tingkah lakunya kala itu.
23 tahun menjadi guru kimia,15 tahun di dalamnya ia mengelola perpustakaan. Di perpustakaan itulah dia menyambut awak media ini dengan kemeja putih dari balik komputer kerja. Beberapa alat peraga pelajaran Kimia tertata di atas mejanya.
Ilma, sapaannya, mengelola perpustakaan sejak tahun 2006/2007. Perempuan berusia 47 tahun itu adalah salah satu guru yang konsisten mengembangkan giat literasi di sekolah.
“Mau menjadi pengelola itu, salah satunya karena dorongan dan minat berliterasi. Saya memang hobi buku dari sekolah. Jadi ketika ditunjuk kepala sekolah, saya setuju. Waktu itu juga saya bendahara komite, jadi kalau saya juga full jam di kelas, akan keteteran,” ujarnya sambil tersenyum lebar.
Dahulu namanya Pengelola Perpustakaan, sekarang sudah Kepala Perpustakaan. Menjadi kepala perpustakaan di Dapodik terhitung 12 jam pelajaran. Jadi dia yang guru sertifikasi, mengajar 12 jam pelajaran di kelas, dan 12 jam pelajaran di Perpustakaan, cukup 24 jam pelajaran untuk menerima tunjangan, yang mulai diperolehnya tahun 2009.
15 tahun menyaksikan ekosistem literasi di SMAN 1 Banggai, dia mengatakan geliat literasi sudah berkembang, meski perpustakaan belum memiliki banyak koleksi buku non-pelajaran. Sebab pengadaan buku-buku pelajaran dialokasikan dari dana BOS. Setiap siswa kelas XI dan kelas XII dibagikan buku paket.
Satu siswa mendapatkan 14 buku sesuai dengan jumlah mata pelajaran. Mereka akan mengembalikan buku itu untuk digunakan adik kelas mereka ketika mereka naik kelas. Sedangkan untuk buku-buku non-pelajaran, kebanyakan disumbangkan oleh alumni, atau kenalan dan kerabat guru.
“Kalau dana BOS, kita lebih fokus ke buku mata pelajaran, karena memikirkan kepentingan siswanya terpenuhi dari segi mata pelajaran. Nah, untuk koleksi yang lain, itu biasanya kita dapat dari alumni. Kan kalau yang lulus kelas 12 begitu, diwajibkan menyumbang buku. Sumbangan tapi wajib, hehehe. Atau alumni yang menyumbangkan buku bacaan, tanpa diminta,” terang ibu 3 tiga anak itu.
Menyisir rak-rak buku di bagian selatan ruangan, buku-buku penunjang pembelajaran memang banyak menempati tempat itu. Tetapi buku-buku bacaan, novel, buku motivasi, puisi, juga tersedia meski jumlahnya kalah banyak. Di bagian utara ruangan, buku-buku sastra lama, novel terjemahan, autobigrafi diletakkan dalam lemari kaca.
Sementara di bagian tengah perpustakaan, deretan bangku kayu panjang seringkali terisi penuh oleh siswa yang diarahkan gurunya untuk belajar di perpustakaan. Siswa yang berkunjung untuk membaca di luar jam pelajaran, jam istirahat misalnya, masih sangat jarang. Kebanyakan mereka meminjam buku untuk dibaca di rumah.
Perpustakaan SMAN 1 Banggai menerima buku apa saja, bahkan novel picisan. Di rak buku, novel-novel Maria Cecilia dan Freddy S masih menghuni perpustakaan sejak dulu. Komik-komik Jepang juga begitu, menambah ragam bacaan yang sedikit itu. Buku-buku yang masuk ke perpustakaan dicek kelayakannya, dengan memastikan bahwa buku tersebut tidak mengandung pornografi dan terorisme.
“Sekarang anak-anak, lumayanlah, yang suka baca, dan pinjam buku. Yang pinjam buku-buku sastra, ya memang yang benar-benar suka.”
Giat literasi terus dimasifkan, salah satunya adanya komunitas literasi sekolah. Komunitas literasi sekolah pada awalnya adalah program pemilihan Duta Literasi SMAN 1 Banggai bulan Oktober 2022, di mana setiap kelas X dan XI mengirimkan dua perwakilan, putra dan putri untuk mengikuti pemilihan Duta Literasi.
Setelah Duta Literasi terpilih, Ilma dan timnya merasa sayang jika kegiatan itu berakhir begitu saja dengan menyisakan dua pemenang. Sehingga dibentuklah komunitas literasi.
Beberapa siswa, baik yang tergabung dalam komunitas literasi maupun tidak, menaruh minat yang cukup tinggi pada literasi. Mereka bahkan rajin mengikuti kompetisi menulis, tulisan mereka dibukukan, bahkan ada yang menulis novel di aplikasi menulis online.
