JAKARTA- Dunia jurnalisme Indonesa dikejutkan oleh aksi teror pengiriman kepala babi dan bangkai tikus, ditujukan kepada wartawan dan media majalah Tempo.

Tindakan tersebut tidak hanya mengancam kebebasan pers tetapi juga menunjukkan upaya intimidasi terhadap wartawan, khususnya Francisca Christy Rosana alias Cica.

Aksi tersebut merupakan bentuk serangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan berekspresi, dan nilai-nilai jurnalisme inklusif menjunjung tinggi keberagaman dan kesetaraan.

Lebih memprihatinkan respons dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang dengan santai menyatakan “Dimasak aja” atas kejadian tersebut.

Pernyataan tersebut tidak hanya menunjukkan ketidakpedulian terhadap ancaman terhadap kebebasan pers, tetapi juga mengabaikan prinsip jurnalisme inklusif seharusnya dilindungi dan dihormati oleh semua pihak, termasuk pemerintah.

Dalam pernyataan resminya, Koalisi Jurnalisme Inklusif mengutuk keras tindakan teror dilakukan oleh siapapun nyata-nyata mengancam terhadap kebebasan pers.

“Kebebasan pers bukan saja merupakan hak konstitusional harus dijamin, namun juga instrumen demokrasi mesti kita jaga bersama,” ujar salah satu perwakilan Leli Qomarulaeli MediaLink, Ahad (23/3).

Koalisi mendesak pemerintah harus bertanggung jawab langsung melaksanakan amanat UUD NRI 1945 untuk menjamin kebebasan pers, untuk melakukan proses penegakan hukum dengan sesungguh-sungguhnya, bukan dengan pernyataan justru melecehkan. 

Koalisi Jurnalis Inklusif mengajak semua elemen masyarakat, termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas jurnalis, untuk bersatu dalam melindungi kebebasan pers dan memastikan bahwa suara-suara kritis tetap dapat didengar.

Koalisi juga mendorong media untuk terus menerapkan prinsip jurnalisme inklusif. 
Jurnalisme inklusif bukan hanya tentang melaporkan berita, tetapi juga tentang memastikan bahwa semua suara, terutama sering terpinggirkan, mendapatkan ruang setara.

“Aksi teror dan intimidasi terhadap wartawan bukanlah hal baru, tetapi hal ini tidak boleh menjadi sesuatu dianggap biasa. Setiap serangan terhadap kebebasan pers dan jurnalisme inklusif adalah serangan terhadap demokrasi itu sendiri,” ujar salah satu perwakilan Sayyidatul Insiyah SETARA Institute.

Koalisi terus memantau perkembangan kasus tersebut dan mendorong upaya-upaya untuk memastikan bahwa kebebasan pers dan jurnalisme inklusif tetap terjaga. Demi demokrasi, demi kebenaran, dan demi masa depan Indonesia lebih inklusif dan adil.

Koalisi Jurnalis Inklusif terdiri dari, Leli Qomarulaeli (MediaLink), Abdul Waidl (INFID), Sayyidatul Insiyah (SETARA Institute), Subhi Azhari (Yayasan Inklusif), Neng Hannah (Fatayat NU Jawa Barat), Astrid Putri (Asosiasi Media Siber Indonesia).

Reporter : **IKRAM