OLEH: Dr. Sahran Raden, S.Ag, SH. MH*

Salah satu program studi (prodi) pada Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu adalah Hukum Tata Negara Islam.

Eksistensi Prodi Hukum Tata Negara Islam yang ada di Fakultas Syariah, bukanlah mengajarkan mahaiswa UIN Datokarama untuk mendirikan negara Islam di negara Indonesia yang sudah memiliki idiologi dan konstitusi yakni, Pancasila dan UUD 1945 sebagai hukum dasar yang tertinggi dalam bernegara.

Namun para mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara Islam pada Fakultas Syariah belajar pemikiran hukum tata negara Islam yang diintegrasikan dalam pemikiran hukum tata negara yang dianut dalam sistem pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi UUD 1945.

Percikan Pemikiran Hukum Tata Negara Islam

Hukum tata negara Islam, yang dikenal dengan istilah Siyasah Shar’iyah, memiliki akar yang mendalam dalam syariah.

Hukum ini mencakup berbagai aspek pemerintahan dan administrasi negara dengan penekanan pada prinsip kedaulatan pada Tuhan.

Dalam penerapan hukum tata negara Islam diberbagai negara yang menganut sistem pemerintahan Islam diatur berdasarkan Quran dan Hadits, serta ijtihad (penafsiran) ulama.

Percikan pemikiran hukum tata negara Islam meliputi berbagai aspek, seperti hubungan antara agama dan negara, pembagian kekuasaan, dan sistem pemerintahan.

Pada konsteks hubungan agama dan negara dalam Islam, negara memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Negara dan agama harus menyatu sebagai satu kesatuan institusi. Ada juga yang berpendapat bahwa agama dan negara harus dipisahkan.

Indonesia bukanlah negara agama dan bukanlah negara sekuler, namun Indonesia adalah negara hukum dimana prinsip prinsip berhukum didasarkan pada esensi yang paling tinggi yakni pada keadilan, kemaslahatan dan kemanusiaan.

Pada aspek pembagian kekuasaan, pemikiran hukum tata negara Islam sebagai pemikiran yang dapat diartikan sebagai hubungan antara negara dan agama.

Pembagian kekuasaan dalam hukum tata negara Islam didasarkan pada fiqih siyasah, yang bersumber dari al-Qur’an, hadis, ijma, dan qiyas.

Pembagian kekuasaan dalam hukum tata negara Islam memiliki beberapa tujuan, di antaranya: menjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, menjamin pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, menjamin pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah serta memastikan para qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif bebas dari pengaruh eksekutif.

Pada aspek sistem pemerintahan hukum tata negara Islam mengatur aspek pemerintahan dan administrasi publik sesuai ajaran Islam.

Dalam hukum tata negara Islam, ada yang berpendapat bahwa Islam harus ditempatkan secara formal dalam struktur kenegaraan.

Jika kita belajar konsep kekuasaan negara, maka dikenal dengan konsep trias politica yang digagas oleh Montesquieu.

Menurut konsep trias politica Montesquieu, dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan hukum antarbangsa;
dan kekuasaan yudikatif mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil.

Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya.

Pada dasarnya, konsep trias politica tidak bertentangan dengan fikih siyasah.

Implementasi pembagian kekuasaan ini dapat dilihat pada masa khulafaurrasyidin. Saat itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang khalifah, kekuasaan legeslatif dipegang oleh Majelis Syura, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Qadhi atau hakim.

Kemudian, pada masa khilafah kedua yaitu Umar bin Khattab, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif dirinci lewat undang-undang.

Pada masa ini juga, Umar bin Khattab membuat undang-undang yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif dan legeslatif, dengan tujuan agar para qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara bisa bebas dari pengaruh eksekutif.

Dampak Pembaharuan Pemikiran HTNI

Hukum tata negara Islam juga dikenal dengan istilah Siyasah Shar’iyah atau fiqh siyasah.

Dampak dari pembaruan hukum ini dapat bervariasi antara negara-negara, tergantung pada konteks sosial dan politik masing-masing.

Misalnya, di Indonesia dan Malaysia, adaptasi hukum tata negara Islam menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan hukum syariah dengan sistem hukum nasional yang lebih sekuler.

Sedangkan di Arab Saudi dan Turki, pendekatan yang diambil mungkin berbeda, dengan lebih menekankan pada penerapan hukum syariah dalam berbagai aspek kehidupan.

Evaluasi ini juga akan mencakup bagaimana masyarakat merespons perubahan tersebut, baik dari segi penerimaan maupun penolakan terhadap pembaruan hukum yang dilakukan.

Aspek penting yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana masyarakat melihat keseimbangan antara nilai-nilai Islam dan tuntutan global, serta bagaimana reformasi hukum mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, telah mengimplementasikan pembaruan hukum tata negara Islam dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pembaruan ini mencakup pengakuan terhadap peraturan daerah yang memungkinkan implementasi syariat Islam di beberapa wilayah, seperti Aceh, yang diberi otonomi khusus untuk menerapkan hukum Islam secara lebih luas.

Pembaruan ini bertujuan untuk mengakomodasi keberagaman agama dan budaya, namun tetap menjaga integritas dan kesatuan nasional.

Selain resistensi dari kelompok konservatif, pembaruan hukum juga sering kali dihadapkan pada isu-isu kontroversial yang sulit untuk diatasi.

