Belum hilang dari ingatan kita, kasus meninggalnya seorang Pekerja Seks Komerisal (PSK) di lokalisasi “Tondo Kiri”, Agustus 2017 silam. Gery, nama PSK itu, dibunuh dengan sadis oleh Asrul yang tidak lain merupakan pelanggannya sendiri.

Asrul nekat membunuh korban karena diancam akan dilapor kepada security lokalisasi jika tidak membayar sewa “jasa” seharga Rp100 ribu. Tarif tersebut naik dari kesepakatan awal yang hanya sebesar Rp80 ribu.

Kini Asrul sudah meringkuk dalam tahanan guna menjalani hukuman atas perbuatannya tersebut. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Palu, Asrul divonis selama 9 tahun penjara.

Kini, kejadian tersebut kembali terulang. Seorang PSK berinisial NI (45), ditemukan tewas dalam kamarnya, Senin awal pekan ini. Meski belum diketahui penyebab kematiannya, namun aparat kepolisian menemukan ada tanda-tanda kekerasan di tubuh korban.

Korban ditemukan dalam keadaan terlentang di lantai dengan kondisi lidah menjulur dan mengeluarkan darah dari mulutnya.

Ada seutas kabel listrik panjang sekitar 25 Cm yang masih terlilit dileher korban.

HIV/AIDS MENGANCAM

Kasus-kasus yang terjadi di lokalisasi (orang-orang menyebutnya eks lokalisasi) terbesar di Kota Palu itu, adalah satu dari sekian banyak mudharat yang ditimbulkan dari bisnis “lendiri” di area itu.

Ada hal paling berbahaya lagi yang timbul (bahkan sudah timbul) dan bisa mengancam nyawa. Tempat itu adalah sarang penyakit berbahaya bernama Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).

Paling menyedihkan, penyakit mematikan ini bukan hanya dirasakan oleh pelaku yang terlibat langsung dalam transaksi esek-esek tersebut. Ibu rumah tangga, bahkan anak-anak yang masih ada dalam kandungan, turut menjadi korban berikutnya.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Palu telah mencatat sebanyak 622 warga setempat yang terinfeksi penyakit HIV/AIDS, selama tahun 2002 hingga 2017. Dalam kurun waktu 15 tahun tersebut, sudah 98 orang yang meninggal dunia akibat penyakit menular itu.

Di kota ini, kasus HIV didominasi usia 19 sampai 35 tahun dengan tren peningkatan terjadi pada ibu-ibu rumah tangga. Usia yang sangat produktif untuk membangun sebuah peradaban kota di masa akan datang.

Data penderita HIV/AIDS terakhir, jumlah yang masih hidup adalah 524 orang, 184 diantaranya adalah ibu rumah tangga.

Ternyata, di posisi ini, komunitas PSK adalah “bank sampah” penyakit itu. Identifikasi Dinkes, komunitas ini bersama beberapa kelompok lainnya seperti komunitas waria, para napi, komunitas lelaki suka lelaki, pekerja salon dan panti pijat serta hotel dan club malam adalah populasi kunci yang sangat berpotensi menjadi sumber penularan HIV/AIDS.

Kadinkes Kota Palu, Royke Abraham

“Bahwa karena ketidakmampuan kita memetakan populasi kunci secara baik, sehingga transmisi seksual HIV semakin sulit kita control. Sex Safety condom 100 persen kerapkali di hujat sebagai legalisasi sex bebas. Sementara di lain pihak, fakta dan data ternyata ibu rumah tangga yang solehah harus terinfeksi virus ini, bahkan bayi dan balita tidak berdosa harus juga menanggung akibatnya,” kata Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Palu, Royke Abraham, belum lama ini.

Sejauh ini, Dinkes Kota Palu telah mengambil langkah-langkah pemantapan kegiatan promotif preventif, sistem diagnosa, sistem pengobatan dan rehabilitasi penderita, keluarga maupun masyarakat.

Ini dilakukan untuk mencapai target 3 Zero, yaitu tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian yang terkait HIV/AIDS dan tidak ada diskriminasi penderita HIV/AIDS.

Untuk mencapai target itu, Dinkes pun melibatkan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), MUI, gereja dan sebagainya.

“Diantaranya penyuluhan, kunjungan dan counselor. Ini membuat mereka lebih terbuka dan lebih siap untuk mengikuti tes darah sukarela dan mengikuti program pengobatan dan rehabilitasi mental tanpa takut didiskriminasi,” kata Royke.

