PALU – Kelurahan Buluri dan Watusampu tak lagi indah, setiap hari kerja gemuruh crusher terdengar, mengikis ketenangan dan lingkungan hijau yang dulu dikenal sebagai penghasil buah sarikaya. Kini, buah unggulan itu masih ada tetapi sudah dalam kepungan tambang galian C.

Debu bertebaran di musim panas, sementara banjir sering menutupi ruas jalan Palu-Donggala saat hujan. Alat berat seperti ekskavator mengikis gunung, menjadi tontonan gratis bagi warga dua kelurahan ini.

Menurut Wandi, juru bicara WALHI Sulteng, sumber mata air terancam oleh industri ekstraktif tambang pasir dan batuan yang mengelilingi pemukiman warga di Pesisir Palu Donggala. Aktivitas eksploitasi sumber daya alam secara masif menyebabkan polusi udara, dengan debu tambang menyelimuti pemukiman setiap hari.

“Sebanyak 2.422 orang menderita gangguan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berdasarkan data Puskesmas Anuntodea Tipo tahun 2023. Ini terdiri dari Kelurahan Tipo 915 kasus, Buluri 813 kasus, dan Watusampu 694 kasus,” ungkap Wandi.

Warga Buluri dan Watusampu kini makin terancam karena mata air berada dalam konsesi pertambangan. WALHI Sulteng menemukan ada tiga titik mata air di Kelurahan Buluri, salah satunya di Valoli yang berada di bawah mesin crusher dan masih dikonsumsi oleh sekitar 30 kepala keluarga.

“Mata air Uwentumbu dan Taipa Baki berjarak sekitar 300 meter dari area pertambangan, dan di sekitar mata air tersebut terdapat debu tebal yang menempel di dedaunan pohon,” terang Wandi. Sumber air utama ini digunakan oleh 1.308 kepala keluarga untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci dan minum.

Sebelum ada aktivitas pertambangan, Sungai Nggolo di Kelurahan Buluri dimanfaatkan oleh warga untuk mencuci dan mandi. Kini, sungai tersebut berangsur hilang dari kehidupan warga karena dampak pertambangan.

“Sumber mata air yang tersisa di Kelurahan Buluri dimanfaatkan warga untuk keberlangsungan hidup setiap hari,” kata Wandi. Namun, warga khawatir sumber mata air terakhir ini akan hilang.

Pemerintah Sulawesi Tengah dianggap mengabaikan dan melakukan pembiaran atas eksploitasi ini, tanpa tindakan tegas terhadap pelaku perusak lingkungan. Pemerintah justru memberikan karpet merah kepada pelaku usaha dengan menerbitkan putusan penanganan debu pada kegiatan pertambangan, termasuk mewajibkan pelaku usaha melakukan penyiraman minimal dua kali sehari sesuai arahan dokumen lingkungan.

Di Kelurahan Watusampu, temuan Koalisi Petisi Palu-Donggala menunjukkan bahwa sumber air yang dikonsumsi warga berada dalam kawasan pertambangan. Pal batas hutan lindung juga ada dalam area konsesi, menambah kekhawatiran akan keberlanjutan sumber air bersih.

Reporter: Irma
Editor: Nanang