PALU – Terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor: 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengelolaan dan Pemurnian, diharapkan dapat memberikan harapan baru bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Permen ini ditindaklanjuti dengan memerintahkan sejumlah perusahaan tambang di Sulteng, seperti di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara (Morut) untuk membangun smelter (fasilitas pengolahan hasil tambang).
Seiring dengan itu, pemerintah daerah juga berusaha semaksimal mungkin memberikan kemudahan dan jaminan keamanan investasi. Karena diyakini, selain menyerap tenaga kerja, keberadaan perusahaan tambang juga dapat memberikan peningkatan dana bagi hasil dari produksi Nickel Pig Iron (NPI) yang dihasilkan dari smelter.
“Tetapi ternyata, harapan itu tidak sesuai kenyataan,” kata Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, Sabtu (26/09).
Untuk itu, Gubernur meminta agar pemilik smelter di Sulawesi Tengah dapat berkontribusi terhadap daerah, guna meningkatkan PAD.
Ia mengungkapkan adanya perusahaan pemilik smelter di Sulteng yang tidak menyetor royalti ke kas daerah.
Di wilayah Sulteng sendiri, kata dia, ada perusahaan tambang nikel yang telah membangun smelter terbesar di Indonesia, namun tetap saja tidak memberikan kontribusi kepada daerah.
“Jangankan setor ke daerah untuk peningkatan PAD, dana CSR saja tidak diberikan kepada masyarakat di sekitar tambang. Padahal, smelter tersebut mendapatkan keuntungan luar biasa besar dari hasil olahan bijih nikel,” ungakpnya.
Padahal, kata dia, perusahaan tambang itu telah menyetor royalti kepada negara sebesar sekitar Rp2 triliun di tahun 2018.
Sejauh ini, lanjut dia, terdapat 11 smelter yang beroperasi di wilayahnya. Jika dikalkulasi, kata dia, seharusnya pembagian dana bagi hasil yang didapat dengan produksi 6,3 juta ton NPI per tahun dari smelter itu, bisa mencapai sekitar Rp212,7 triliun.
“Sementara dana bagi hasil yang didapat dari produksi smelter, Provinsi Sulawesi Tengah seharusnya mendapat bagian Rp1,36 triliun per tahun. Kemudian bagian untuk kabupaten/kota sebesar Rp2,72 trilun per tahun dan pembagian untuk kabupaten/kota lainnya sebesar Rp226,9 miliar,” urainya.
Bukan hanya itu, lanjut dia, dari hasil produksi ore saja, maka dana bagi hasil yang didapat adalah sebesar Rp81,8 triliun. Jika dana bagi hasil yang didapat dari produksi ore sebesar 10 persen, maka yang diperoleh adalah sebesar Rp1,31 triliun per tahun.
Selanjutnya, kata dia, ada pembagian 32 persen untuk kabupaten/kota penghasil per tahun sebesar Rp2,61 triliun dan 32 persen bagian kabupaten/kota lainnya sebesar Rp218,2 miliar per tahun.
“Tapi daerah dapat apa dari semua itu,” sesalnya.
Dari semua itu, lanjut dia, pemerintah daerah sama sekali tidak menerima dana bagi hasil. Bahkan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.010/2017 maka produk NPI yang dihasilkan oleh industry smelter, justru dikenakan tarif nol persen.
Sementara itu, lanjut dia, perusahaan pemilik smelter yang beroperasi di daerahnya juga telah menerima insentif berupa tax holiday, tax allowance, bebas bea masuk termasuk bebas bea keluar untuk hasil olahan smelter yang diekspor.
Jadi, kata Longki, perusahaan-perusahaan itu hanya mengeruk kekayaan dan merusak lingkungan di daerah.
“Kita terus dirugikan dari aktivitas tambang itu,” tegasnya.
Tidak hanya itu, kata dia, smelter juga hanya menyerap bijih nikel kadar tinggi, sedangkan banyak perusahaan pertambangan di Sulawesi Tengah yang hanya memiliki kandungan bijih nikel kadar rendah.
“Akhirnya perusahan-perusahaan tambang tersebut tidak bisa melakukan kegiatan produksi dan penjualan ke smelter tersebut,” tuturnya.
Lantaran itu, Longki pun mengapresiasi perjuangan yang dilakukan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dalam memperjuangkan Penambang Nikel Nasional untuk Harga Patokan Mineral (HPM) bijih nikel.
Kata dia, jika smelter bisa melakukan transaksi pembelian bijih nikel sesuai HPM dan bisa menyerap bijih nikel kadar rendah, maka akan terjadi keseimbangan dengan pengusaha lokal dan berdampak juga ke lingkungan dan daerah sekitar tambang.
“Saya juga ingin menyampaikan, pembentukan Tim Satgas HPM seharusnya melibatkan pemerintah daerah, karena kami yang lebih tahu bagaimana kondisi di lapangan. Tapi sayangnya, Tim Satgas HPM yang dibentuk Kemenko Maritim dan Investasi melalui Kepmenko 108 Tahun 2020 sama sekali tidak melibatkan daerah,” katanya.
Ia pun berjanji akan menginisiasi pertemuan bersama dua gubernur lainnya, yakni Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi dan Gubernur Maluku Utara, KH Abdul Gani Kasuba untuk membicarakan perlunya perusahaan smelter di 3 provinsi itu untuk berkontribusi terhadap peningkatan PAD.
Beberapa waktu lalu, di hadapan komisi VII DPR RI, Chief Executive Officer (CEO) PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus menyampaikan bahwa perusahaan yang dipimpinnya telah menyetor royalti ke negara sebesar Rp2 triliun pada 2017.
“Jumlah itu naik dibanding 2016 sebanyak Rp1 triliun,” katanya.
Pihaknya, kata dia, sangat berkomitmen dan bersedia membantu meningkatkan PAD Morowali, namun terbentur dengan peraturan perundang-undangan.
“Undang-undang menyatakan bahwa seluruh pajak dan royalti harus disetor ke kas negara. Nanti pemerintah pusat yang menyalurkannya kembali ke daerah dalam hal ini Morowali dan Sulawesi Tengah. Andai ada aturan yang membolehkan dan mengharuskan kami menyetor royalti dan pajak langsung ke kas Pemda Morowali, maka itu akan kami lakukan, ” kata Alexander.
Reporter: Ikram
Editor : Rifay