Kekerasan Terhadap Wartawan dan Pembungkaman Pers Masih Terjadi

oleh -
Ketua AJI Palu Yardin Hasan didampingi Sekretaris AJI Palu Kartini Nainggolan dalam konferensi pers laporan akhir tahun AJI di Baruga Lapangan Walikota Palu, Jumat (30/12). FOTO: MAL/IKRAM

PALU- SEPANJANG Tahun 2022 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu mencatat empat kekerasan dan upaya pembungkaman terhadap jurnalis terjadi di Sulawesi Tengah. Lagi-lagi pihak aparat menjadi pelaku yang mendominasi data kekerasan terhadap jurnalis.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Yardin Hasan mengatakan, dalam catatan Divisi Advokasi AJI Palu, jenis kekerasan sendiri terdiri dari dua kasus kekerasan fisik maupun pelecehan serta dua kasus berupa intimidasi.

Secara rinci paparnya, pengusiran wartawan oleh pejabat Kejati Sulteng 22 Juli 2022, jurnalis diundang untuk melakukan peliputan live streaming diusir oleh Asisten Pidana Umum Kejati Sulteng, Fitrah, saat peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke 62 di Kantor Kejati Sulteng.

“Kasusnya sendiri selesai dengan permohonan maaf dari pihak Kejati Sulteng,” kata Yardin turut didampingi Sekretaris AJI Palu Kartini Nainggolan dalam konferensi pers laporan akhir tahun AJI di Baruga Lapangan Walikota Palu, Jumat (30/12).

Selanjutnya kata dia, kasus kekerasan dan pelecehan dialami dua jurnalis perempuan di Kota Palu, Jurnalis Tribun Palu bernama Regina Goldie Jolinda Amoreka pelakunya oknum Pol-PP dan Katrin jurnalis Likein.id dicolek oleh oknum Pol- PP saat peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 2022 di Kantor Wali Kota Palu.

“Kasus ini berakhir damai, dengan permintaan maaf Wali Kota Hadianto Rasyid dan Pol PP,” ucapnya.

Selanjutnya, intimidasi Deddy Moh. Fardy wartawan di Poso mendapatkan sejumlah ancaman dari oknum tidak ingin diberitakan, terkait dengan penyalahgunaan BBM bersubsidi di semua SPBU ada di Kabupaten Poso.

Kemudian, sebutnya lagi, desakan pencabutan berita dialami oleh wartawan Referensi.id Tahmil. Pelakunya adalah salah satu pejabat BI Sulteng. Pejabat tersebut meminta agar berita yang dikutip dari laporan Polisi tersebut dicabut.

Redaksi referensia.id menolak permintaan tersebut dan meminta BI Sulteng untuk memberikan. sanggahan atas artikel berita tersebut. Pejabat yang bersangkutan tidak memberikan sanggahan atas keberatan karya jurnalistik yang berjudul: Rumah Dinas BI Sulteng Disatroni Maling, Gasak 10 Batang Emas Hingga Uang Jutaan Rupiah.

“Permintaan penghapusan berita tidak diindahkan,” sebutnya

Lalu kata dia,desakan pencabutan berita dialami wartawan Mercusuar, desakan itu dilakukan oleh salah satu provider merasa terganggu dengan pemberitaan. “Permintaan tidak diindahkan oleh Redaksi Mercusuar,”katanya.

Kemudian kata dia,Media Alkhairaat Online. Redaksi didatangi oleh beberapa orang utusan salah satu politisi. Menurut Abdul Rifay Direktur Utama Media Alkhairat Online, utusan itu meminta berita tentang politisi yang tersandung kasus UU ITE dihapus. “Permintaan ditolak oleh redaksi,” katanya.

Ia menambahkan, pengusiran, desakan mencabut berita sudah tayang adalah bagian dari kekerasan terhadap kerja-kerja jurnalistik. Termasuk mencolek wartawati (hingga 5x) adalah bagian dari tindakan pelecehan terhadap martabat jurnalis perempuan.

