Terakhir saya teringat dengan sebuah cerita lucu, yang konon terjadi di salah satu kampung di Manado. Mungkin saja ini hanya sekadar cerita karangan, tetapi tidak pernah terjadi.
Suatu hari pada pukul 09.00 Wita, terdengar suara azan dari satu-satunya masjid di salah satu kampung Muslim.
Mendengar azan yang dilantunkan pada waktu yang tidak lazim, membuat orang-orang kampung berduyun-duyun datang ke masjid dengan niat menegur sang muazin. Kebetulan yang azan pada waktu itu adalah imam masjid di kampung itu.
Selesai azan, imam dimarahi dengan perkataan oleh beberapa orang: “Hei, imam so gila ngana. Ini jam barapa kong ngana so azan, ngana nintau balia jam?” (hai imam kau sudah gila, ini jam berapa kau sudah azan. Tidak tahukah kau melihat jam?) Sambil senyum namun dengan suara tinggi imam menjawab; “ Supaya ngoni samua tau, so puluan taong kita ada azan jam 12. nyanda ada ngoni ta sopu bagini banya. No, mulai skarang waktu lohor di kampung ini kita roba jadi jam sambilang. sebab ngoni so banya datang (supaya kalian tahu, sudah puluhan tahun saya azan jam 12., tidak ada kalian datang sebanyak ini, nah mulai sekarang saya akan ubah shalat dhuhur di kampung ini jadi jam sembilan, sebab kalian sudah banyak datang).
Dengan wajah tertunduk dan malu orang-orang kampung pulang ke rumah masing-masing.
Tiba jam 12, imam azan lagi dan orang-orang di kampung itu berdatangan shalat dzuhur berjama’ah di masjid.
Kadang untuk menyadarkan perlu berbuat kesalahan dan dari kesalahan itu kalau disikapi secara positif akan berbuah hikmah yang positif pula.
Barangkali kesilapan penggunaan contoh oleh Bapak Menag akan menuai hikmah. Jika kita sikapi dengan cara yang santun, tanpa dilandasi rasa benci dan memaki-maki.
Saya yakin seyakin yakinnya bahwa Pak Menteri pasti tidak punya niat melecehkan azan dan tujuan pengaturan suara yang keluar dari speaker agar terdengar indah dan syahdu.
Ini tujuan mulia, tetapi menjadi keliru, gaduh dan rancu ketika memilih contoh suara gonggongan anjing.
Coba kalau mencontohkan suara kicauan burung, jangkrik atau yang lain, bahkan kalau perlu tidak usah memberi contoh suara apapun, langsung saja pada substansi dikeluarkannya surat edaran, saya yakin tidak akan gaduh seperti ini.
Saran saya karena ini sudah gaduh serta berpotensi untuk “digoreng” maka sebaiknya Pak Menteri memohon maaf atas kekeliruannya memilih contoh kata yg tidak tepat.
Bagi para pendukung Pak Menteri, berhentilah menjelaskan, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan hanya akan menambah gaduh.
Hentikan kegaduhan ini, supaya upaya pembenturan sesama muslim tidak terjadi. Ambillah hikmah dari kejadian ini, bahwa persatuan ummat harus terus dijalin. ***