Ke depan, Ilma berujar, sekolah melalui komunitas literasi akan mencoba mengaktifkan kembali pojok baca. Selain itu, berdasarkan hasil rapat guru, pembiasaan membaca 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai, akan diaktifkan kembali setiap Selasa-Jumat. Senin tidak ada, karena upacara bendera, dan Sabtu, agenda literasi dikhususkan dengan durasi lebih lama, 60 menit yang berpusat di lapangan tengah.
Agenda 60 menit itu seringkali dikemas menarik oleh tim literasi sekolah, Ilma dkk. Membaca buku nampak membosankan dan benar-benar melelahkan bagi yang tidak suka. Karenanya, di sabtu pagi itu, mereka kadangkala mendeklamasikan puisi, bernyanyi, atau unjuk bakat yang dimiliki.
“Tiap Sabtu, yang reviewnya bagus itu diberi hadiah biar cuma 50 ribu, sebagai motivasi. Meski begitu, tetap ada yang protes, mereka tidak suka membaca, dan katanya kami memaksa mereka. Tapi hal-hal baik itu harus dipaksa. Tidak mudah, membikin dorang paham bahwa membaca itu penting, bagi yang sudah merasakan manfaatnya, ya bagus,” tuturnya.
Lagu dari Letto, Ruang Rindu, mengiringi ibu dari Fajar Fitrawan (21), Annisa Diandra (17), dan Adinda Humairah (12) itu tersenyum. Kulitnya yang putih berkilat ketika ia menerima dua dus sumbangan buku dari salah satu orangtua siswa. Karya-karya terjemahan dari Sandra Brown, dan buku-buku sastra lainnya diterima Ilma dengan hati penuh bunga. Pasalnya, ada buku yang sejak dulu sangat ingin ia baca.
“Saya ingat itu ibu, orang kuat membaca kayaknya, baru memang novel yang disumbangkan adalah novel yang pada zaman saya kuliah, saya suka baca, kayak Agatha Christie. Cuma memang ceritanya tidak relate lagi bagi anak-anak sekarang. Tapi, almarhumah juga menyumbang novel-novel Korea.”
Ilma beranjak ke lemari kaca di belakangnya. Dia membuka lemari itu, aroma khas menguar dari lembaran-lembaran buku. Ilma lalu memperlihatkan buku-buku yang dimaksudnya. Tiga seri buku autobiografi Moh. Hatta juga ada di situ, masih baru.
“Ini yang saya mau baca, saya amankan di sini, karena biasanya hilang,” katanya
Berbicara tentang buku, Ia menyukai hampir semua buku yang dia baca. Masing-masing memberi bekas. Seperti serial silat dari Kho Ping Hoo yang ia baca kembali buku digitalnya di sela-sela waktu kerjanya.
“Sejauh ini buku bacaan saya buku fiksi, untuk non fiksi, kalo ada yang saya suka baca, saya liat temanya. Kalo buku fiksi saya hajar semua, biar komik. Saya suka sekali serial silat dari Kho Ping Hoo. Sekarang sudah ada ebooknya. Itu baca tulisannya Kho Ping Hoo bukan hanya cerita silatnya, tetapi ada muatan filsafatnya. Dan saya kagum dengan orang itu, dia orang China, dan menulis tentang China itu seperti dia pernah ke China, padahal waktu itu belum,” terangnya.
Menjadi orangtua, istri, guru, kepala perpustakaan, tentu saja kesibukannya cukup banyak, bahkan ia juga mengurus tanaman hias dan ikan peliharaannya. Meski begitu, Ilma tetap konsisten membaca.
Biasanya lepas salat magrib, setelah mengaji sembari menunggu waktu salat isya. Kalau dapat buku bagus, ia bisa membaca tanpa sadar waktu. Ilma membaca dari siang hari tapi terjeda-jeda, lalu dilanjutkan malam hari hingga tidak sadar sudah azan subuh.
“Sewaktu kuliah, saking suka membaca, tapi tidak mampu membeli buku, saya sering meminjam buku ke teman saya yang punya banyak koleksi buku, dan dia punya uang untuk beli buku. Lalu (dulu), saya suka membeli majalah. Saya ingat sekali, sewaktu Fajar baru lahir, papanya Fajar kerja apa saja (tidak bekerja tetap), dan saya masih honerer, saya tetap bisa beli majalah. Sekarang saya lebih sering membeli buku ebook, lebih murah. Karena kalo beli buku, ongkir ke Balut sangat mahal,” tuturnya.
Kebiasaan membacanya tidak dia paksakan kepada ketiga anaknya. Ia membebaskan putra dan putri-putrinya. Yang ia lakukan adalah, setiap kali melakukan perjalanan, dia selalu membeli buku sebagai oleh-oleh.
Sulungnya terpantau suka membaca buku bahkan sering membeli buku. Anak tengahnya juga begitu, meski dia lebih sering membaca ebook di gawai. Kalau si bungsu, belum terlihat apakah dia suka baca atau tidak.
Reporter : Iker
Editor : Rifay