“Bukan karena tidak punya pekerjaan lain, tetapi menjadi nelayan itu bisa dikatakan semacam panggilan hati.”

Jelang magrib Kamis 06 April, perahu Farhan menepi ke pantai Maahas. Beberapa lelaki yang semula duduk santai di bawah pohon gersen, bergegas membantu Farhan menarik perahunya hingga sempurna ke tambatan perahu. Di dalam perahu, ada 13 ekor ikan cakalang memenuhi satu boks ikan.

Nelayan Cakalang, begitu Farhan menyebut pekerjaannya, meski di KTP hanya tertulis nelayan.

Sore itu sekitar pukul 17.00 lebih, Farhan baru tiba dari memancing cakalang di Selat Peling, sekitar 3 sampai 4 jam dari pantai Maahas. Ikan perolehannya itu beberapa untuk dikonsumsi keluarganya dan selebihnya dibawa ke tengkulak.

Nelayan cakalang seperti dia, berangkat pukul lima pagi, dan kembali pukul lima sore. Terbalik dengan nelayan pelagis kecil yang berangkat pukul lima sore dan pulang pukul lima shubuh.

Biaya operasional mereka juga berbeda. Dalam sekali jalan (pulang – pergi) para nelayan dengan sistem one day fishing itu menghabiskan sekitar 300 ribu untuk nelayan cakalang dan 100 ribu untuk nelayan plagis kecil.

Farhan A. Dodang, bapak satu anak itu sudah lebih dari 20 tahun menjadi nelayan. Orang tuanya nelayan, dan ia sudah terbiasa dengan laut sejak kecil, lalu mulai melaut di umur 20-an tahun. Kini usianya 42 tahun.

“Di komplek Maahas, hanya di udara yang tidak dilakukan masyarakat. Jadi para nelayan, sebagian punya pekerjaan di darat, seperti saya, saya punya kebun juga. Tapi yang lebih sering saya lakukan sehari-hari saya melaut. Perjalanan melaut ini, bukan karena saya tidak ada pekerjaan lain, tapi memang sudah di sana. Melaut itu bisa dikatakan semacam panggilan hati,” kata Farhan, mulai bertutur, Jumat (07/04) di rumahnya.

Rumah Farhan adalah sekretariat koperasi kelompok nelayan dan petani yang dipimpinnya. Tahun 2018, mereka sepakat mendirikan koperasi untuk menjadi wadah mereka, para nelayan Maahas.

Menuju rumah Farhan, kita disuguhi pemandangan laut yang tosca, aroma asin, deretan rumah-rumah makan dengan perkakas kayu dan bambu, yang banyak menyediakan menu ikan kadompe.

Ketika masalah cuaca mulai dari hujan, angin, badai, dan gelombang tinggi terjadi di bulan Januari hingga Maret, maka tidak hanya jejeran warung makan dan gazebo-gazebo kayu, tetapi bersaff pula perahu-perahu nelayan berbaris di sepanjang pesisir Mahaas.

“Karena musim ombak, jadi biasa kita nanti di bulan 4 baru bisa melaut. Itu tetap sama dari dulu sampai sekarang. Jadwalnya juga relatif sama, dari Senin sampai Kamis melaut. Saya sendiri begitu, hari jumat itu istirahat, mau makan ikan atau tidak, Jumat itu waktunya istirahat. Sabtu dan Minggu urus kebun,” lanjut Farhan.

Nelayan dan petani adalah dua profesi yang menurut Farhan ialah pekerjaan orang yang paling senang. Mereka menjadikan laut dan kebun sebagai tempat healing, tempat bersenang-senang, tempat di mana mereka selalu bersyukur.

“Mereka tidak ada beban hidup. Karena walaupun dalam rumah banyak cicilan, ini-itu atau apa, tetapi saat kita bawa ke laut, itu hilang masalah-masalah itu. Saat kita bawa ke kebun itu enak rasanya. Dari segi makanan, kita hanya disuguhkan dengan nasi dan 1 potong ikan itu sudah nikmat sekali. Sama dengan kita di kebun, biar hanya hasil kebun yang kita makan, itu sudah luar biasa,” tuturnya.

Kalau di rumah, kata dia, harus pilih-pilih makanan. Beda dengan di laut, walaupun hanya ikan yang dicampur air laut sebagai pengganti garam, sudah terasa luar biasa nikmat Tuhan yang diberikan.

“Hidup menjadi petani dan nelayan itu, kita hidup dengan alam, baku damping (berdampingan) dengan alam. Kita bergantung pada alam,” paparnya.

