Menurut pakar antropolog Indonesia, Clifford Geertz, bangsa kita seperti “bangsa teater”.
Bangsa yang sangat sering menyelenggarakan upacara-upacara. Semua hal diterjemahkan menjadi upacara. Negara ibarat panggung sandiwara, pentas teater. Masyarakat teater, pemerintahan teater. Bahkan, setiap ibadah pun tak lebih dari sebuah seremoni tanpa substansi, hanya lebih ke tradisi tanpa implikasi (sosial).
Perayaan hari-hari besar agama sering nampak gebyar, riuh, ribut, tapi sering tidak mencapai inti. Tidak memproduksi apa-apa, abai pada substansi, dan terjebak pada jalan hingga lupa pada tujuan yang hakiki. Bahkan, ketika praktik keagamaan telah menjadi sebuah industri. Ada industri dzikir, industri shalawat, industri pengobatan Islami, dll.
Sesungguhnya apa yang dilihat oleh Clifford Geerts, adalah watak banyak manusia di muka bumi ini. Hanya saja, mungkin Indonesialah yang paling kentara.
Kita memang kurang memaknai banyak ritual, termasuk ritual individu, mengapa kita diwajibkan berpuasa, mengapa kita sholat, mengapa kita berhaji. Apakah memang hanya sebatas tujuan kepada Allah SWT.
Semestinya ketika beribadah kepada Allah, maka ada output baiknya bagi orang-orang disekitar kita. Sebagaimana shalat yang mana bermanfaat untuk mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar (kepada orang lain).
Sementara itu adakalanya ibadah ritual kepada Allah, tidak lebih penting dari ibadah sosial.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqh al-Awlawiyat, kewajiban yang berkaitan dengan hak orang umat harus lebih diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak individu. “Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata mungkin dapat diberi toleransi, dan berbeda dengan fardhu ain yang berkaitan dengan hak hamba-hamba-Nya.
Ada seorang ulama yang berkata, “Sesungguhnya hak Allah dibangun di atas toleransi sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas aturan yang sangat ketat.”
Maka dari itu, bila kita melihat antara hukum berhaji dan membayar utang, maka yang lebih prioritas adalah membayar utang. Karena di sana ada hak orang lain.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, kesalehan ritual itu bertingkat-tingkat. Kesalehan sosial juga berlapis-lapis. Dan kita dianjurkan dapat memilah mana yang kita harus prioritaskan sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita menjalankannya.
Pada kenyataannya, masih banyak umat Islam di Indonesia yang masih memahami bahwa kesalehan di mata Allah swt hanya kesalehan pribadi semata. Sementara, kesalehan sosial belum dianggap sesuatu yang penting dan menjadi bagian dari hidup keseharian. Padahal, dalam ajaran Islam, banyak mengandung nilai-nilai sosial yang memiliki peran yang sangat besar dan signifikan dalam pembangunan bangsa. Wallahu a’lam
Nurdiansyah (Pemimpin Redaksi Media Alkhairaat)