“Berhenti menyalahkan keadaan.”
26 BULAN berlalu, peristiwa kelam yang merubah hampir 180 derajat kehidupan sebagian masyarakat Kota Palu. Ibu dan ayah serta anak, dan sanak saudara “telah pergi”. Pun harta benda, dan mata pencaharian, sekejap tiada.
Selang waktu, warga terdampak yang menghuni tenda-tenda darurat dipindahkan pemerintah setempat ke Hunian sementara (huntara), yang tersebar di beberapa wilayah Kota Palu.
Beberapa bulan pasca gempa, roda kehidupan di bumi tadulako berputar lagi. Sebagian besar masyarakat merasakan kondisi normal kembali. Namun, baru juga setahun Palu pulih, virus corona datang. Dampaknya, terjadi perubahan sosial ekstrim, termasuk ekonomi masyarakat korban gempa Palu.
Kondisi itupun begitu dirasakan oleh para pelaku UMKM, salah satunya adalah Dahyani (49) tahun. yang kini bermukim di Huntara Bamba, Kelurahan Mpanau, Kecamatan Taweili, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Dahyani pemilik usaha pembuatan keripik pisang. Ia sudah memulainya sejak menempati Huntara 2019 yang lalu. Rumahnya habis tak bersisa dihantam gelombang tsunami dua tahun yang lalu.
Ibu anak empat ini mengaku, tak ada pilihan lain baginya selain harus terus melanjutkan hidup kala itu. Perlahan, usaha yang diberinya nama Keripik Pisang Tiara itu mulai dibanjiri pesanan. Bak semacam ditimpa keberuntungan, Dahyani kewalahan menerima pesanan yang datang. Dibantu tiga pasang tangan anaknya, usaha dahyani mulai memproduksi keripik pisang dilakukan setiap hari.
“Tapi kalau anakku itu masuk kantor lagi, yang itu juga masuk kuliah kerja tugasnya, yang kecil itu tidur, ya harus saya sendiri mulai dari mencari pisang, menggoreng sampai membungkusnya jadi begini, karena mau diapa sudah kalau tidak begini kita apa lagi mau di apa nak, ini yang bikin kita bisa makan juga kan,” ceritanya.
Keripik Pisang buah tangan Dahyani memiliki tiga varian. Varian pedas sambal balado, varian gula aren (gula merah) dan varian original. Ketiganya dijual dengan pengemasan berbeda.
Varian sambal balado dan original, dikemas mulai dari ukuran kecil yang dihargai Rp800. Sedang varian Gula Merah dikemas mulai dari ukuran satu kilogram yang dihargai Rp60 ribu.
Akan tetapi, tidak semua varian dapat kita jumpai secara serampangan. Hanya varian sambal balado yang setiap waktu dapat dibeli dikios-kios kecil pinggir jalan daerah Tawaili, juga disalah satu kantin perkantoran daerah Donggala tempat anaknya bekerja, serta kantin RS Madani Palu.
Sedang varian original, hanya dapat dijumpai ditempat yang sama jika stock pisang sebagai olahan utama tercukupi. Berbeda lagi dengan varian gula merah, hanya akan diproduksi oleh Dahyani jika ia mendapat pesanan dari para konsumen. Hal itu, menurutnya tak lepas dari tata cara penggorengan yang dilakukan untuk memproduksi keripik pisang ala dahyani.
“Kalau yang varian sambal balado ini, awalnya hanya digoreng setengah matang saja, jadi diantar ke kios-kios itu. Nanti kalau sudah habis di sana, baru kita buat lagi. Antar lagi Nak. Kalau yang original ini tidak bisa goreng setengah matang, harus langsung sampe masak. Jadi tidak selalu ada di kios. Sedangkan yang varian gula merah itu, betul-betul nanti ada pesanan saja. Apa bahannya kan tidak bisa terlalu lama disimpan,” urainya.
Dalam seminggu, produksi keripik pisang Tiara tak jarang menghabiskan 7 sampai 10 tandan Pisang sepatu.
Dahyani memperoleh pisang tersebut dari kebun-kebun milik tetangganya, yang dihargai relatif berdasarkan ukuran pisang.
Sedang untuk bahan-bahan lainnya yang digunakan untuk memproduksi, seperti minyak goreng, tabung gas serta plastik pembungkus, biasanya ia sampai menghabiskan modal mulai dari Rp1 juta sampai Rp1,5 Juta.
Sementara keuntungan yang diperoleh Dahyani tak jarang tidak sampai menutupi modal yang sudah ia keluarkan.
“Begitu sudah Nak, karena itu yang kita pake makan juga kan. Saya ini cuman punya semangat saja. Tidak boleh juga kita pasrah dengan keadaannya kita di huntara,” ungkap Dahyani kepada mediaalkhairaat.id, Rabu (25/11).
Namun, sejak Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak akibat virus corona, lara hati pemilik Keripik Pisang Tiara ini semakin menjadi-jadi. Selain karena onkos produksi kian meningkat, sejumlah lapak untuk menjajakan keripiknya tutup. Salah satunya di Rs Madani Palu, akibat melakukan perawatan terhadap pasien yang terkonfirmasi postif covid 19. Serta beberapa kantin perkantoran didaerah Donggala, dan sekolah-sekolah yang saat ini juga belum memulai aktivitas belajar mengajar.
Kondisi itu, memaksa ibu empat anak ini berfikir keras agar usahanya itu tetap berproduksi, demi sang buah hati Bungsu Tiara.
Salah satu opsi yang saat ini ditempuhnya adalah membangun relasi ke gerai swalayan-swalayan. Meski tak mudah, Dahyani yang baru saja menyelsaikan operasi empedu tetap memiliki semangat yang kuat, sama seperti warga huntara lainnya.
Lara hidup di huntara tak pernah membuat surut semangatnya. Kata Dahyani, harapan untuk mengembangkan produksi keripiknya itu masih ada, meski sejumlah hambatan juga ada.
Ia mengaku, usaha miliknya telah mendapatkan survey dari sejumlah pihak pemerintah ,sebagai salah satu persyaratan agar keripiknya dapat dijajakan di gerai swalayan.
Hasil dari survey itupun cukup menegangkan hati Dahyani. Pasalnya, produksi yang ia lakukan dari dapur umum Huntara bamba dianggap tidak layak. Karena pertimbangan higienisnya sebuah produk makanan.
Pun Dahyani tak diam diri. Ia gesit berkomunikasi dengan koordinator Huntara agar dirinya bisa melakukan produksi di kamar huntara yang telah kosong. Bilik huntara yang berukuran seadanya itu, disulap sedemikian rupa oleh Dahyani, semacam kamar produksi. Lengkap menerapkan protokol kesehatan.
Pekan ini, kata dia, tim dari dinas terkait pemerintah Kota Palu akan kembali melakukan survey ke kamar produksi keripik pisangnya di Huntara Bamba, Kelurahan Mpanau, Kecamatan Taweili.
Ia berharap, semangatnya membangun UMKM dari Huntara untuk tetap melanjutkan hidup berjalan lurus, dengan hasil yang akan diperoleh.
“Mudahan-mudahan, karena kalau sudah lolos nanti keluar sudah nomer ptr itu, baru bisa nak dimasukan ke swalayan begitu,” harap Dahyani.
Reporter: Faldi
Editor: Nanang