Tantangan di Penempatan
Lama di Palu membuatnya tidak mengalami kesulitan yang signifikan ketika berdaptasi dengan budaya di daerah penugasan.
Di Sungai Jeruk mayoritas masyarakat suku Bugis dan Jawa. Sehingga membuatnya mudah beradapatasi, kecuali bahasa dan makanan.
Meski suku Bugis dan Jawa mereka berbicara sehari-hari menggunakan dialeg melayu. Untuk makanan, tentu sangat berbeda dengan Palu apalagi tempoyak (fermentasi durian).
Dia yang notabene tidak suka durian, harus makan tempoyak ikan, sambal tempoyak dan olahan tempoyak lainnya. Ia juga kesulitan mendapatkan sayur, karena setiap kali diundang makan di rumah warga, ia menemukan berbagai macam lauk seperti rendang, gulai, ikan tempoyak, dan lainnya tapi tidak ada sayuran.
Selain makanan dan bahasa, tantangan ditemuinya di dalam kelas. Hampir dua bulan perempuan kelahiran 21 Agustus itu mengajar mata pelajaran Seni dan Budaya, hal yang sangat ia dihindari karena dia tidak bisa bernyanyi, tidak bisa menari, apalagi menggambar.
Syukurnya, lanjut dia, materinya masih dasar, seperti pengenalan bunyi dan lagu anak-anak. Untuk praktik menyanyi, ia memberikan contoh dengan memutarkan lagu melalui pengeras suara portable.
“Saya gak bisa nyanyi, gak bisa nari, gambar garis saja bengkok, tapi di sini saya jadi guru mapel itu. Di sini juga saya dituntut belajar dan belajar, makanya PM itu selain kita mengajar kita harus belajar. Jadi setiap ke kelas saya bawa speaker, kalo emang harus nyanyi, saya memberikan contoh terlebih dahulu lewat speaker dan setelah itu kita nyanyi bareng-bareng. Karena suaraku yaah, begitu, hehehe, jadi kalo denger suara yang bagus melalui speaker mereka bisa lebih fokus,” katanya.
Momentum hari pendidikan dengan kurikulum merdeka belajar yang disuarakan Nadiem Makarim dalam pidatonya yang dibacakan di setiap upacara peringatan Hardiknas di daerah-daerah, menurut Reret, sebagai guru di daerah, ia menilai kurikulum itu sangat baik, dapat mendorong guru untuk merdeka mengajar dan murid merdeka belajar.
Tetapi implementasi, kata dia, di dalam kelas belum benar-benar terlaksana karena tidak semua guru sudah menerapkan kurikulum merdeka.
Jika guru sudah menerapkan kurikulum merdeka belajar di mana guru hanya sebagai fasilitator, ada beberapa kondisi di mana tidak semua siswa dapat diminta untuk berekplorasi, biasanya terjadi kebingungan. Sehingga guru tidak memfasilitasi tujuan pembelajaran, tapi guru memfasilitasi keinginan siswa jika siswa tersebut tidak paham konsepnya.
“Misalnya saya, di dalam kelas tidak setiap hari saya gunakan kurikulum itu. Apalagi untuk kelas satu, saya balik lagi ke konvensional, kayak menulis di papan, dan lain sebagainya. Secara teori program yang diirencakan Pak Menteri ini sudah sangat tepat untuk mendongkrak anak-anak didik kita. Tetapi kalau di lapangan, ya perlu upaya lebih lagi, mungkin tentang sosialisasi, memahamkan kepada guru-guru lagi bahwa ini penting, karena belum semua sekolah menerapkan itu. Jujur kalo di sekolahku masih kurikulum 13 yang tematik. Perlu effort lebih dalam pelaksanaannya, guru-gurunya perlu belajar lagi,” pungkasnya.
Reporter : Iker
Editor : Rifay