OLEH : Amal Alkhairaaty
Waktu saya masih tinggal di Manado, rasanya hidup berdampingan dengan saudara non muslim di sana terasa indah dan damai.
Saya tinggal di Kelurahan Istiqlal yang lebih dikenal dgn Kampung Arab, berdampingan dgn Kampung Cina yang kalau tidak salah terletak di Kelurahan Pinaesaan.
Orang Manado lebih kenal sebutan untuk dua kelurahan itu dengan “Kampung Arab” dan “Kampung Cina”. Buktinya saya lupa-lup ingat nama kelurahan untuk Kampung Cina.
Pernah juga waktu saya ke Manado dari Palu turun di Stasiun Malalayang, cari “oto mikrolet” (sebutan sebagian orang Manado pada waktu itu untuk angkutan kota, sekalipun merek mobilnya mungkin Daihatsu).
Saya bertanya kepada sopir angkot itu “Om boleh antar pa kita ka Kelurahan Istiqlal ?” (pakai logat Manado). Sopir balik bertanya “di mana itu Istiqlal kang?”. Saya jawab “Kampung Arab Om”. “Oh, co dari tadi ngana bilang Kampung Arab, kalo Kampung Arab kita tau, nae jo dang”. (Oh, coba dari tadi kau bilang Kampung Arab, kalau Kampung Arab saya tahu, naiklah) Jawab sopir angkot.
Saya tidak akan bercerita panjang tentang Kampung Arab dan Kampung Cina di Manado. Juga bukan bercerita tentang kerukunan umat beragama di sana. Karena hampir semua orang Indonesia tahu bahwa kehidupan beragama di Manado sangatlah damai.
Saya hanya akan bercerita sedikit tentang beberapa kesalahan tingkah laku umat Islam di Kampung saya, tetapi tidak menimbulkan kegaduhan, justru hikmahnya adalah timbul rasa damai dan sejuk, karena disikapi secara positif oleh semua pihak.
Selama tinggal di Manado saya tidak pernah dengar protes suara azan dari orang Kampung Cina. Bahkan kalau Bulan Ramadhan ada tradisi di Kampung Arab, acara “kase bangung saor” (membangunkan orang sahur) dengan bernyanyi diiringi musik seadanya dan tentunya mengeluarkan suara lebih dari 100 db, oleh sekelompok anak muda sambil keliling Kampung Arab.
Biasanya malam sahur terakhir keliling sampai ke sebagian Kampung Cina, padahal tidak ada orang Kampung Cina yang bangun dan makan sahur. Ada juga non Muslim dan orang Keturunan Cina yang tinggal di dalam Kampung Arab.
Teringat dengan sebuah keluarga non Muslim yang tinggal di dalam Kampung Arab, pimpinan Keluarganya biasa kita Panggil “Om Kori’”.
Setiap Bulan Ramadhan rumah keluarga Om Kori selalu dijahili oleh anak-anak muda Kampung Arab saat keliling kampung kase bangun saor dengan mengetuk pintu rumah Om Kori, sambil berteriak “Om Kori, bangun.. bangun sahuuur, sahur. Om Kori hanya berteriak dari dalam rumahnya; sudah, sudah kita so saor.
Kadang kalau Om Kori sudah dengar suara musik dan pekikan suara saor, saor, Om Kori langsung keluar dari rumahnya sambil angkat tangan dan berkata, kita so bangung saor ini, nyak usah ngoni toki kita pe rumah ne! (Saya sudah bangun sahur, jangan ketuk lagi rumahku ya) dengan tertawa, diikuti dengan suara tertawa anak-anak muda itu juga.
Begitulah keadaan kalau sebuah kesalahan yang masih bisa ditolerir dan disikapi secara positif oleh semua pihak, mala akan tercipta suasana rukun dan damai.
Bukan hanya keluarga Om Kori yang tinggal di Kampung Arab, tetapi ada beberapa keluarga non muslim lainnya, bahkan keluarga non muslim keturunan Cina juga ada seperti yang saya ingat keluarga Amoy yang suaminya pernah jadi pala’ (ketua RT) di Kampung Arab.