“Para pihak di garda terdepan yang mempunyai relasi langsung maupun tak langsung dengan jurnalis saatnya menghentikan kekerasan yang membungkam pers melakukan tugas publiknya,” paparnya.

Terkait permasalahan media siber menghadapi permintaan take down pemberitaan atau penghapusan berita, kata dia, tidak ada pihak manapun yang boleh memaksa redaksi mencabut berita atau menurunkan berita semena-mena (sepihak). Walau secara praktik, tergantung kebijaksanaan redaksi masing-masing.

“Namun desakan itu bagi AJI Palu adalah tindakan kekerasan dan pembungkaman terhadap kerja-kerja jurnalistik,” urainya.

Secara umum, jelasnya, pelaku kekerasan terhadap jurnalis berasal dari berbagai kalangan. Namun yang dominan adalah aparat pemerintah. AJI Palu mengecam segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Sebab, aktivitas jurnalistik para wartawan guna memenuhi hak publik untuk tahu. Juga menjalankan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal berkaitan dengan kepentingan umum.

Demikian pula ujarnya, desakan untuk take down berita adalah bentuk lain dari intervensi ruang redaksi. Hal semacam itu tidak perlu terjadi dan para pihak bisa melakukannya dengan mengirim hak jawab pada redaksi bersangkutan.

“Redaksi boleh menolak permintaan take down berita dikecualikan untuk pemberitaan yang berbau SARA, pemberitaan yang merendahkan harkat dan martabat perempuan, pemberitaan yang tidak melindungi identitas anak-anak di bawah umur yang menjadi pelaku tindakan melanggar hukum tertentu,” katanya..

Proses pencabutan berita jika terkait dengan hal di atas bisa dilakukan. Tapi itupun tidak semena-mena. Harus melalui mekanisme penyelesaian sengketa.

Dibanding tahun 2021 silam, tahun ini kasus kekerasan menurun. Namun intervensi terhadap kemerdekaan ruang redaksi menjadi tiga kasus. Dari keseluruhan kasus 2022 tersebut, tak satu pun dilaporkan secara hukum.

Bahkan, perusahaan pers –di mana wartawannya menjadi korban kekerasan, sering tak bersikap. Selain itu, dalam banyak kasus, jurnalis yang menjadi korban kekerasan juga sering memilih mundur ketika diadvokasi.

Ketentuan pasal 8, UU Nomor 40 tahun 1999, tentang pers, memberikan perlindungan yang mendasar, menyeluruh dan profesional terhadap profesi wartawan. Sepanjang wartawan menjalankan tugasnya berdasarkan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan peraturan-peraturan turunan, seperti Peraturan Dewan Pers.

Banyak faktor penyebab, mulai dari proses yang panjang jika dilaporkan, hingga tak ingin ribut. Maka, tak satu pun kasus kekerasan terhadap jurnalis diusut tuntas.

Menyikapi berbagai hal di atas, AJI Palu menyampaikan rekomendasi, sebagai berikut, Masyarakat, termasuk pemangku kepentingan, perlu menghormati aktivitas jurnalistik. Keberatan terhadap produk jurnalistik mengedepankan mekanisme diatur dalam UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, seperti hak jawab maupun hak koreksi.

Selanjutnya, dia menyampaiakn, komunitas pers perlu serius menyikapi kekerasan terhadap jurnalis. Sebab, sulit memutus rantai kekerasan tanpa komitmen yang sungguh-sungguh dari komunitas pers. Keseriusan itu, misal, tidak permisif terhadap segala bentuk kekerasan.

Menurutnya, Jurnalis mematuhi Kode Etik Jurnalistik dalam bekerja. bersikap profesional, independen, dan mengutamakan kepentingan publik. Sebab, ketidakprofesionalan dapat memicu kekerasan terhadap jurnalis.

“Masyarakat yang mendapati atau menilai perilaku jurnalis tak profesional dapat melapor ke perusahaan media tempat jurnalis bekerja, organisasi wartawan, maupun Dewan Pers,”katanya.

“Para pihak menempuh hak jawab untuk meluruskan berita yang keliru,” pungkasnya.

Reporter: IKRAM
Editor: NANANG