PALU- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng) menggelar dialog publik bertempat, di rumah gerakan WALHI Sulteng, Rabu (8/3).

Dialog publik ini dilakukan memperingati International Women’s Day, bersama Walhi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Solidaritas Perempuan (SP) Palu dan Perkumpulan Evergreen Indonesia (PEI), bertema “Urgensi Implementasi Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang biasa dikenal dengan UU PPLH khususnya Bagi Perempuan Pembela HAM dan Lingkungan,”.

Dialog menghadirkan narasumber dari Walhi Sulawesi Tengah, KPA Sulawesi Tengah, SP Palu dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, diikuti seluruh elemen organisasi gerakan sosial, pemuda, mahasiswa serta organisasi rakyat dan organisasi pers di Sulawesi Tengah khususnya Kota Palu.

Kepala Departemen Organisasi Eksekutif Daerah Walhi Sulteng Bonar Adrian Barau mengatakan, dari kegiatan ini, berharap ada hasil dicapai, misalnya dapat tersosialisasinya Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH.

“Serta adanya rekomendasi bersama ditujukan pada para pihak terkait antara lain gubernur/bupati/wali kota, Komda HAM Sulawesi Tengah, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Kejaksaan Negeri dan DPRD Propinsi Sulawesi Tengah,” urainya.

Pada Pasal 66 UU PPLH sebut dia, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

“Pasal ini secara gamblang menegaskan perlindungan pada setiap orang dalam memperjuangkan haknya khususnya lingkungan hidup, namun praktiknya pasal ini tidak memiliki arti apa-apa, sebab kriminalisasi masih terus terjadi dimana-mana terutama pada wilayah-wilayah perkebunan sawit skala besar maupun wilayah industri pertambangan,“ tutup Bonar.

Sulawesi Tengah memiliki eskalasi konflik agraria kian meningkat, ini merupakan konsekuensi masuknya investasi besar-besaran guna mengeksploitasi sumber daya alam (SDA), berimbas pada konflik agraria kerap terjadi di berbagai wilayah di daerah ini.

Dari catatan KPA Sulawesi Tengah, sepanjang 2015 – 2020, terjadi 2.288 konflik agraria, mengakibatkan 1.437 orang dikriminalisasi, 776 dianiaya, 75 tertembak dan 66 tewas.

Konflik ini terjadi bukan hanya menimpa petani laki-laki tapi juga pada petani perempuan, mengalami kriminalisasi, kekerasan dan intimidasi dari pihak perusahaan menggunakan aparat kepolisian, preman maupun tantara.

Catatan Walhi Sulteng, sepanjang 2022 hingga memasuki 2023 ini, konflik agraria antara petani dan perusahaan perkebunan kelapa sawit sudah berlangsung sejak lama. PT. Astra Agro Lestari (AAL) merupakan group perkebunan sawit terbesar di Sulteng paling sering berkonflik.

AAL ini memiliki enam anak perusahaan, PT. Lestari Tani Teladan (LTT) luas lahan 6.254,325 hektar di Kabupaten Donggala, di Kabupaten Morowali Utara terdapat lima yaitu, PT. Agro Nusa Abadi (ANA) lahan seluas 19.675 hektar, PT. Rimbunan Alam Sentosa (RAS) dengan luas 21.289, PT. Cipta Agro Nusantara (CAN) dengan luas 15.000 hektar dan PT. Sawit Jaya Abadi (SJA) yang memiliki 2 konsesi dan menguasai lahan seluas 36.546 hektar yang melintas Kabupaten Morowali Utara dan Kabupaten Poso, menyusul PT. Sawindo Cemerlang (SCEM) dan PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) di Kabupaten Banggai dan PT. Hartati Inti Plantation (HIP) di Kabupaten Buol juga menyisahkan berbagai masalah antara petani dan perusahaan.

Sejak 2004 hingga saat ini ada 3 orang petani Desa Panca Mukti dikriminalisasi, 4 orang di Desa Polanto Jaya, serta 5 orang petani Dusun Kabuyu Desa Martasari dan 2 orang petani Desa Bunta Morowali Utara, total keseluruhan dari 2004 – 2022 sebanyak 14 orang petani yang telah mengalami kriminalisasi oleh anak perusahaan AAL ini, dengan tipe konflik hampir sama yaitu tuduhan pencurian buah oleh petani di lahan milik perusahaan.

Hal tersebut di karenakan adanya klaim HGU perusahaan terhadap lahan-lahan petani dan terakhir pada Maret 2023 ini hukuman penjara 2,6 tahun dijatuhkan Pengadilan Negeri Poso terhadap 2 orang petani kakak beradik yang divonis mencuri buah sawit.

Belum lagi kawasan pengolahan industri pertambangan yang masuk dalam kawasan hutan ataupun penggunaan bahan bakar fosil berupa solar alat berat dalam proses pembukaan kawasan maupun penggunaan batu bara PLTU dan PLTA guna penggerak smelter pengolahan nikel juga penggunaan merkuri, sianida dan zat kimia lainnya dalam pengolahan emas, semua berdampak merusak lingkungan ekologis, hutan, danau, sungai maupun laut, terancamnya pulau-pulau kecil dan pesisir pantai.

Tindakan dilakukan perusahaan terhadap aktivis pembela HAM maupun para petani dan rakyat memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungannya adalah hal paling sering terjadi, ketika perlawanan begitu massif, dengan memobilisasi aparat kemanan seperti TNI dan Polri serta preman bayaran perusahaan melakukan teror dan intimidasi, tidak sedikit aktivis pembela HAM, petani dan rakyat mendapatkan dampak dari tindakan tersebut bahkan ada sampai meninggal dunia dan paling tragis jadi pusat perhatian baik nasional maupun daerah adalah tewasnya seorang demonstrasi ditembak polisi saat penolakan perusahaan tambang emas di Kabupaten Parigi Moutong pada Februari 2022 lalu dan belakangan pelakunya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Parigi.

Reporter: IKRAM