Isu-isu ini termasuk hak-hak perempuan, kebebasan beragama, dan hukuman yang dianggap oleh banyak pihak internasional sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Perbedaan interpretasi syariat dan cara penerapannya antar wilayah sering kali memperumit proses pembuatan dan penerapan undang-undang yang adil dan efektif, sehingga memicu ketegangan dan konflik baik dalam skala lokal maupun nasional.

Pembaruan hukum tata negara Islam memiliki potensi untuk menyebabkan perubahan substansial dalam struktur kekuasaan politik di negara-negara muslim.

Dengan mengubah hukum, pembaruan ini sering kali mempengaruhi distribusi kekuasaan antara berbagai institusi pemerintah, mengempower kelompok-kelompok marginal, atau bahkan meredefinisi hubungan antara negara dan rakyat.

Contoh nyata dari perubahan ini bisa dilihat dalam kasus Arab Saudi, di mana reformasi telah memberikan lebih banyak hak kepada wanita, yang secara bertahap mengubah dinamika kekuasaan sosial dan politik.

Sumber Hukum dan Produk Hukum yang Berkeadilan

Semua produk hukum di dunia ini, sepanjang dibuat untuk kemaslahatan dan kemanusiaan maka pada dasarnya akan sejalan dengan nilai nilai universal agama. Tentu dengan catatan bahwa produk hukum yang disusun dan disepakati itu didasarkan pada hati nurani dan tidak dilatarbelakangi oleh kepentingan kepentingan tertentu dengan kekuasaan dan keuntungan material.

Nabi Muhammad SAW, dalam menjalankan hukum dan menerapkannya pada suatu peristiwa hukum yang terjadi pada masyarakat di Mekkah dan Madina didasarkan pada perintah wahyu berupa tuntunan Alqur’an yang sampaikan oleh Allah kepada Rasulullah Saw.

Jadi, Nabi Muhammad SAW, memproduksi hukum dan menerapkannya pada suatu peristiwa itu dilaksanakan berdasarkan wahyu perintah dari Allah melalui ayat ayat Al-Qur’an yang diturunkan berupa wahyu melalui Malaikat Jibril kepada Rasulullah Saw.

Dalam Islam dikenal bahwa sumber hukum itu secara berturut turut adalah Alqur’an, as Sunnah dan Ijtihad sebagai tambahan apabila terdapat kasus yang tidak ditemukan pada kedua sumber utama.

Hal ini dididasarkan pada dialog ketika Nabi mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman, Rasullah Saw bertanya kepada Muaz. Bagaimana anda memutuskan jika dihadapkan suatu masalah. selajutnya Muaz menjawab, aku akan memutuskannya berdasarkan Alqur’an.

Rasulullah bertanya lagi, Bagaimana kalau anda tidak menumukannya didalam Alqur’an.? Muaz menjawab, aku akan beralih ke Sunna Rasul Nya.

Lalu Rasulullah bertanya lagi, Bagaimana kalau pada keduanya tidak anda temukan.? Aku akan berijtihan dengan pandanganku dan tentu tidak sembarangan, jawab Muaz.

Selanjutnya Nabi meletakan tangannya di dada (tanda puas) seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan perkenannya”. (Riwayat Abu Daud, Ahmad at Tirmizi, al Baihaqi, at Tabrani, ad Darimi dari Muaz bin Jabal).

Salah satu peristiwa saat Rasulullah Saw, yakni ada seorang yang bernama Tu’mah melakukan pencurian, barang curiannya di simpan disalah satu rumah orang Yahudi.

Ketika dipersangkan terhadap perbuatan mencuri barang orang lain kepada Tu’mah, tidak mengakui atas perbuatan mencuri tersebut. malah Tu’mah justru menuduh orang Yahudi itu yang mencuri barang tersebut.

Hal ini diadukan oleh kerabat kerabat Tu’mah kepad Nabi Saw dan mereka meminta agar Nabi Saw membelah Tu’mah dan menghukum orang Yahudi kendatipun mereka tahu bahwa orang yang mencuri barang itu adalah Tu’mah.

Nabi Saw sendiri hampir hampir membenarkan tuduhan kerabatnya kepada Yahudi.

Selajutnya Nabi diberi petunjuk dengan turunnya QS. an Nisa ayat 105, “Sungguh Kami telah menurunkan Kitab Al Qur’an kepadamu (Muhmmad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu dan janganlah engkau jadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela ) orang yang berkhianat. ( QS. an Nisa’ ayat 105).

Dari sini dapat ditegaskan bahwa fungsi wahyu adalah memberikan rasa keadilan kepada umat manusia. Allah selaku pembuat hukum (asy syar’i) telah menetapkan hukum terbaik bagi manusia tanpa kepentingan apapun.

Produk hukum Islam yang bersumber dari Alqur’an dan Hadits prinsipmya adalah memberikan keadilan dan kemaslahatan dalam penerapannya.

Perbedaan dengan produk hukum dalam ketentuan peraturan perundang undangan dalam bernegara bahwa kebijakan politik hukum memuat sejumlah kepentingan kepentingan politik kekuasaan meskipun secara filosofis dan sosiologis untuk kemaslahatan.

Jadi sepanjang produk hukum peraturan perundang undangan negara diproduksi dengan adil dan maslahat maka juga merupakan percikan nilai yang sesuai dengan teologis sumber hukum Alqur’an dan hadits Rasulullah Saw.

Sekalipun hukum bernegara adalah produk manusia namun hukum itu digunakan untuk membantu mempertahankan tata tertib dunia ketuhanan sehingga hukum terburuk pun masih mempunyai sanksi ketuhanan.

*Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara pada Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu