Reret sapaannya. Bagi pemuda pegiat literasi, pemerhati pendidikan atau komunitas serupa di Kota Palu, tentu tidak asing dengan namanya.

Palu yang ibarat selebar daun kelor telah didiaminya sejak sekolah SMA tahun 2010 hingga sesaat sebelum berangkat bertugas sebagai Pengajar Muda Indonesia Mengajar.

Memiliki visi hidup tentang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, membuat pemilik nama lengkap Retno Budiasih itu banyak mengelola berbagai program dengan berbagai mitra setidaknya dalam enam tahun terakhir.

Program-program yang dikelolanya berkutat pada dua aspek, yaitu pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, seperti menjadi fasilitator pendamping UMKM pada program Livehood untuk ibu-ibu terdampak bencana di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) melalui Yayasan Dompet Dhuafa.

Sejak tahun 2015, Sarjana Farmasi pada konsentrasi Farmakologi itu ikut mengembangkan Rumah Bahari Gemilang (Rubalang), organisasi yang fokus pada pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan di wilayah pesisir dan pulau-pulau di Sulteng.

“Rubalang telah menjangkau ribuan anak, puluhan Sekolah Dasar dan ratusan keluarga nelayan di seluruh kabupaten di Sulteng. Rubalang berbenah dari tahun ke tahun, dan alhamdulillah belum lama ini sudah menjadi yayasan,” katanya selaku Direktur Program dan Kemitraan.

Kesempatan-kesempatan terlibat dalam lini pendidikan pun pemberdayaan masyarakat membuat Reret terlibat sebagai fasilitator pendamping program Jelajah Toleransi di Kabupaten Poso bersama Indika Foundation bekerja sama dengan UNDP Indonesia (2019).

Dia juga pernah menjadi fasilitator Program BUMA Peduli, project Dukungan Psikososial di Desa Lero Induk dan Lero Tatari Kecamatan Sindue, Donggala (2019). Kegiatan tersebut adalah kolaborasi PT Bumi Makmur Mandiri dan Maxima Foundation.

Selain itu, Reret adalah koordinator pelaksana program 5000 paket Qurban untuk masyarakat terdampak bencana di Palu, Sigi, dan Donggala, dalam program Dompet Dhuafa Sulteng berkolaborasi dengaan Turk Kizilay-International (2020). Agustus 2020 – Maret 2021, Reret menyiapkan Program rutin Rubalang yakni Sekolah Pemuda Penggeak angkatan 6 di 3 Desa di Kabupaten Tojo Una-una, sebagai Project Manager.

Pengalaman profesional dan kerelawanan dalam dua bidang tersebut membuatnya mantap mendaftar sebagai Penjajar Muda Indonesia Mengajar angkatan 21 tetapi ia dinyatakan tidak lolos.

Ia mendaftar kembali untuk angkatan 24 dan ditempat di Provinsi jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kecamatan Nipah Panjang, Desa Sungai Jeruk.

Serangkaian Tahap Menjadi Pengajar Muda

Setiap tahun, pendaftaran pengajar muda dibuka dua kali, angkatan genap dan angkatan ganjil. Ratusan bahkan ribuan pendaftar diseleksi mulai dari seleksi berkas, lalu Direct Asessment (DA), dan serangkaian tes lain termasuk tes kesehatan hingga pelatihan.

Sedikit sulit, tetapi begitu memang Indonesia Mengajar mencari para anak muda dan sarjana terbaik untuk menjadi fasilitator pendidikan di daerah.

Pengajar Muda angkatan 24 saat saat pelatihan bertahan hidup di hutan, salah satu agenda dalam pelatihan intensif Pengajar Muda (FOTO: DOK. PRIBADI)

“Saya mendaftar di gelombang kedua, akhir-akhir. Temanku berperan sangat besar dalam mendorongku mendaftar, bukan karena saya tidak niat menjadi Pengajar Muda, tapi saya sangat pesimis bisa lolos karena pengalaman sebelumnya aku hanya sampai tahap DA. Alhamdulillah aku lolos seleksi berkas, dan harus ikut DA di Makassar. Tapi karena aku sedang ada kegiatan di Jakarta, kalau ke Makassar ongkosnya lumayan, aku milih DA di Surabaya meski aku harus menunggu agak lama di Jawa,” papar alumni Forum Indonesia Muda (FIM) itu.

DA atau penilaian langsung seringkali menjadi penentu dari serangkaian tes untuk menjadi Pengajar Muda (PM).

Dalam DA ada beberapa tes yang harus dilakukan seperti Tes Potensi Akademik (TPA), wawancara, psikografis, FGD, dan yang paling menyita persiapan adalah micro teaching.

“Meski persiapannya minim, tapi menurutku maksimal karena belajar dari DA online sebelumnya yang angkatan 21, yang saya gak bisa ngapa-ngapain. Karena ini offline, saya coba menyiapkan media pembelajaran dan lain sebagainya. Kemudian setelah DA beberapa hari dari situ saya dapat email untuk MCU (Medical Chek UP),” katanya.

