PALU – Mantan Tenaga Ahli Gubernur Sulteng, M Ridha Saleh menilai, penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya alam bukan pekerjaan mudah karena bersentuhan atau terkait dengan kepentingan regulasi/otoritas diberbagai level, rekayasa sosial, kepentingan dan benturan ekonomi, hak dan keadilan serta mitigasi lingkungan hidup.

Namun, kata dia, penyelesaiannya bisa menjadi lebih mudah, jika dikerjakan secara fokus dan punya target.

“Tentu dengan prinsip kesetaraan, kesejahteraan bersama, keadilan semua pihak serta bebas conflict of interest,” tegas Ridha Saleh, Selasa (08/04).

Ia mengatakan, konflik agraria di Sulteng masih banyak yang bersifat laten dan sewaktu-waktu akan meledak.

“Konflik agraria yang bersifat manifes sekarang ada di depan mata, apalagi konflik-konflik tersebut terkait langsung dengan sektor-sektor strategis seperti sektor pertambangan, perkebunan, kawasan industri, kawasan pangan serta infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintah karena dianggap menunjang kesejahteraan daerah,” ujarnya.

Untuk itu, ia menyarankan agar Satgas Penyelesaian Konflik Agraria fokus pada aspek yang paling strategis, yaitu penyelesaian, pemenuhan dan penataan akses atas hak-hak properti masyarakat dan korban konflik.

“Namun harus dikaitkan atau inline dengan misi peningkatan kesejahteraan masyarakat, stabilitas sosial serta iklim investasi yang inklusif dan berkelanjutan di daerah,” jelas Tim Ahli Pelaksana Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional ini.

Ia berharap agar satgas bekerja fokus, tidak aneh-aneh, terkesan tanpa arah, dan tak ada gunanya pula memperdebatkan status satgas.

“Mungkin yang perlu disederhanakan adalah struktur internal dan mekanisme handling kasusnya,” sarannya.

Ia juga menginformasikan bahwa di periode Rusdy Mastura sebagai Gubernur Sulteng, pihaknya telah menyelesaikan 71 kasus.

Namun, kata dia, masih ada 41 perkebunan yang hingga saat ini belum memiliki HGU, ada 3 konflik di kawasan industri, 14 kasus yang teradukan baik tambang nikel dan galian C, serta 6 kasus berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang sewaktu-waktu akan meledak.

“Kalau begitu kenyataannya, apakah masih mau aneh-aneh,” tutup Edhang, sapaan akrabnya. RIFAY