Astaghfirullah, Ada Dua Kasus Incest di Sigi

oleh -
Ilustrasi

SIGI- Satuan Tugas Penanganan Perempuan dan Anak (SATGAS PPA) Kabupaten Sigi bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) menerima dua laporan kasus incest (hubungan seksual sedarah) dimana korbannya anak , dalam sebulan terakhir Agustus 2022.

Ketua Satgas Penanganan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Sigi Salma Masri menuturkan, kasus terlaporkan di hari Jumat, 19 Agustus 2022 langsung diterima oleh DP3A. Kemudian dilakukan penjangkauan bersama Satgas PPA Kabupaten kepada korban. Kemudian lagi korban saat itu diamankan di rumah pengurus gereja yang berada di hunian tetap (Huntap) Pombewe.

“Di hari yang sama Jumat 19 Agustus 2022 juga telah dimasukkan laporan polisi di Polsek Biromaru, lalu pada hari Ahad 21 Agustus 2022 juga telah dilakukan berita BAP,” kata Masri dalam keterangan tertulis diterima MAL Online, Selasa (23/8).

Ia menceritakan kronologis kejadian, bahwa korban berasal dari Dusun IV Raranggunao, Desa Pombewe, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi. Pelaku rudapaksa, adalah kakak kandung korban sendiri.

Aksi rudapaksa mulai dilakukan sejak Desember 2017 saat korban duduk dibangku kelas 2 SMP usia 17 tahun. Awal mula kasus ini terbongkar pada kamis 18 Agustus 2022 korban melaporkan apa dialaminya kepada pengurus Rukun Tetanga (RT).

BACA JUGA :  Dugaan Korupsi di Fakultas Kedokteran Untad Rugikan Negara Rp3 Miliar

“Korban berucap, bahwa sudah beberapa bulan tidak datang bulan dan mengakui bahwa kakak kandungnya yang selama ini hidup bersama merekalah yang melakukan rudapaksa tersebut,” bebernya.

Ia mengatakan, setelah kasus ini terungkap kepada pengurus RT, lalu bersama pemerintah desa, DPD dan warga lainnya mengamankan korban di rumah salah satu pengurus gereja di Huntap Pombewe.

Lebih lanjut dia katakan, selama kasus rudapaksa ini terjadi sejak 2017 sampai dengan 2022 korban menyampaikan sudah 2 kali mengandung. Dan setiap mengandung anak yang dikandungnya digugurkan lalu dikuburkan oleh pelaku.

“Keguguran pertama 2018 dan keguguran kedua Agustus 2022,” ucapnya.

Selanjutnya kata dia, dari kasus ini ada 2 perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh pelaku pertama adalah persetubuhan dengan anak di bawah umur dan menggugurkan atau mematikan kandungan (disebut aborsi).

BACA JUGA :  Dokumen Persyaratan Paslon Muhammad Wartabone – Moh. Rizal Diterima KPU Palu di Injury Time

Lebih jauh sebutnya, dalam hal persetubuhan anak harus dipastikan penerapan pasal digunakan oleh penyidik untuk pelaku adalah pasal yang ancaman pidanya maksimal dalam kasus ini pelaku bisa ditambahkan 1/3 dari ancaman, karena pelaku memiliki hubungan keluarga yaitu saudara kandung.

“Tetapi terkait dengan tindakan pidana aborsi bisa saja korban juga akan terancam pidana mengingat usia korban saat ini termasuk dalam usia sudah dewasa yaitu 22 tahun,” sebutnya.

Lagi, situasi ini ibarat buah simalakama bagi korban, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Terkait kekhawatiran ancaman pasal aborsi ini kemarin Senin 22 Agustus 2022 usai mengantarkan korban dilakukan visum di RS Torabelo Sigi.

Saya berupaya melakukan kordinasi dengan salah satu penyidik UPPA Polsek Biromaru, Karena saat ditemui langsung di Polsek Biromaru tidak berada ditempat, saya berkordinasi via telephone untuk memastikan penerapan pasal aborsi tersebut,” ujarnya.

Dan hasilnya kata dia, benar kekhawatiran tersebut karena menurut penjelasan salah satu penyidik bahwa menyangkut pasal aborsi digunakan sifatnya sudah final dan disepakati bersama pimpinan.

Terkait dengan hal ini menurutnya, komunikasi dan kordinasi intens sangat penting dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dengan tim pendamping untuk memastikan perlindungan seutuhnya kepada korban, penegakkan hukum dan efek jera kepada pelaku.

BACA JUGA :  Jangan Berlaku Curang

Sehingga menurutnya, kemitraan yang terbangun selama ini bukan hanya untuk memudahkan urusan teknis kerja-kerja APH saja seperti mereka membantu memfasilitasi mobilisasi visum korban, penampungan sementara untuk kepentingan mendekatkan jarak penyidik dengan korban, mendampingi korban selama proses pemeriksaan sampai dengan persidangan tetapi juga lebih kepada substansi persoalan hukum, kasus korban bagaimana mendudukkan kepentingan korban berbanding lurus dengan penegakkan hukum yang tidak berbalik justru mengancam korban sendiri.

Ia menambahkan, sampai saat ini korban masih diamankan dibawah perlindungan dan pengawasan DP3A dan Satgas PPA Sigi dimana tindakan penanganan selanjutnya telah dilakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi dan akan dilakukan pula penanganan psikologi.

“Selain untuk kepentingan pemulihannya dokter yang melakukan tindakan visum kepada korban merekomendasikan perlu dilakukan tes psikologi kepada korban, sebab cara berbicara korban yang tidak terlalu jelas artikulasinya dan diperparah korban juga tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia,” pungkasnya. (Ikram)