PALU – Perwakilan Gerakan Perempuan Bersatu (GPB) Sulawesi Tengah, Dewi Rana, mengungkapkan bahwa jumlah kasus kekerasan seksual di wilayah Sulawesi Tengah terus meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan data tercatat, pada 2021 terdapat 48 kasus kekerasan, dengan 9 di antaranya merupakan kekerasan seksual. Pada 2023, angka tersebut meningkat menjadi 79 kasus, termasuk 15 kasus kekerasan seksual. Sementara, hingga 2024 telah tercatat 55 kasus, dengan 9 di antaranya kekerasan seksual.
Peningkatan kasus ini menjadi perhatian serius, terutama terkait kasus femisida yang sering kali tidak dikenakan pasal sesuai dengan sistem hukum Indonesia.
Hal tetsebut disampaikan Dewi dalam diskusi publik bertema Mengupayakan Hak Kesehatan dan Layanan Komprehensif untuk Korban Kekerasan Seksual yang diselenggarakan oleh Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia, bersama Aliansi Gerakan Perempuan Bersatu (GPB) Sulawesi Tengah, Kelompok Perjuangan Kesejahteraan Perempuan Sulteng (KPKP-ST), dan Yayasan Merah Putih (YMP) di Madalle Cafe & Resto, Jalan Nokilalaki Utara, Kota Palu, pada Sabtu (15/3) petang.
Dewi menilai bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) membawa perubahan signifikan dalam perlindungan korban kekerasan seksual. Undang-undang tersebut menitikberatkan pada perlindungan dan pemulihan korban, bukan hanya penghukuman pelaku.
Selain itu, kata Dewi,UU TPKS memberikan ruang bagi pendamping hukum dari komunitas atau kelompok akar rumput untuk mendukung korban dalam proses persidangan serta mengatur bahwa kesaksian korban memiliki bobot sebagai alat bukti.
Namun, kata Dewi meskipun UU TPKS progresif, implementasinya masih mengalami berbagai kendala. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman hukum di kalangan aparat penegak hukum. Banyak petugas belum sepenuhnya memahami atau menerapkan undang-undang ini secara maksimal, sehingga menghambat proses keadilan bagi korban.
Selain itu, kasus kekerasan seksual berbasis digital, seperti penyebaran video tanpa izin, sering terkendala dalam pengumpulan bukti. Bahkan dalam beberapa kasus, kesaksian korban penyandang disabilitas sering kali tidak diterima secara sah oleh aparat hukum, meskipun UU TPKS telah mengatur hak mereka untuk bersuara.
Dewi juga menyoroti minimnya pendanaan bagi lembaga layanan yang menangani korban kekerasan seksual. Keterbatasan dana ini berdampak pada kurangnya fasilitas dan dukungan bagi korban, yang pada akhirnya memperpanjang trauma mereka. Stigma sosial yang melekat juga membuat korban sulit mendapatkan keadilan, sementara proses hukum yang berbelit justru kerap memberatkan mereka.
Banyak kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti anggota keluarga, guru, atau tokoh agama. Sayangnya, kasus-kasus ini sering kali diselesaikan secara adat, yang justru menghambat proses hukum dan tidak memberikan keadilan bagi korban.
Oleh karena itu, Dewi menegaskan pentingnya peningkatan kapasitas bagi aparat penegak hukum serta keberlanjutan pendanaan bagi organisasi yang membantu korban. Selain itu, mekanisme pelaporan harus lebih mudah diakses, terutama di daerah terpencil.
“Penerapan UU TPKS harus dilakukan secara ketat. Penyelesaian adat tidak boleh menggantikan proses hukum bagi pelaku kekerasan seksual,” tegasnya.
REPORTER : IKRAM