Oleh: Patjewa
SIAPAKAH GURU TUA ?
Guru Tua adalah predikat dalam budaya kaili yang diperuntukkan bagi tokoh yang mumpuni dalam hal membimbing, membina, mendidik dan mengajar umat dalam bidang keagamaan. Kata Tua sesudah guru, mengisyaratkan Guru Tua bukanlah sekedar guru biasa mengajarkan pengetahuan biasa ( transfer of knowlegde), tapi juga mengajarkan ilmu yang merasuk kedalam jiwa umat ( transfer of spiritual).
Kata yang setara dengan predikat TUA dalam budaya kaili adalah Pua,Pue, Tupu, Dato, Tumpu (Kulawi).
Ada lagi predikat yang diperuntukan bagi Guru Tua. Etnis kaili juga memberi julukan “ Sai Kuni Kire “ (arti harfiah : Goresan kunyit (warna kuning dikening). Kunyit atau kunir adalah tumbuhan perdu jenis tanaman umbi-umbian. Umbinya (kunir) berfungsi serbaguna, diantaranya bumbu masak sebagai pewarna masakan “Palumara” masakan khas kaili. Kunir juga dipakai sebagai bahan beras kencur oleh dukun mengobati perut kembung sang bayi. Para gadis sering menggunakan kunir ditumbuk dengan beras dijadikan lulur penghalus kulit (bada kuni). Bahkan mythos etnis kaili, kunyit juga digunakan sebagai penangkal penyakit akibat gangguan makhluk halus (keteguran).
Namun dalam makna filosofis “ SAI KUNI KIRE “ mengandung pengertian lebih mendalam lagi. Sosok SAI KUNI KIRE sangat kentara ‘ NOA MASA “ (kaili), NOPAHU (Kulawi), kentara “ Marwah “ yang mengagumkan. Marwah atau gezag (wibawa) adalah unitas atau rangkuman yang dimiliki sekaligus oleh seorang Sai Kuni Kire berupa : menjadi kebanggaan (Pride), selalu menghargai sesame dengan tulus ikhlas sehingga makin menaikan derajat dan harga dirinya (dignity) dan memiliki ekspresi kegagah perkasaan dan kejantanan (manliness).
Demikian itulah pandangan etnis kaili terhadap sosok seorang “GURU TUA” simpul kata, etnis kaili memandang sosok “ Guru Tua “ sebagai Waliyullah (Arief billah).
Sikap pengabdian Guru Tua kepada Allah S.W.T dan cara bergaul terhadap sesamainsan, tidah mudah terlupakan oleh orang-orang dekatnya ; terutama para murid, turunan dan keluarga dekatnya. Keutamaan Guru Tua sebagai seorang waliyullah yang sulit terlupakan diantaranya :
- Mengusai pengetahuan syariah dan aqidah secara paripurna karena Guru Tua dicerdikan oleh Allah S.W.T, bukan oleh yang lain-lain.
- Kamil lagi mukamil, ilmunya sempurna dan menyempurnakan yang diberi kurnia oleh Allah, karena Allah.
- Pengajaran dan doanya (apabila ia mengajar atau mendoakan) berkbekas berubah kearah keabaikan dengan izin dan ridha Allah, “ Bi izmillahi “.
- Senantiasa menjaga jarak dengan pejabat atau para hakim , untuk mencegah praduga memperalat atau diperalat yang dapat menodai pengabdian kepada Allah S.W.T dan pembinaan kepada umat.
- Masyhur dimana-mana, kawan danlawan mengakuinya sebagai guru utama bukan hanya sekedar sebagai guru besar.
- Pengajarannya yang tidak dapat dicela oleh orang yang berakal , karena sesuai dengan Al qur’an, Al Hadits, akal dan ilmu pengetahuan.
Demikian hanya sekelumit bobot religiusitas seorang Guru Tua sebagai wali Allah.
Bahkan menurut Mukhsen bin ai Al Habsyi (cucu langsung lapis ke 1 dari suami isteri Guru Tua Intjeami), Guru Tua adalah politisi ulung dan Nasionalis universal. Menurutnya Guru Tua tidak pernah berpolitik praktis untuk kepentingan sesaat. Prinsip politik Guru Tua adalah sesuai dengan asal usul tentang predikat politik itu sendiri yaitu politea – pengaturan tatanan yang baik, policy – membangun kebajikan yang prima serta policy – senantiasa menciptakan ide pengamanan terhadap tatanan dan kebijakan demi terwujudnya pembinaan umat melalui wadah pendidikan yang didirikannya ( P.I. Alkhairaat).
Sebagai seorang Nasionalis Universal, menurut Mukhsen bin Ali Al Habsyi, Guru Tua adalah pengagum Bung Karno. Hal ini dibuktikan dengan adanya gubahan syair khusus yang sangat puistis oleh Guru Tua, sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945 syair tersebut (terjemahanya) antara lain berbunyi :
- Wahai Sukarno, engkau hidup diantara kami dalam keadaan mulia dan bahagia.
- Dengan obat datang darimu maka hilang segala penyakit dari kami.
- Ada pada sisimu, bagi kami unsur-unsur kehidupan.
- Dengan pena dan politik engkau unggul.
Sikap Nasionalis universalnya juga dibuktikan oleh Guru Tua menjalin kerjasama dengan pimpinan SMP negeri (I) Palu, pimpinan Hendrik Posumah, seorang nasrani dari Sulawesi Utara saat itu (Tahun ajaran 1957-1958), Guru Tua mendirikan Madrasah lanjutan Pertama (MLP) saat itu mengizinkan Guru Tua merekrut para guru dari SMPN Palu sesuai kebutuhan MLP milik Guru Tua. Staf gurunya H.Posumah yang mengabdi secara sukarela di MLP antara lain : P.K. Entoh, (etnis Mori), Abubakar (etnis Ternate), Z.harun (etnis Gorontalo), Zubir Sain Datuk Garupa (etnis Minangkabau), Laningki Rituinda (etnis Kaili). MLP adalah embrio dari Madrasah Tsanawiyah. Para guru tersebut juga mengajar vak umum di perguruan Mualimin embrio dari Madrasah Aliyah. Kedua madrasah tersebut hingga saat ini masih eksis dibelahan wilayah Indonesia bagian Timur. Guru Tua juga membuktikan sikap Nasionalis Universalnya ketika menunaikan Ibadah Haji pada tahun 1968. Guru Tua memboyong 3 orang muridnya menunaikan Ibadah Haji bersama yaitu : Hi. Syakir Hubaib (etnis kaili), Hi. Hasbullah Arsyad (etnis banjar) dan Hi. Mafuzh Ghodal (etnis arab).
Hi. Syakir Hubaib pernah berceritera, ketika mereka bertemu dengan beberapa Saikh yang terkenal di Mekkah dan Madinah. Beberapa Saikh yang ditemui mengagumi keterampilan methode mengajar Guru Tua terhadap murid-muridnya. Para Saikh yang ditemui tidak percaya kalau Hi. Syakir Hubaib itu adalah orang “ ajam” mereka menyangka Hi. Syakir Hubaib adalah orang Arab asli karena kemahirannya berbahasa Arab yang handal. Bersambung
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.