Seorang bocah menatap nanar tanpa kata melihat sebuah besi baja merayap beringas menyeruduk bangunan rumahnya sampai amblas, rata dengan tanah. Matanya belum juga berpaling ketika alat berat bernama bouldozer itu merangsek perlahan menyentuh bangunan lainnya dan dengan sekali sundulan langsung roboh bersatu dengan tanah.
Tragedi memilukan itu baru saja lewat, kurang lebih dua pekan lalu. Secara kasat, suasana terbilang normal, bahkan kondusif, seakan tak pernah terjadi apapun di wilayah itu, Tanjung Sari, Kota Luwuk.
Tapi kemana penghuninya? Dimana mereka berada? Sepi tak seperti dulu. Yang paling nyata kelihatan adalah puing bangunan. Puing bertumpuk menjadi debu yang beterbangan diterpa angin pantai di sudut kota “berair” itu.
Sehari setelah insiden penggusuran lahan Tanjung Sari, memang masih ada canda terdengar dari bibir mungil anak-anak Tanjung. Ada yang saling kejar-kejaran diatas puing bangunan tempat mereka berteduh selama ini. Ada yang bermain sembunyi-sembunyian dalam lemari kayu yang pintunya lepas sebelah tertimpa material bangunan.
Keceriaan bahkan bertambah ketika sebuah sepeda motor membawa ratusan bungkus makanan, tiba menghampiri. Tak kurang dari 15 menit, nasi bungkus itupun ludes dibagi-bagi.
Ya,,, mungkin mereka belum paham, dan mereka memang belum pantas mengecap getirnya hidup ketika tempat bernaung sejak bayi kini sudah rata dengan tanah. Tanah berpijak itupun bukan lagi milik orang tua mereka, tetapi sudah menjadi milik orang yang dimenangkan oleh palu hakim pengadilan setempat.
Tapi kini, tawa-tawa itu tidak lagi terdengar.
Tak tahu lagi kemana mengadu, tak ada lagi tempat berkeluh kesah. Istana kecil sederhana yang mereka tinggali berpuluh-puluh tahun bersama keluarga, lenyap seketika menjadi serakan tak ternilai.
Sehari setelah eksekusi, warga mempertahankan hidup berpayung tenda seadanya, beralas tanah. Menyambung hidup dari uluran tangan yang memiliki empati. Anak-anak yang sehari-hari ke sekolah, kini berbaur dengan orang dewasa berebut nasi. Tak ada lagi seragam mereka, tak dapat lagi uang jajan rutin meraka, yang ada hanya kelaparan dan rasa trauma.
Terik di langit Luwuk menjadi saksi bagi korban penggusuran itu. Wajah murung dan lusuh para kaum termarjinalkan terlihat meratapi nasib mereka. Pandangan kosong mereka seakan mempertanyakan nasib di hari depan.
Saat ini, ratusan jiwa korban penggusuran masih bertahan di tenda dan Masjid Al Jihad Pelabuhan Luwuk.
“Sebagian besar dari warga masih bertahan disini, tapi ada juga yang sudah tinggal di kos-kosan dari bantuan kawan-kawan. Namun, setiap harinya mereka masih balik kesini untuk makan dan minum, sebab disini ada dapur umum. Kita bersyukur banyak orang masih peduli dengan nasib saudara-saudara kita ini,” tutur Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Banggai, Baharuddin L Agi yang selama ini mendampingi korban eksekusi lahan Tanjung Sari.
Ia mengaku sepekan ini prihatin melihat kondisi para pengungsi, utamanya anak-anak dan balita.
Mereka hanya tidur di lantai masjid. “Kasihan mereka. Tidak sepantasnya mereka merasakan kehidupan begini,” tuturnya lirih.
Dalam eksekusi tersebut, pihak kepolisian menurunkan sekitar 1000 personel, diantaranya BKO dari Polda Sulteng, jajaran Polres Banggai, ditambah ratusan personel TNI.
Jalannya ekekusi juga ditandai dengan insiden pembubaran dzikir ibu-ibu pengajian yang dengan sengaja “pasang badan” berupaya menghalangi jalannya eksekusi.
Insiden ini menjadi perhatian khalayak nasional yang kemudian berujung sanksi kepada Kapolres sebagai komandan pasukan, waktu itu.
Eksekusi kali ini adalah episode kedua. Tahap pertama telah dilakukan di 40 titik yang sama tahun 2017 silam.
Kasus itu berawal dari gugatan yang dimenangkan pihak ahli waris keluarga Ny. Berkah Albakkar melalui putusan MA No. 2351.K/Pdt/ 1997 dengan pokok sengketa dua bidang tanah.
Pada tahun 2006, pihak ahli waris mengajukan permohonan eksekusi diatas tanah sengketa kepada PN Luwuk dan Pengadilan Tinggi (PT) Sulteng.
