OLEH: Lutfie Godal*
Setiap kali memasuki hari raya Idul Fitri, ramai perbincangan menghiasi hiruk pikuk kehidupan masyarakat muslim, mulai dari alam maya sampai dengan dunia nyata, sebahagian menyambut dengan suka cita, dan sisanya berharap-harap cemas di selimuti gelisah.
Hal ini kemudian menjadi beralasan karena budget (anggaran) yang tidak sedikit harus dipersiapkan demi memeriahkan hari kemenangan, khususnya di masa yang serba sulit seperti hari ini.
Ditambah lagi, telah menjadi tradisi yang tidak tertulis. Tidak hanya berlaku bagi umat Islam, namun juga bagi semua agama dalam menyambut hari kegembiraan mereka.
Berangkat dari kesadaran akan pentingnya menyamakan rasa dan mempersempit kesenjangan sosial dalam menyambut kegembiraan agar dapat menyemarakkan dan menghidupkan perayaan tersebut, tercetuslah pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) yang esensinya adalah sebagai mata rantai keadilan sosial yang diharapkan agar setiap penerima menyisihkan sebagian untuk kepentingan sosial keagamaan dalam bentuk zakat fitrah, infaq dan sedekah.
Namun banyak yang lalai dan bahkan pura-pura lupa. Konsep seperti ini telah lebih dulu lahir dan terlembaga sejak 1440 tahun silam dalam kalender Islam, di mana agama datang mengusung konsep kesetaraan sosial, membasmi sekat yg dapat menimbulkan kesenjangan, menumbuh kembangkan rasa senasib sepenanggungan demi mengikat erat tali persaudaraan sesama umat dan bahu membahu untuk menjaganya lewat konsep besar yang diberi nama “zakat fitrah”.
Dalam penerapannya, segala motivasi di berikan mulai dari penamaan zakat fitrah yang berarti mensucikan, menumbuhkan dan keberkahan, sampai dengan menempatkan zakat pada posisi penentu kesempurnaan agama umat setelah syahadat, sholat dan puasa, untuk menyadarkan betapa indahnya hidup saling mengayomi, dimana harta yg kita dapatkan tidak terlepas dari campur tangan orang lain yang pada akhirnya pun juga jatuh ketangan orang lain, tidak ada satupun manusia yang dapat mengekalkan harta dalam genggamannya dan pula tidak ada yg mampu menahan sesorang untuk tidak mendapatkan harta (rezeki).
Zakat fitrah merupakan tunjangan hari Raya yang akrab kita kenal dengan istilah “THR” ala Islam bagi mereka yang tidak mampu, bersumber dari harta para Aghniya’ (orang yang memiliki kelebihan harta) serta di berikan kepada mereka yang sangat membutuhkan, dan telah ditentukan jumlah, bentuk, waktu, pemberi dan penerimanya, agar tepat sasaran dengan syarat yg ketat.
Berbeda dengan THR pada umumnya, zakat fitrah bersifat khusus, dengan kata lain THR tidak terikat dengan persyaratan tertentu, tidak demikian dengan zakat fitrah, namun zakat fitrah dapat di kategorikan sebagai bentuk THR ala Islam, karena zakat hanya bisa di berikan dalam bentuk, jumlah, waktu dan penerima tertentu, tidak demikian dengan THR secara umum, walaupun esensinya sama.
Zakat fitrah dapat bersumber dari THR manakala kebutuhan diri dan keluarga telah terpenuhi di hari raya idul fitri lebih dari itu bersifat wajib bagi kepala keluarga terhadap anggota keluarga dan orang yg di ampunya, begitu pula waktu menunaikannya disyaratkan harus melewati bulan Ramadhan walau hanya sedetik sampai ke bulan Syawwal sebelum selesai pelaksanaan sholat Idul Fitri, berlaku bagi anak dan orang tua serta lain sebagainya, yang mana hal tersebut tidak menjadi ketentuan dalam pemberian THR secara umum.
Namun banyak dari kita yang lupa esensi THR, sehingga enggan untuk mengeluarkan hak kaum fakir dan miskin, hal ini dikarenakan tergerusnya rasa solidaritas sosial kemanusiaan yang menyebabkan terjadinya pergeseran moral, menilai hidup hanya dari sudut materi, cenderung individual dan kehilangan rasa kesalingan. Lupa bahwa kegembiraan yg sesungguhnya adalah milik bersama, tidak sekedar menghiasi zhahir namun juga batin, lewat berbagi sesama hamba Allah.
Semua itu telah jauh bergeser, bahkan ada yang tega memanfaatkan zakat fitrah hanya untuk melebelisasi kepentingan mencari panggung mengemasnya sedemikian rupa dalam bentuk THR tanpa memperdulikan ketentuan yang berlaku, diberikan kepada kolega dekatnya bahkan kepada kerabat dekatnya yang seharusnya masuk dalam kewajiban nafkahnya, serta membiarkan kaum fakir dan miskin terlantar. Mereka lupa bahwa peruntukan zakat fitrah bukan untuk memberikan THR kepada mereka yang mendapatkan THR, atau paling tidak masih memiliki sandang pangan yang bisa dinikmati oleh keluarga di hari raya Idul Fitri.
Namun kepada mereka yg tidak mampu membuat dapurnya mengepul di hari kegembiraan, karena sejatinya ketika ia mampu memberi makan pada keluarga dan orang yang dalam ampuanya maka ketika itu ia di kategorikan mampu dan dihukumkan wajib untuk membuat paket THR dalam bingkai zakat fitrah.
Hal ini sebagaimana perintah Rasulullah SAW. Penuhi kebutuhan kaum fakir dan miskin walau hanya di hari Idul Fitri. Wallahu A’lam
*Penulis adalah Kepala KUA Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi