PALU – Salah satu metode pembayaran retribusi sampah, yaitu menggunakan Aplikasi Pakagali, menjadi salah satu hal yang disoroti legislator di Gedung Parlemen Kota Palu.
Saat ini, metode pembayaran masih bermacam-macam, ada yang tunai, transfer, dan ada pula yang melalui aplikasi.
“Saya menyarankan agar metode pembayaran ini diperbaiki, tujuannya adalah mempermudah masyarakat sekaligus menghindari kebocoran anggaran, agar uang yang dibayarkan benar-benar masuk ke kas pemerintah daerah,” kata Anggota DPRD Kota Palu, Alfian Chaniago, Kamis (22/05).
Ia menyoroti penggunaan Aplikasi Pakagali, yang menggunakan NIK warga sebagai identifikasi pembayaran. Ia mengaku tidak setuju karena aplikasi ini karena membebankan biaya admin sebesar Rp4.500 kepada warga.
“Ini saya anggap tidak masuk akal. Misalnya, kalau seseorang membayar retribusi sampah Rp10.000, maka dia harus membayar Rp14.500. Kalau dalam satu rumah tangga membayar dua kali, totalnya bisa Rp34.500. Ini sangat membebani,” ungkapnya.
Saat rapat LPKj, ia mengaku sudah menyampaikan kepada Kadis DLH bahwa dirinya tidak setuju ada tambahan biaya di aplikasi ini. Seharusnya, kata dia, biaya adminnya adalah Rp0.
“Kita saja transfer bank ratusan juta hanya dikenakan Rp2.500, masa bayar sampah yang nominalnya kecil justru lebih besar biayanya,” katanya.
Ia tidak menyalahkan aplikasinya karena secara fungsi sudah membantu, tetapi dengan tambahan biaya admin, pihaknya sebagai mitra dari DLH juga tidak setuju.
“Sebagai solusi, saya menyarankan agar seluruh data pembayar retribusi sampah yang sudah ada bekerja sama dengan pihak bank untuk membuatkan virtual account bagi masing-masing warga,” sarannya.
Dengan begitu, kata dia, warga bisa membayar melalui QRIS dari rumah. QRIS-nya bisa ditempel di pintu, sehingga petugas bisa tahu siapa yang sudah dan belum membayar.
“Metode ini akan sangat membantu, dan saya heran kenapa DLH belum membahas ini padahal teknologi sudah sangat canggih,” katanya.
Jika metode ini diterapkan, lanjut dia, maka kebocoran retribusi bisa dicegah sepenuhnya karena semuanya tercatat lewat virtual account dan QRIS dan tidak ada lagi orang yang membayar retribusi ke pihak kelurahan.
“Dengan metode ini, kita juga bisa melihat siapa-siapa saja yang tidak membayar. Ketika itu ditemukan, maka kita berika hukuman sesuai aturan yang berlaku atau kita jangan angkut sampahnya,” tambahnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, target retribusi sampah di tahun 2024 masih belum maksimal. Namun, dalam pelaksanaannya, kata dia, pemerintah pun tidak boleh memberatkan masyarakat.
“Saya pribadi mendukung dan mengapresiasi kinerja Kadis DLH, hanya saja memang perlu ditingkatkan lagi agar tujuan Pak Wali Kota bisa tercapai dengan lebih baik,” ujarnya.
Hal lain yang ia soroti dalam LKPj adalah soal armada dan alat berat di TPA. Ia sendiri pernah survei ke TPA dan mengakui alat berat serta truk pengangkut sangat kurang.
Saat rapat RKA bulan November 2024 bersama DLH, ia sudah menyarankan agar pengadaan alat berat ini dibawa ke Banggar. Sebab, kata dia, tanpa alat dan armada, bagaimana bisa mengelola sampah?. Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan kesehatan masyarakat, karena sampah yang tidak terkelola bisa menimbulkan penyakit.
“Yang saya herankan, usulan pengadaan alat berat ini tidak diindahkan, malah yang diprioritaskan adalah proyek-proyek seperti pembangunan RTH (Ruang Terbuka Hijau). Padahal, RTH bisa dibangun kapan saja, sedangkan alat berat adalah investasi jangka panjang,” kesalnya.
Ia juga mendorong agar DLH memiliki laboratorium sendiri, agar tidak perlu mengirim sampel ke Makassar atau meminjam dari Donggala.
Pemkot Palu, kata dia, harus mempunyai sarana sendiri agar DLH bisa menjadi lembaga yang benar-benar qualified.
Ia juga menyarankan DLH membentuk UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah). Dengan adanya UPTD, pengelolaan sampah di TPA bisa lebih terarah dan bertanggung jawab.
“Jangan hanya pilih-pilih sampah yang bernilai ekonomis, lalu sisanya ditimbun saja. Kalau memang memungkinkan ada investor yang ingin terlibat, kita bisa duduk bersama di DPRD untuk membahasnya,” pungkasnya. (RIFAY)