Pihak ahli waris berpedoman pada diktum putusan MA itu, namun permohonan ditolak, dengan alasan pertimbangan pokok sengketa hanyalah dua bidang tanah tersebut. Sedangkan luasan tanah yang diajukan untuk eksekusi seluas kurang lebih 6 hektar sebagaimana yang tertuang dalam diktum putusan MA tersebut hanyalah bersifat deklaratoir, yang bermaksud membenarkan dan mengukuhkan kepemilikan Penggugat Intervensi (pihak ahli waris Berkah Albakar) atas bidang tanah tersebut.
“Anehnya, pada tahun 2016, pihak PN Luwuk mengabulkan permohonan pihak ahli waris tersebut. Kemudian para warga mendapatkan surat pemberitahuan untuk mengosongkan rumah karenaproses eksekusi akan dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2017,” kata Julianer Adityawarman, seorang pengacara yang konsen mendampingi warga Tanjung.
Ironisnya, kata dia, eksekusi sepihak tersebut masih saja berlangsung, bahkan dilakukan 7 hari lebih awal yaitu pada tanggal 3-6 Mei 2017 oleh pihak PN Luwuk dengan dikawal oleh aparat Kepolisian, TNI, dan Satpol PP.
“Pada hari keempat, proses eksekusi terhenti karena terbukti luasan lahan telah melebihi apa yang dimohonkan oleh pihak ahli waris Berkah Albakar,” katanya.
TERLANJUR KECEWA
Sikap yang ditunjukkan pemerintah setempat menjadi memori tersendiri yang tersimpan rapi di hati para korban penggusuran.
Bukan hanya saat ini, kekecewaan terhadap Pemda, khususnya kepada Bupati Banggai Herwin Yatim sudah ada sejak awal rencana eksekusi tahap satu. Ada beberapa janji yang pernah diucapnya, termasuk siap berdiri di barisan depan untuk menolak, jika dilakukan penggusuran terhadap warga yang memiliki sertifikat hak milik.
Kekecewaan itu ditunjukkan dengan menolak dan mengembalikan bantuan yang diberikan Bupati Herwin Yatim berupa ratusan tas yang terisi dalam tiga karung.
“Kami tidak butuh bantuan Herwin Yatim, karena selama ini kami merasa dibohongi. Dulunya kemana dia, kalau mau bantu harusnya dari mulanya. Intinya sekarang kalau (bantuan) dari Pemda kami tidak akan menerima,” kata salah satu warga.
Bahkan di sebuah kesempatan, warga Tanjung Sari juga menolak kedatangan Bupati dan Wakilnya, Mustar Labolo. Mereka spontan beranjak ketika sang bupati dan wakilnya datang memberikan beberapa arahan.
“Kami disini bukan untuk pencitraan, kalau kalian tidak mau lagi memilih kami, tidak ada masalah. Kami datang disini selaku pemerintah daerah untuk bersama-sama menyelesaikan masalah ini,” demikan kata Wabup Mustar Labolo.
Di lain waktu, Bupati Banggai H. Herwin Yatim mempersilahkan warga yang terkena dampak eksekusi lahan untul melakukan gugatan hukum sesuai prosedur.
Bupati menilai, ada pihak-pihak yang mencoba memprovokasi warga, seolah-olah Pemda terlibat dalam kasus ini. Padahal kata dia, eksekusi itu murni perkara perdata.
“Kami (pemerintah daerah) juga jadi korban. Ada bangunan kantor yang masuk dalam objek eksekusi, namun kami lakukan perlawanan hukum,” tegas Bupati.
SIAPA DALANG PENGGUSURAN?
Sejumlah kalangan menilai, pola yang berlaku pada proses eksekusi lahan di Tanjung Sari, Kota Luwuk, berkesan penggusuran. Bahkan sulit menerimanya dengan akal sehat, ada orang yang memiliki tanah seluas itu dengan objek yang mau digusur lebih dari 1000 kepala keluarga. Negara dianggap telah menghilangkan hak keperdataan ribuan orang demi seorang yang mengklaim ahli waris.
Secara spekulatif, ada yang menduga bahwa tragedy itu ditunggangi kekuatan besar untuk tujuan yang lebih besar. Pengerahan pasukan kepolisian yang begitu besarlah yang jadi tolak ukurnya. Operasi eksekusi menunjukan sesuatu yang kontras.
“Maka, dipandang perlu mencari tahu siapa sesungguhnya yang mendorong eksekusi ini menjadi luas tak terkendali,” ungkap Ketua Fraksi NasDem DPRD Sulteng, Muh. Masykur.
Jangan sampai, kata dia, atas nama hukum, terjadi penghilangan hak-hak warga. Sungguh sulit diterima akal sehat, kata dia, ada orang yang memiliki tanah seluas itu dengan objek yang mau digusur lebih dari 1000 kepala keluarga.
