OLEH: H. Muh Munif Godal
Anas, seorang sahabat nabi meriwayatkan dengan kedudukan hadist hasan shoheh “Marfu’, bahwa suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membagi perbuatan zalim dalam tiga kategori.
Pertama, kezaliman yang tidak akan Allah biarkan. Kezaliman ini terjadi antara sesama manusia dan Allah akan memberikan balasan setimpal bagi pelakunya.
Kedua, kezaliman yang akan diampuni. Model kezaliman ini adalah perbuatan kesalahan atau maksiat yang dilakukan seorang hamba terhadap Allah.
Ketiga, kezaliman yang tidak akan diampuni, yakni perbuatan syirik atau menyekutukan Allah.
Semua orang pasti tidak menginginkan melakukan satu di antara tiga jenis kezaliman itu. Apalagi melakonkan ketiga-tiganya. Tetapi fenomena yang terjadi beberapa hari menjelang Idul Fitri 1441 H, cukup memiriskan hati.
Informasi tentang bahaya dan ancaman Covid-19 begitu gencar disosialisasikan. Bukan saja di media cetak dan elektronik, tapi dengan mudah bisa dilihat melalui layar medsos android pribadi, spanduk dan pamflet.
Data pergerakan angka korban setiap hari ditayangkan. Imbauan Ulama’ dan Umara’ juga berulang kali diterbitkan. Praktis, kecil kemungkinan bila ada yang beralasan tidak mengetahui hal-ihwal bahaya Covid-19.
Namun ironisnya, semua upaya dan ikhtiar itu seakan tidak digubris oleh umat. Ada yang bersikap diam meskipun menolak. Tetapi tidak sedikit yang tampil terang-terangan menentang. Celakanya lagi, mereka yang diharapkan dapat memberikan pencerahan, justru memposisikan diri sebagai inisiator, bahkan memprovokasi umat untuk mengabaikan segala edaran maupun tausyiah.
Dalam situasi demikian, yang dibutuhkan adalah kesadaran. Segala cara dan upaya sudah dilakukan dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Sehingga jika toh masih ada orang yang mengabaikan (apriori) terhadap semua itu, maka ia berpotensi telah berbuat zalim terhadap diri sendiri dan orang lain. Agama melarang perbuatan ini.
Terlepas dari imbauan Ulama’ dan Umara’ yang kerap dicarikan celah mendebatnya, Allah membekali manusia dengan akal sebagai filter untuk membedakan yang baik dan buruk. Al Quran mengingatkan, “Allah tidak akan mengubah satu kaum sampai kaum tersebut mau mengubah diri mereka”. Dalam konteks ini, diri sendiri memegang andil terbesar dalam setiap keputusan (sikap).
Hadits dan ayat tersebut, memberi isyarat bahwa sebagai sesama manusia kita diwajibkan untuk saling mengingatkan. Terlebih menjelang pelaksanaan sholat Idul Fitri. Semua itu demi menjaga diri agar terhindari dari berbuat zalim kepada diri sendiri, dan berpotensi pula kepada orang lain. Rasulullah bersabda, “tolonglah saudaramu yang terzalimi dan yang menzalimi.”
Tanpa sadar, kita terkadang terzalimi akibat termakan berita hoax dan informasi yang menyesatkan. Hanya suka mengambil kulitnya tanpa mendalami isinya. Kita juga berpotensi dalam golongan menzalimi diri sendiri, karena mengetahui bahaya namun dengan sengaja tidak mengindahkannya. Kita lupa bahwa di antara hikmah mengapa Ramadhan didahului bulan hurum, yakni agar ketika memasuki bulan Ramadhan kita benar-benar terhindar dari perbuatan menzalimi diri sendiri.
Rasulullah bersabda, “sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Ia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menzalimi diri kamu dalam bulan yang empat itu”.
Seyogyanya di penghujung Ramadhan, kita tidak lagi disibukkan dengan perkara yang dapat mengurangi nilai ibadah puasa. Justru dianjurkan untuk melaksanakan ibadah yang dapat menambal kekurangan yang ada, agar pada 1 Syawal kita layak menjadi sang pemenang. Kembali suci dan merebut predikat taqwa.
Pakaian baru hakikatnya adalah simbol yang hanya pantas dikenakan oleh mereka yang bergelimang pahala. Sebagai lambang kegembiraan karena telah memenangkan ibadah selama di bulan suci Ramadhan. Bukan malah sebaliknya.
Kaum salaf, tokoh pembesar Islam yang bergelimang pahala telah memberikan teladan. Menghadapi idul fitri, mereka mengenakan pakaian yang jauh dari kata sederhana.
Sayyidina Ali pernah berpesan, tidak dikatakan kembali ke fitrah hanya sekadar dengan mengenakan pakaian baru, namun kembali ke fitrah ditandai dengan bertambahnya rasa takut akan datangnya hari yang di janjikan.
Pesan khalifah keempat ini cukuplah menjadi nasehat menyambut hari kemenangan, Idul Fitri 1 Syawal 1441 H. Wallahu a’lam.*