Operasi dengan Durasi Panjang, Tidak Hentikan Terror dan Kekerasan

oleh -
Direktur Celebes Institute, Adriany Badrah

PALU – Celebes Institute mengecam dan mengutuk aksi terror dan kekerasan yang terjadi di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Adriany Badrah, Direktur Celebes Institute, Ahad (29/11), menyatakan, aksi terror dan kekerasan yang terjadi pada beberapa bulan ini yang berlokasi di wilayah Poso, Parimo dan Sigi tentunya sangat meresahkan warga.

“Karena hak untuk mendapat jaminan rasa aman atas ganggunan keamanan yang mengakibatkan adanya korban jiwa juga berdampak pada aktivitas sosial dan ekonomi warga, khususnya di wilayah yang menjadi pergerakan gerilya para pelaku terror dan kekerasan,” katanya.

Menurutnya, teror dan serangan kekerasan yang biadab terus terjadi seiring dengan adanya operasi keamanan untuk menangkap mereka yang masuk dalam daftar pelaku teror dan kekerasan.

Pihaknya secara tegas meminta aparat keamanan TNI dan Polri untuk benar-benar serius dan memaksimalkan Satgas Operasi Tinombala.

BACA JUGA :  Logistik Surat Suara Pilkada Sulteng 2024 Tiba di Kantor KPU

Celebes Institute yang sejak tahun 2011 konsern dengan program rehabilitasi dan reintegrasi mantan narapidana teroris, mencatat perjalanan pelaksanaan operasi keamanan di Poso untuk melakukan perburuan dan penangkapan para teroris sangat panjang durasinya.

“Operasi itu tentunya telah menghabiskan anggaran banyak, tetapi tidak mampu menghentikan terror dan kekerasan yang terjadi serta memberi jaminan rasa aman bagi warga,” katanya.

Puhaknya mencatat, Operasi Camar Maleo I sampai IV berlangsung sejak Januari 2015 hingga Januari 2016. Kemudian operasi keamanan dilanjutkan dengan sandi ‘Tinombala’ hingga diperpanjang sampai 31 Desember 2020.

BACA JUGA :  Kampanye Beramal di Mpanau, Nasution: Program Unggulan AA-AKA Bukan Sekadar Janji

Saat pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) yang melibatkan TNI (2018), Tito Karniavan menyampaikan bahwa operasi teroris di Indonesia 75 persen bersifat intelijen, striking (penindakan) sebesar 5 persen dan pemberkasan untuk ke proses peradilan 20 persen.

“Melihat persentase tersebut, artinya intelijen tidak bekerja dengan baik atau tidak berfungsi. Di wilayah fokus operasipun tidak bisa mendeteksi pergerakan para pelaku terror dan kekerasan, teraktual adalah terror dan kekerasan yang terjadi di desa Lembantongoa,” ungkapnya.

Sementara, kata dia, kelompok sipil bersenjata tersebut melakukan sistem penyerbuan gerilya. Jika aparat keamanan benar-benar serius maka harus melakukan sistem penyerbuan yang sama, karena aparat keamanan yang tergabung dalam operasi tidak menguasai medan di mana mereka datang berganti-ganti (BKO 3 sampai 6 bulan) dan kelompok tersebut telah bertahun-tahun menguasai medan hingga hutan di Poso.

BACA JUGA :  Ahmad Ali Calon Gubernur Sulteng yang Telah Nyata Berkontribusi untuk Masyarakat

“Para pelaku dan kelompok tersebut tidak mengenal rasa kemanusiaan dengan melakukan tindakan biadab, maka aparat keamanan harus serius dan bersungguh-sungguh melakukan perburuan para pelaku dengan tidak membiarkan kelompok teroris yang berbasis agama terus melakukan terror dan kekerasan terhadap warga sipil,” tegasnya.

Menurutnya, aparat keamanan (TNI/Polri) bersama Pemerintah Daerah harus menunjukkan komitmen kebijakannya bagi masyarakat atas tindakan kelompok teroris yang menyebabkan keresahan, rasa takut ditengah masyarakat, mengancam kehidupan, kebebasan dan keselamatan.

“Organisasi masyarakat sipil dan organisasi keagamaan harus bersatu melawan aksi terorisme serta tindakan terror dan kekerasan yang berbasis agama,” tutupnya. (RIFAY)