“Coba anda pikirkan, untuk kepentingan satu orang ahli waris, negara menghilangkan hak keperdataan ribuan orang. Ini sungguh tak masuk akal,” terangnya
Geliatnya sudah melebar. Kota Palu sebagai pusat ibu kota provinsi menjadi sasaran meluapkan segala uneg-uneg agar mau terdorong menyikapi kasus itu secara serius, bukan lagi ditunggangi kepentingan politis.
Belum lama ini, ratusan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Sulteng Menggugat mendatangi Mapolda Sulteng, di Jalan Sam Ratulangi, Kota Palu.
Massa gabungan dari Majelis Mahasiswa Untad – Pusat Kajian dan Advokasi Rakyat Sulteng (Pataka) itu, mendesak jajaran kepolisian segera meringkus aktor intelektual dibalik kasus penggusuran lahan di Tanjung Sari, Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, yang berakhir bentrok.
Koordinator lapangan (Korlap), Nuryadin mengatakan, penggusuran lahan di Tanjung Sari adalah murni persoalan penegakkan hukum.
Dia yakin, kepolisian hanya melaksanakan perintah Pengadilan Negeri (PN) Luwuk yang dianggap salah.
“Makanya kami mendesak kepada pemerintah untuk segera menuntaskan dan mengembalikan hak masyarakat Tanjung Sari dan menangkap aktor intelektual dibalik kericuhan,” kata Nuryadin.
SIAPA PALING “BERDOSA”?
Mabes Polri langsung mengambil sikap tegas menyikapi langkah yang diambil Kapolres Banggai, AKBP Heru Pramukarno. Mabes Polri dengan cepat memecatnya.
Sesuai Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/683/III/KEP/2018 tanggal 24 Maret 2018 yang ditandatangani Asisten SDM Kapolri Irjen Polisi Arief Sulistyanto, kini Heru telah dimutasi ke Badan Pemeliharaan Keamanan, Mabes Polri. Posisinya digantikan oleh AKBP Moch Sholeh dari Polda Papua Barat.
Tindakan yang diambil perwira menengah berpangkat dua melati di pundaknya itu, membuatnya menjadi tumpuan segala kesalahan dari pejabat institusi yang ada diatasnya.
Risiko profesi itu harus ditanggungnya, sebab Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri menemukan ada indikasi pelanggaran yang dilakukan sang Kapolres. Dia bahkan dianggap intoleran karena membubarkan kegiatan keagamaan dengan semburan air dari water canon dan gas air mata.
“Pihak yang bertanggung jawab adalah Kapolres, karena pengarahan pasukan atas permintaan Kapolres Banggai,” tegas Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Hery Murwono.
Namun perlu diketahui, personel kepolisian yang dikomandoinya waktu itu -berkisar 1000 orang- bukan seluruhnya anggota Polres Banggai, ada ratusan pasukan yang dikirim Polda Sulteng, Sabhara dan Brimob. Penempatan pasukan tersebut tentunya atas persetujuan atasan.
Selain itu, ada pula personel dari Kodim 1308, Kompi Senapan C Luwuk, Brimob Polda Sulteng, Brimob Poso, Morowali dan Ampana.
Menurutnya, AKBP Heru Pramukarno melanggar disiplin dan bertindak tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP).
Namun terkait pemeriksaan yang dilakukan Mabes kepada Kapolda Sulteng, Hery tidak menjawab rinci. Dia hanya menyebut, pemeriksaan itu sedang dilakukan.
“Tim investigator sudah menemukan pelanggaran anggota-anggota pengamanan di lapangan,” ujarnya.
Pernyataan yang nyaris sama juga pernah disampaikan Wakapolri Komjen Syafruddin. Dia bahkan mengecam tindakan represif yang dilakukan anak buahnya saat membubarkan ibu-ibu pengajian itu.
Polri sendiri sudah sering menggaungkan tekad bahwa mereka adalah pengayom rakyat. Institusi ini pula yang getol mengampanyekan sikap-sikap toleransi sesama penghuni bangsa.
Tentunya, anggota Polri secara individu pun dituntut berperan santun dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Tidak boleh sewenang-wenang bertindak tanpa mempertimbangkan aspek social yang ada di masyarakat.
Tapi apapun alasannya, siapapun dalangnya, yang jelas tragedy ini telah menorehkan duka yang mendalam kepada mereka yang sudah berpuluh tahun tidur, makan dan mencari hidup diatas lahan itu.
Sekarang mereka tak punya naungan lagi. Anak-anak terlantar diatas tumpukan puing bangunan rumahnya sendiri yang roboh bukan oleh gempa, bukan pula oleh puting beliung, apalagi tsunami.
Sebagian telah meninggalkan lokasi dengan air mata. Kemana? Entahlah. (RIFAY/YAMIN)