Jejak langkah Sang Pencerah di Lembah Palu, mudah-mudahan tidak hanya sekadar meninggalkan madrasah dalam hitungan angka-angka, tetapi jauh lebih penting adalah spirit yang menjadi oksigen perjuangan yang telah diwariskan Sang Panutan, yang ditandai dengan semangat.
“Keikhlasan dan kesabaran, satunya kata dan perbuatan, empati dan ramah, peduli dengan kebersihan dan kerapian, luwes dan peduli pendidikan wanita, tidak ada waktu tanpa belajar, berani dan teguh pendirian, konsen pada pendidikan agama, memanfaatkan waktu luang untuk menyalurkan hobi dan kegemaran”.14
Inilah sperangkat nilai yang bagaikan untaian “mutiara” yang diwariskan Sang Garu di setiap jejak langkahnya dalam membangun interaksi kehidupan bermasyarakat yang penuh harmoni.
Value yang membingkai tutur kata, menjaga jejak langkah dalam membumikan gerak dakwah. Untaian mutiara nilai yang memancarkan cahaya kemilau merambah ke seantero lembah, memantul ke pelosok timur Indonesia.
Walau Sang Guru telah tiada, tetapi spirit yang membentuk karakter dan oksigen pengabdian telah Ia wariskan.
Jangan biarkan untaian “mutiara” itu hilang tertelan senyap di Bumi Tadulako. Kita cari, gali dan temukan kembali benih unggul “mutiara” nilai, lalu kita sebar dan semai kembali di lahan subur Lembah Palu.
Hari itu, Senin, 12 Syawal 1389 H, bertepatan tanggal 22 Desember 1969 sekitar pukul dua berselang empat puluh menit dinihari, Lembah Palu berselimut duka yang mengharu biru.
Di keheningan malam menjelang subuh, Almukaram Habib Sayyid Idrus bin Salim Al- Jufri (Guru Tua) memenuhi panggilan Rabb-nya.
Tanpa bantuan alat komunikasi, dengan mengandalkan informasi dari mulut ke mulut, berita duka bgitu cepat merambah di kegelapan subuh yang dingin, menembus dinding-dinding lembah sampai ke seluruh pelosok.
Dalam hitungan jam, ribuan umat menyemut memenuhi pelataran Gedung Alkhairaat, menyebar memadati halaman Stadion Persipal.
Sulit disembunyikan betapa dalam rasa kehilangan warga atas kepergian Sosok Panutan. Air mata keharuan menetes mengiringi perjalanan umat menuju ke tempat duka.
Mereka tidak sekadar hadir, tetapi turut serta dalam shalat jenazah, melepas kepergian ulama sederhana penuh sahaja. Di hadapan 10 ribu lebih umat yang menyolatkan, Sang Teladan penuh kharisma, pamit dan pergi untuk selamanya.
Selamat jalan Ustadz. Tidak sepetak tanah dan bangunan, apalagi mobil mewah, hotel, vila dan berbagai harta dunia yang menyliaukan, yang Guru Tua tinggalkan sebagai hak privatnya.
Sang Guru hanya mewariskan kepada umat dan umarah, ratusan madrasah dan yang terpenting adalah “Mutiara” nilai yang memantulkan keluasan pandangan, ketajaman gagasan, kesejukan ucapan, keramahan tindakan dan keteguhan pendirian yang mengkafani semangat pengabdian.
Satu-satunya hak pribadi yang Guru Tua tinggalkan adalah semerbak semburan “nama harum” Sang Penganjur Kebajikan ke seantero lembah.
Meskipun mutiara terbenam di dasar laut, kilauan cahayanya akan selalu memantul, merembes dan menembus permukaan.
Kami tak’zim di setiap haulmu, Kami datang berwsiata religi di komplek makammu. Selamat jalan Sang Guru, merekah manis, seyum Malaikat Ridwan menyambutmu di pintu Sorga.
Salam rindu berbalut do’a dari kami abnaul yang akan menyusulmu. Amin.
PENULIS: Bahrun. ML