IJAZAH

oleh -

Oleh: Syam Zaini

“Ijazah menandakan bahwa seseorang itu pernah sekolah, bukan berarti (jaminan) seseorang itu pernah berpikir” (dikutip dari pernyataan Rocky Gerung).

Kalimat kontroversial ini sangatlah viral, terjadi pro dan kontra dalam menanggapinya. Bagi yang pro menganggap bahwa memang faktanya seperti itu, dengan melihat kenyataan bahwa (terkadang) tingkat pendidikan seseorang tak menjamin seiring dengan kompetensi yang dimilikinya. Bagi yang kontra menganggap bahwa pernyataan tersebut tidak memberikan motivasi bagi dunia pendidikan yang mengeluarkan ijazah.

Penulis tidak untuk menilai benar atau salahnya pernyataan kontroversial itu, namun memang era saat ini kompetensi sangatlah penting dalam menapaki kehidupan dan seyogyanya ijazah merupakan legitimasi dari kompetensi yang dimiliki oleh seseorang, apalagi jika bekerja pada lembaga formal.

Kebijakan pemerintah agar guru diberbagai jenjang wajib memiliki ijazah strata 1 dikandung maksud agar terjadi peningkatan kompetensi, sehingga dapat memajukan dunia pendidikan yang pada harapannya siswa menjadi lebih baik. Demikian juga pada tugas-tugas struktural tertentu, ijazah sebagai legitimasi untuk dapat menduduki jabatan tertentu. Tak pelak lagi, dikejarlah “selembar” ijazah itu, entah cagaimanapun caranya agar dapat diperoleh.

Berbeda halnya seorang pedagang dipasar, yang sejak kecil belajar secara autodidak dalam dunia perdagangan, yang tanpa selembar ijazah sarjana ekonomi namun “lebih pakar” dari yang memiliki selembar ijazah sarjana ekonomi.

Kompetensi bagi pemilik ijazah sangatlah dibutuhkan, sesuai dengan keahliannya. Seorang guru yang menyandang gelar sarjana pendidikan haruslah menjadi garda terdepan tentang hal-hal pendidikan, belajar dan terus belajar agar gelar ‘S.Pd” nya seiring dengan kompetensinya.

Seseorang sarjana kedokteran yang telah menyandang profesi dokter, tentunya harus mengikuti perkembangan dunia kedokteran serta obat-obatan yang terus berkembang, agar tidak terjadi mal praktek. Jika seorang guru yang telah menyandang sarjana pendidikan keliru dalam memberikan pembelajaran kepada siswanya, dapatlah dikatakan telah melakukan “mal praktek” pembelajaran.

Pernyataan dari bung Rocky Gerung tersebut dapat diambil positifnya, bahwa jika seseorang telah menyandang puncak dari gelar kesarjanaan, merupakan tanggung jawab moril dengan keilmuwan yang dimilikinya. Adalah aneh jika (seandainya) seorang yang dengan bangganya menulis gelar “doktor” disetiap tulisannya namun setiap saat menulis kejelekan orang lain dengan sangat subyektif, tanpa basis data dan fakta, yang justru akan menjadi bahan olok- olokan bagi yang membacanya.

Guruku bilang, “jadilah sarjana yang sujana, jangan menjadi sarjana yang durjana”.

Wassalaaam…, tabe.????