SIGI – Yayasan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulteng (KPKP-ST) kembali melaksanakan kegiatan women gathering yang menyasar masyarakat di tiga desa yang ada di Kabupaten Sigi, belum lama ini.
Kegiatan ini telah dilakukan sejak Maret 2025 lalu, dan kali ini menyasar komunitas perempuan di Desa Bangga dan Desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan serta Desa Kaleke, di Kecamatan Dolo Barat.
Program Wenexux Perempuan Pembawa Damai dan Tangguh Bencana ini dikerjasmakan dengan Yayasan Kerti Praja atas dukungan UNFPA, UNWOMEN dan KOICA.
Kegiatan sengaja menyasar wilayah Kabupaten Sigi, karena di daerah ini masih menghadapi berbagai tantangan sosial yang dapat berpotensi memicu konflik di masyarakat, seperti persoalan batas wilayah, perebutan pengelolaan sumber daya alam, hingga perbedaan pandangan sosial dan agama yang memungkinkan dapat menjadi pemicu ketegangan antar komunitas/kelompok.
Kegiatan ini sendiri bertujuan memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang mekanisme pelaporan yang aman, sistem deteksi dini, serta ruang dialog yang lebih luas untuk mencegah konflik berkembang.
Kegiatan ini dirancang untuk memperkuat kapasitas pemuda dan perempuan dalam mendeteksi, melaporkan, serta merespons konflik sosial secara inklusif dan efektif.
Pada kegiatan edukasi yang dilaksanakan di Desa Bangga dan Desa Rogo Kecamatan Dolo Selatan, pemateri dari Direktur Karsa Institute, Saiful Tamsil, menyampaikan tentang bagaimana mengenal konflik social, sumber terjadinya konflik, kategori konflik berdasarkan isu, dan lainnya.
Tak hanya itu, ia juga menjelaskan mengenai kronologi konflik serta siklus resolusi konflik
“Perbedaan atau sengketa yang terjadi antara satu sama lain tidak akan mengarah menjadi sebuah konflik jika dicegah dan secepatnya diselesaikan, karena sebuah perbedaan itu adalah hal yang lumrah dan alami,” katanya.
Pada sesi kedua women gathering yang dilaksanakan di Desa Banga dan Desa Rogo, kegiatan menghadirkan pemateri, Sandy, selaku Koordinator Departemen Advokasi ED Walhi Sulawesi Tengah.
Pada kesempatan itu, ia memaparkan mengenai upaya pencegahan konflik, penanganan konflik serta pemulihan pascakonflik sosial.
Poin penting yang ia tekankan adalah UU Nomor 7 Tahun 2012 dan PP Nomor 2 Tahun 2015 yang merupakan landasan hukum yang jelas bagi pemerintah dan masyarakat dalam upaya pencegahan serta penanganan konflik social.
“Melalui kegiatan edukasi seperti ini, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi potensi konflik social. Tentu saja membutuhkan kerja sama antara pemerintah, aparat keamanan, serta masyarakatlah yang menjadi kunci utama dalam menciptakan kondisi yang kondusif dan harmonis,” ujarnya.
Jelang dua hari setelahnya, KPKP-ST juga melaksanakan kegiatan serupa di Desa Kaleke dengan narasumber yang berbeda, yakni Dedi Askary dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah.
Sekretaris Desa Kaleke, Agung Cahyanto, saat membuka kegiatan, menyampaikan beberapa hal terkait dengan situasi saat ini di Desa Kaleke.
“Alhamdulillah situasi di Desa Kaleke sudah menjadi lebih baik dan tidak pernah ada lagi yang terlibat dalam perkelahian apalagi perkelahiaan antar kampung,” katanya.
Koordinator Jaringan Kampung Nusantara Sulawesi ini menambahkan, hal itu karena pemerintah desa selalu berupaya untuk melibatkan komponen remaja dan pemuda untuk melakukan aktifitas dan kegiatan-kegiatan positif melalui wadah organisasi pemuda yang ada di desa seperti sanggar seni dan karang taruna di desa.
Di Desa Keleke, kata dia, sejak tahun 2021 sudah terbentuk Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) yang diinisiasi oleh Yayasan KPKP-ST.
Setiap tahun, pemerintah desa juga memberikan support anggaran Dana Desa kepada Satgas PPA Desa untuk dapat melaksanakan program kegiatannya.
Ia berharap kepada peserta diskusi agar ke depan, jika ada yang mengetahui, mendengar dan melihat adanya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, agar dapat langsung melaporkan kepada Satgas PPA Desa Kaleke.
“Yayasan KPKPST telah mendistribusikan dan memasang poster yang berisi tentang imbauan kemana harus melapor. Bahkan di kantor desa sendiri sudah memasang spanduk yang berisi bagan mekanisme atau alur layanan pelaporan kasus,” ujarnya.
Sementara itu, Dedi Askary, dalam materinya tentang “Upaya Pencegahan Konflik Sosial dan Strategi Rekonsiliasi”, menjelaskan pentingnya melakukan berbagai upaya pencegahan konflik dengan menggunakan startegi rekonsiliasi.
“Meskipun kita juga tahu bahwa konflik sosial dapat berdampak positif dapat mendorong perubahan sosial dan inovasi serta dapat menyadarkan masyarakat tentang perlunya solusi dan kompromi, namun tentu saja sangat besar dampak negatifnya,” ujarnya.
Menurutnya, dampak negatif yang dimaksud antara lain dapat menimbulkan kerusakan hubungan sosial, ketidakstabilan dalam masyarakat dan yang paling parah adalah konflik sosial dapat menimbulkan kekerasan, kerugian materi bahkan dapat menelan korban jiwa.
“Tentu saja dalam sestiap situasi konflik sosial yang paling rentan menjadi korban adalah perempuan, anak-anak juga kelompok rentan lainnya lansia ibu hamil dan kelompok disabilitas,” katanya.
Olehnya, kata dia, pencegahan konflik dan rekonsiliasi merupakan langkah penting untuk menjaga kedamaian. Hal ini mesti dimulai dari tingkat desa dan tentu saja membutuhkan kerjasama semua pihak.
“Peran organisasi kepemudaan di desa sangatlah penting untuk menjadi pelopor dalam mengampanyekan pencegahan konflik sosial dan proses perdamaian,” tutupnya. */IKRAM