PALU – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi perjalanan dinas (Perjadin) di Morowali Utara (Morut) dengan kerugian negara mencapai Rp539 juta kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palu, Senin (23/6).
Persidangan tersebut menyeret tiga terdakwa, termasuk mantan Bupati Morut Moh Asrar Abd Samad (MAAS).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan lima saksi, termasuk mantan Plt Kepala Bagian Umum Setkab Morut, Rahmat Adyatma. Empat saksi lainnya yakni Plt Kepala BPKAD Morut Gustan Tambrin, verifikator BPKAD Lutfhi M, sopir mantan bupati Arham, dan Galib, seorang wiraswasta penerima dana perjalanan dinas.
Dalam kesaksiannya, Rahmat Adyatma menegaskan dirinya tidak menjabat saat pencairan dana UP dilakukan pada Maret 2021. Ia mengatakan sudah tidak lagi menjabat Plt Kabag Umum sejak 18 Januari 2021.
“Saya hanya menjelaskan kronologinya. Saat penganggaran dan pencairan dana itu, saya sudah diganti,” kata Rahmat di hadapan Ketua Majelis Hakim, Dwi Hatmodjo, sempat tertunda dan baru dimulai pukul 14.00 WITA, karena itu, Rahmat diperiksa secara terpisah lebih awal oleh majelis hakim.
Rahmat mengatakan, bahwa dalam penganggaran perubahan tahun 2020, ia telah mengumpulkan seluruh staf administrasi bupati dan pejabat terkait untuk memastikan tidak ada kegiatan belum dibayarkan, sesuai aturan.
Dia menyebutkan melihat item dana perjalanan dinas bagi bagian umum sekitar Rp800 juta lebih pada dokumen APBD-P 2020.
Namun kata Rahmat dirinya tidak bisa merincikan secara detail, kecuali melihat kembali dokumen.
Lebih lanjut Rahkmat, mengatakan dana Perjadin tersebut, sepengetahuannya harus dibayarkan tahun berjalan dan sudah diketahui oleh sekda dan bendahara kala itu.
“Sebab kami pernah rapat bersama sekda dan bendahara Asri Taufik,” katanya.
Namun, pencairan dilakukan di 2021 oleh pejabat setelahnya tidak lagi menjadi tanggung jawabnya.
“Kalau memang masih ada dokumen yang belum terbayar dan diajukan tahun 2021, itu di luar jangkauan saya,” tegasnya.
Rahkmat juga mengatakan kalau dirinya pernah menerima uang Perjadin sewaktu konsul ke Dirjen Otonomi Daerah pada 2020. Sedangkan untuk konsul ke Otda dan Kemendagri yang dibayarkan 2021 tidak pernah menerima dan bertanda tangan karena tidak melakukan perjalanan dinas tersebut.
“Jadi kwitansi di tandatangani, yang ada bukan tandatangan saya dan baru saya ketahui sewaktu di BAP,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa dalam aturan Permendagri tentang SPPD, perjalanan dinas tidak boleh menjadi utang-piutang lintas tahun anggaran.
Kasus ini bermula dari pencairan dana Uang Persediaan (UP) senilai Rp900 juta oleh Bagian Umum dan Perlengkapan Setda Morut pada 2021. Dana ini digunakan untuk membayar perjalanan dinas tahun 2020 sebesar Rp539.218.225, perjalanan dinas tahun 2021 sebesar Rp139,7 juta, dan medical check-up sebesar Rp30 juta.
Dugaan korupsi muncul karena sebagian besar dana tersebut digunakan untuk kegiatan tahun sebelumnya, yang dibayarkan setelah tahun anggaran 2020 berakhir. Padahal, menurut peraturan, pembayaran seperti itu tidak diperbolehkan.
Disebutkan pula bahwa terdakwa AT (mantan bendahara) melakukan pencairan atas perintah RTS (mantan Kabag Umum), termasuk pembayaran kepada MAAS, serta permintaan dana sebesar Rp89,2 juta untuk ajudan dan staf bupati.
Ketiga terdakwa Moh Asrar Abd Samad, Rijal Thaib Sehi (RTS), dan Asri Taufik (AT) dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal ini mengatur tentang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, serta pertanggungjawaban pidana secara bersama-sama.
Majelis hakim menetapkan sidang lanjutan kasus korupsi dana perjalanan dinas Morowali Utara ini akan kembali digelar pada 1 Juli 2025 dengan agenda lanjutan pemeriksaan saksi dari pihak JPU.
Reporter: IKRAM/Editor: NANANG