Karena minim budget, ia sendiri hanya bisa direimburse Rp900 ribu, sehingga terpaksa memutar otak agar bisa MCU dengan budget minim. Ia pun tes di tiga faskes, lab kesehatan provinsi, RS Bhayangkari, dan Maxima.

“Kemudian setelah MCU, di bulan januari, satu bulan kita pelatihan online, dan setelah itu mulai pelatihan offline itu sekitar enam pekan,” ujarnya.

Berada di pedalaman selama satu tahun tentu berbeda dengan program yang ia tangani yang hanya memakan waktu minggu atau bahkan hitungan bulan saja. Apalagi, kata dia, dengan uang saku yang tidaklah besar dibandingkan dengan gaji dengan pekerjaannya sebelumnya. Tetapi alasannya ingin mendaftar PM karena ia merasa sudah tidak bertumbuh di Palu.

“Waktu daftar pertama dan ditolak, saya bilang, ya udah deh ini terakhir. Saya gak mau daftar lagi karena ngingat usia, ngingat kebutuhan-kebutuhan lain. Tapi setiap kali buka pendaftaran, saya selalu kepikiran. Setelah saya refleksikan mengapa ingin daftar, di Palu saya sudah cukup lama. Saya berkiprah di Palu, bekerja di Palu. Ibaratnya sudah berada di titik atas,” ujarnya.

Tantangan di Penempatan

Lama di Palu membuatnya tidak mengalami kesulitan yang signifikan ketika berdaptasi dengan budaya di daerah penugasan.

Di Sungai Jeruk mayoritas masyarakat suku Bugis dan Jawa. Sehingga membuatnya mudah beradapatasi, kecuali bahasa dan makanan.

Meski suku Bugis dan Jawa mereka berbicara sehari-hari menggunakan dialeg melayu. Untuk makanan, tentu sangat berbeda dengan Palu apalagi tempoyak (fermentasi durian).

Dia yang notabene tidak suka durian, harus makan tempoyak ikan, sambal tempoyak dan olahan tempoyak lainnya. Ia juga kesulitan mendapatkan sayur, karena setiap kali diundang makan di rumah warga, ia menemukan berbagai macam lauk seperti rendang, gulai, ikan tempoyak, dan lainnya tapi tidak ada sayuran.

Selain makanan dan bahasa, tantangan ditemuinya di dalam kelas. Hampir dua bulan perempuan kelahiran 21 Agustus itu mengajar mata pelajaran Seni dan Budaya, hal yang sangat ia dihindari karena dia tidak bisa bernyanyi, tidak bisa menari, apalagi menggambar.

Syukurnya, lanjut dia, materinya masih dasar, seperti pengenalan bunyi dan lagu anak-anak. Untuk praktik menyanyi, ia memberikan contoh dengan memutarkan lagu melalui pengeras suara portable.

“Saya gak bisa nyanyi, gak bisa nari, gambar garis saja bengkok, tapi di sini saya jadi guru mapel itu. Di sini juga saya dituntut belajar dan belajar, makanya PM itu selain kita mengajar kita harus belajar. Jadi setiap ke kelas saya bawa speaker, kalo emang harus nyanyi, saya memberikan contoh terlebih dahulu lewat speaker dan setelah itu kita nyanyi bareng-bareng. Karena suaraku yaah, begitu, hehehe, jadi kalo denger suara yang bagus melalui speaker mereka bisa lebih fokus,” katanya.

Momentum hari pendidikan dengan kurikulum merdeka belajar yang disuarakan Nadiem Makarim dalam pidatonya yang dibacakan di setiap upacara peringatan Hardiknas di daerah-daerah, menurut Reret, sebagai guru di daerah, ia menilai kurikulum itu sangat baik, dapat mendorong guru untuk merdeka mengajar dan murid merdeka belajar.

Tetapi implementasi, kata dia, di dalam kelas belum benar-benar terlaksana karena tidak semua guru sudah menerapkan kurikulum merdeka.

Jika guru sudah menerapkan kurikulum merdeka belajar di mana guru hanya sebagai fasilitator, ada beberapa kondisi di mana tidak semua siswa dapat diminta untuk berekplorasi, biasanya terjadi kebingungan. Sehingga guru tidak memfasilitasi tujuan pembelajaran, tapi guru memfasilitasi keinginan siswa jika siswa tersebut tidak paham konsepnya.

“Misalnya saya, di dalam kelas tidak setiap hari saya gunakan kurikulum itu. Apalagi untuk kelas satu, saya balik lagi ke konvensional, kayak menulis di papan, dan lain sebagainya. Secara teori program yang diirencakan Pak Menteri ini sudah sangat tepat untuk mendongkrak anak-anak didik kita. Tetapi kalau di lapangan, ya perlu upaya lebih lagi, mungkin tentang sosialisasi, memahamkan kepada guru-guru lagi bahwa ini penting, karena belum semua sekolah menerapkan itu. Jujur kalo di sekolahku masih kurikulum 13 yang tematik. Perlu effort lebih dalam pelaksanaannya, guru-gurunya perlu belajar lagi,” pungkasnya.

Reporter : Iker
Editor : Rifay