Perbandingan Hasil Tangkapan dengan Tahun-tahun sebelumnya

Lulusan STM itu berpikir sebentar sambil menghitung hasil tangkapannya. Dia kemudian menjelaskan bahwa tahun-tahun sebelumnya, hasil tangkapannya lebih banyak, bisa mencapai 3 sampai 4 kali lipat dari biasanya saat ini.

Dahulu, satu nelayan cakalang dapat memancing ikan 20 sampai 40 ekor. Sebenarnya ikan-ikan diperairan Banggai masih banyak, kata dia.

“Tetapi saat ini jumlah nelayan semakin banyak. Ikan sih saya rasa tidak berpengaruh. Cuma memang kalau dibandingkan 10 tahun lalu, 5 tahun lalu, di masa-masa itu memang masih tangkapan luar biasa. Cuma kalau sekarang ada juga, tapi tidak sama dengan yang dulu.”

Berkurangnya hasil tangkapan menjadi tantangan baginya untuk tetap bertahan dengan profesi ini. Pergi dengan menghabiskan biaya operasional yang cukup besar, kembali ke rumah hanya membawa es batu yang nyaris masih utuh.

Hanya satu atau dua ekor, bahkan tidak mendapatkan hasil tangkapan sama sekali. Seperti di hari Senin (10/04) dia hanya mendapatkan satu ekor cakalang.

Farhan dan hasil tangkapannya. (FOTO: media.alkhairaat,id/Iker)

Tantangan lainnya tentu saja cuaca dan kendala teknis yang pasti pernah dirasakan semua nelayan seperti mesin ketinting yang mati, as patah, sema-sema patah, dan lainnya.

Farhan sendiri pernah beberapa kali mengalami kendala teknis tersebut meski tidak sering. Saat awal-awal melaut, dia panik ketika berada di tengah laut dan mesinnya mati. Tetapi kemudian ia menanamkan agar tidak panik sembari menunggu bantuan. Karenanya hampir semua nelayan memiliki gawai biasa yang hanya dapat mengakses sms dan telepon saja, karena kuat menangkap sinyal. 

“Patah sema, saya lompat ke laut untuk sambung semanya. Itu pernah beberapa kali. Kalau mati mesin, pernah satu tahun lalu. Kalau dapat kendala begitu, itu tetap menunggu di atas perahu, di tengah laut, tidak menepi ke daratan, karena memang ada di tengah laut. Pernah juga hampir tenggelam pada saat musim ombak, tapi jangan panik,” katanya.

Selain tantangan, para nelayan juga memiliki pantangan ketika mereka pergi melaut. Tidak boleh membawa beras pulut merah, meski sudah diolah menjadi penganan. Tidak pula bisa membawa nasi kuning. Jika membawa pantangan itu, akan berombak meski laut sedang teduh atau tidak musim ombak.

“Kalau makan, sisa-sisa makanan jangan buang ke laut, minum kopi juga begitu, ampas kopi jangan buang ke laut. Buang di perahu, kapan sampai  pante atau daratan, daratan mana saja, baru dibuang. Kalau dibuang ke laut, selain karena mendatangkan ombak, hantu laut muncul. Itu pernah dialami orang-orang, sehingga kita langsung patuhi. Intinya apa yang kita bawa dari darat jangan ditinggalkan di laut,” terangnya.

Nelayan Pamansam tersebut masih menangkap ikan dengan metode tarik ulur. Mereka berkomitmen menggunakan pancing tradisional dan menolak didatangkannya bagan, pukat harimau, pukat cincin. Karena dapat membuat nelayan kecil tersisi.

“Jadi kitorang masih pertahankan, pancing tradisional. Karena kitorang di sini memang di Luwuk Banggai, khususnya perairan peling, masih punya potensi pancing tradisional.”

Farhan menutup ceritanya dengan menjelakan kata Pamansam yang pelafalannya seperti Paman Sam, yang langsung membawa pikiran kita ke negara adidaya, Amerika Serikat.

Pamansam adalah koperasi mereka yang kini mulai mendapat sentuhan dari pemerintah daerah. Mereka menamai wadah mereka bertumbuh itu dengan nama Peneti Pamansam Toa’mae: Persatuan Nelayan dan Petani Pantai Maahas Nyaman, Aman, Sejuk dan Menarik.

“Sedangkan kata Toa’mae berasal dari bahasa saluan, artinya perhatikan kemari. Ini sebenarnya lebih ditujukan kepada pemerintah. Kata ajakan untuk liat kita, perhatikan kita. Sementara peniti ini, biasa ditaro di jilbab atau kain, itu melambangkan kekompakan dan kesolidan,” pungkasnya.

Reporter : Iker
Editor : Rifay