Amoy dan keluarganya merasa aman dan terlindungi hidup dengan umat Islam di Kampung Arab Manado. Apabila setiap malam menjelang idul fitri, Amoy dan keluarga ikut mengeluarkan zakat yg disalurkan oleh Panitia Zakat Remaja Masjid Masyhur Istiqlal Manado (RMMIM). Sambil mengantarkan 2 karung beras ke Panitia dan kalau di tanya; “ini apa Moy? Amoy akan jawab zakat no!.
Tiba saat hari kedua hari raya idul fitri ada tradisi iwad atau tawaf keliling rumah-rumah di Kampung Arab, sambil membaca doa-doa tertentu sekaligus bersalam-salaman dan saling memaafkan.
Keluarga Om Kori serta Amoy, juga beberapa keluarga non Muslim lainnya di Kampung Arab ikut menyiapkan kue lebaran dan disajikan di halaman rumah mereka kepada peserta iwad.
Saat itulah prosesi saling memaafkan dilakukan.
Terakhir saya teringat dengan sebuah cerita lucu, yang konon terjadi di salah satu kampung di Manado. Mungkin saja ini hanya sekadar cerita karangan, tetapi tidak pernah terjadi.
Suatu hari pada pukul 09.00 Wita, terdengar suara azan dari satu-satunya masjid di salah satu kampung Muslim.
Mendengar azan yang dilantunkan pada waktu yang tidak lazim, membuat orang-orang kampung berduyun-duyun datang ke masjid dengan niat menegur sang muazin. Kebetulan yang azan pada waktu itu adalah imam masjid di kampung itu.
Selesai azan, imam dimarahi dengan perkataan oleh beberapa orang: “Hei, imam so gila ngana. Ini jam barapa kong ngana so azan, ngana nintau balia jam?” (hai imam kau sudah gila, ini jam berapa kau sudah azan. Tidak tahukah kau melihat jam?) Sambil senyum namun dengan suara tinggi imam menjawab; “ Supaya ngoni samua tau, so puluan taong kita ada azan jam 12. nyanda ada ngoni ta sopu bagini banya. No, mulai skarang waktu lohor di kampung ini kita roba jadi jam sambilang. sebab ngoni so banya datang (supaya kalian tahu, sudah puluhan tahun saya azan jam 12., tidak ada kalian datang sebanyak ini, nah mulai sekarang saya akan ubah shalat dhuhur di kampung ini jadi jam sembilan, sebab kalian sudah banyak datang).
Dengan wajah tertunduk dan malu orang-orang kampung pulang ke rumah masing-masing.
Tiba jam 12, imam azan lagi dan orang-orang di kampung itu berdatangan shalat dzuhur berjama’ah di masjid.
Kadang untuk menyadarkan perlu berbuat kesalahan dan dari kesalahan itu kalau disikapi secara positif akan berbuah hikmah yang positif pula.
Barangkali kesilapan penggunaan contoh oleh Bapak Menag akan menuai hikmah. Jika kita sikapi dengan cara yang santun, tanpa dilandasi rasa benci dan memaki-maki.
Saya yakin seyakin yakinnya bahwa Pak Menteri pasti tidak punya niat melecehkan azan dan tujuan pengaturan suara yang keluar dari speaker agar terdengar indah dan syahdu.
Ini tujuan mulia, tetapi menjadi keliru, gaduh dan rancu ketika memilih contoh suara gonggongan anjing.
Coba kalau mencontohkan suara kicauan burung, jangkrik atau yang lain, bahkan kalau perlu tidak usah memberi contoh suara apapun, langsung saja pada substansi dikeluarkannya surat edaran, saya yakin tidak akan gaduh seperti ini.
Saran saya karena ini sudah gaduh serta berpotensi untuk “digoreng” maka sebaiknya Pak Menteri memohon maaf atas kekeliruannya memilih contoh kata yg tidak tepat.
Bagi para pendukung Pak Menteri, berhentilah menjelaskan, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan hanya akan menambah gaduh.
Hentikan kegaduhan ini, supaya upaya pembenturan sesama muslim tidak terjadi. Ambillah hikmah dari kejadian ini, bahwa persatuan ummat harus terus dijalin. ***