SIGI – Yayasan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah KPKP-ST kembali menggelar kegiatan penguatan kapasitas kelompok siaga bencana di Kabupaten Sigi.
Kegiatan digelar Desa Kaleke Kecamatan Dolo Barat, Desa Bangga dan Rogo Kecamatan Dolo Selatan, akhir Mei lalu. Kegiatan ini sendiri masih akan berlanjut atas kerja sama KPKP-ST dengan Yayasan Kerti Praja (YKP).
Koordinator Program, Hajalia Somba, menyampaikan, ini adalah kali ketiga di tahun 2025 Yayasan KPKP-ST melaksanakan kegiatan women gathering di tiga desa wilayah kerja program We Nexux : Perempuan Tangguh Bencana dan Pembawa Damai di Kabupaten Sigi.
Di tahun 2024 lalu, kata dia, pihaknya juga melakukan hal yang sama sebanyak 10 kali di masing-masing desa dengan tema dan diskusi yang berbeda.
“Kali ini kegiatannya bertujuan untuk melakukan penguatan kapasitas bagi Kelompok Siaga Bencana (KSB), kelompok perempuan dan organisasi pemuda karangtaruna dengan mengambil tema ketangguhan dan kesiapsiagaan bencana alam, bencana sosial dan perubahan iklim menuju Desa Tangguh Bencana (DesTana) yang responsive gender,” kata Lia, sapaan akrabnya.
Pada kesempatan itu, KPKP-ST menghadirkan narasumber dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sigi, serta narasumber dari masing-masing pemerintah desa.
Kepala Bidang (Kabid) Kedaruratan dan Logistik BPBD Sigi, Ahmad Yani, menyampaikan terima kasih kepada Yayasan KPKP-ST yang telah memfasilitasi kegiatan ini.
“Kegiatan ini sangat membantu pemerintah daerah untuk memberi penguatan kapasitas bagi stakeholder di tingkat desa. Karena jelas pemerintah daerah juga tidak dapat menyentuh semua wilayah yang luas tanpa ada bantuan dari pihak lain, termasuk NGO,” katanya.
Yani melanjutkan dengan menyampaikan materi “Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Bencana Tahun 2025-2029”.
Menurutnya, jika sebelumnya penanggulangan bencana dilakukan secara reaktif yang bergerak di saat terjadi bencana dan focus pada penyelamatan korban dan asset. Namun saat ini secara preventif dengan menitikberatkan pada upaya investasi dalam pengurangan risiko bencana dengan visi ketangguhan bangsa menghadapi bencana.
Yani juga mengingatkan pentingnya mendorong desa tangguh bencana (DesTana) menjadi lebih responsif dalam kesiapsiagaan dan ketangguhan dalam menghadapi risiko bencana.
“Karena setiap daerah dan desa tentu saja memiliki kerentanan yang berbeda. Karena itu penting untuk mengetahui tentang system penanggulangan bencana itu sendiri yang harus dapat memenuhi beberapa komponen yakni legislasi, organisasi, perencanaan, pendanaan, informasi dan tekhnologi serta implementasi,” ujarnya.
Lanjut dia, hal ini mestinya bisa dilaksanakan mulai dari tingkat desa. Pemerintah desa harus bisa melibatkan semua komponen masyarakatnya, termasuk kelompok perempuan dan pemuda untuk, sehingga dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan Permendagri Nomor 59.
Salah satu peserta, Khadijah selaku Sekretaris BPD Bangga menanyakan bagaimana dengan pendampingan kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak, apakah selain bisa diambil dari dana 3% operasional desa?
Terkait itu, Yani mengatakan bahwa dalam hal pendampingan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan atau anak, bisa diambil dari anggaran yang dialokasikan pada bidang penanggulangan bencana karena terdapat poin kedaruratan (non alam) dan menjadi kebutuhan mendesak.
“Karena penanganan masalah kekerasan seksual merupakan kejadian yang mendadak dan membutuhkan penanganan cepat apalagi jika kasusnya memang harus diselesaikan melalui proses hukum maka tentu membutuhkan biaya pendampingan untuk mendapatkan layanan kesehatan, layanan hukum bahkan sampai di proses pengadilan,” jelasnya.
Sementara itu, tiga kepala desa, yaitu Abrar Ganasatu, Muhammad Taufan, dan Bapak Herman selaku Ketua Kelompok Siaga Bencana (KSB), banyak memaparkan tentang upaya pemerintah desa dalam pengalokasian anggaran terkait dengan penanggulangan bencana, antara lain adanya dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), penyediaan system peringatan dini, Perdes tentang penanggulangan bencana, serta sudah terbentuk KSB.
Sebagaiamana yang telah dilakukan Pemerintah Desa Kaleke sejak tahun 2022, sudah mengalokasikan anggaran bagi Satgas PPA Desa mulai dari Rp5 juta, kemudian tahun berikutnya naik menjadi Rp7 juta dan tahun 2024 dan 2025 dianggarkan sebesar Rp12 juta.
“Hal ini bertujuan agar pengetahuan dan kesadaran masyarakat terkait perlindungan hak perempuan dan anak itu bisa semakin meluas dan dapat mencegah terjadinya kekerasan itu sendiri. Ketika terjadi pun, ada satgas PPA yang dapat melakukan pendampingan dan penangannya,” ujar Kades Kaleke, Taufan. *