Sementara yang berada di luar populasi kunci, tetap diminta membentuk Pokja HIV di tempatnya masing-masing, seperti perusahaan agar dapat mandiri dalam melakukan pencegahan dan penanganan virus HIV ini.

TAK ADA PILIHAN, TUTUP “TONDO KIRI”

Hasil “Libu Ntodea” yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Palu, beberapa waktu lalu, telah memutuskan untuk membentuk tim bersama untuk mengkaji lebih dalam tentang “Tondo Kiri” dari berbagai aspek, termasuk kemungkinan psikologi massa bila harus direlokasi ke tempat yang lebih tepat.

Royke sangat berharap sembari mendorong adanya solusi yang bijak terhadap rencana Pemkot tersebut.

Menurutnya, dengan data yang lengkap, tentunya akan menghasilkan kebijakan dan keputusan yang tepat untuk dapat mengakomodir semua kepentingan, tanpa harus mengorbankan pihak manapun.

“Dibutuhkan pemahaman bersama semua pihak sehingga wawasan lebih terbuka untuk melangkah bersama menuju 3 Zero,” katanya.

Tak ada alasan. Tak ada pilihan, pemerintah harus berani melawan berbagai macam kemungkaran, berani mengambil sikap atas tempat maksiat yang tak membawa kebaikan itu. Pemerintah dapat dinilai berhasil oleh rakyatnya, bilamana mampu menuntaskan segala bentuk kemungkaran.

Suara paling “garang” dan berani disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulteng, guna mendorong penutupan lokasi pembawa petaka itu.

Ketua MUI Sulteng, HS Ali bin Muhammad Aljufri

Ketua MUI Sulteng, HS Ali bin Muhammad Aljufri, menilai, surganya lelaki hidung belang itu hanya merusak moral, bahkan merusak fitrah manusia. Tidak akan membawa kemaslahatan bagi ummat jika eksistensinya masih saja dipelihara.

Habib membandingkan keberhasilnya Pemkot Surabaya yang berani menutup tempat hiburan malam terbesar di negara ini, Gang Doly. Menurut Habib, sedangkan yang tidak memiliki izin saja, pun diduga masih berjalan, apalagi yang masih mengantongi izin.

“Ditutup, kenapa harus kita buka. Pemerintah gagap mengambil sikap. Jika hal ini terus dibiarkan, dipercaya akan mendatangkan berbagai masalah,” tegas Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Alkhairaat itu.

Sejauh ini, Habib mengaku belum mengetahui pasti, siapa yang memberikan izin itu, Pemkot Palu atau Pemprov Sulteng.

“Tentunya kita meminta kepada yang membukanya untuk menarik lagi izin yang diberikan,” ujar Habib.

Senada dengan itu, Pimpinan Majelis Syubanulkhairaat, Anas Umar Marshale, menyatakan, melegalkan prostitusi justru sangat bertentangan dengan visi Pemkot Palu yakni berbudaya dan beradat.

Sudah saatnya, kata dia, pemerintah mengambil tindakan tegas, tentunya dengan langkah-langkah dan persiapan yang matang. Menurutnya, tidak boleh serta-merta mengabaikan nasib para PSK.

Alumni Mesir ini menyarankan, dalam merelokasi para PSK itu, pemrintah harus melakukan pendekatan persuasif dan membangun komunikasi yang baik. Pemerintah harus memberikan berbagai ruang, diantaranya pelatihan keterampilan, sehingga dapat mengangkat sisi kemanusiaan para eks PSK.

Sementara Ketua MUI Kota Palu, Zainal Abidin mengatakan, perlunya solusi yang tepat untuk menutup lokalisasi tersebut.

Zainal menuturkan, untuk menutup tempat tersebut diperlukan pendekatan, terutama pendekatan agama dan kekeluargaan. Setiap PSK dibina dan diberi pendidikan keagamaan yang terus-menerus, sehingga timbul kesadaran moral.

“Dengan harapan para PSK tersebut tidak lagi kembali ke profesi lamanya. Pendekatan agama pun perlu dilakukan secara bertahap, misalkan mengajak ke rumah ibadah, aktif di majelis ta’lim, hingga mengikuti pengajian,” terangnya. (NANANG IP)