PALU – Semua pengambil kebijakan diminta mewaspadai potensi konflik yang terjadi, khususnya menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Donggala.

“Ini penting dilakukan sebagai bentuk antisipasi, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, serta dapat meminimalisir konflik yang lebih besar lagi,” kata Pengamat Konflik Sulteng, Muhammad Marzuki, di Palu, Selasa (23/01).

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Tadulako (Untad) itu mengatakan potensi konflik telah terjadi di lembah Palu dan Sigi serta Donggala, sejak tahun 2002 hingga tahun 2012, adalah dalam bentuk perkelahian antar desa.

Khusus Kabupaten Donggala, kata Ketua Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Manajemen Konflik Untad itu, pihaknya telah melakukan pemetaan potensi konflik sejak tahun 2016 lalu, dimana hampir semua sumbernya berasal dari politik, idiologi, ekonomi, sosial, demografi hingga persoalan sumber daya alam.

“Bahkan menimbulkan korban jiwa,” ungkapnya.

Marzuki menjelaskan, secara sosial budaya, konflik juga dipengaruhi persoalan etnik. Seperti, di bagian utara Donggala, ada dua etnik besar, ada Kaili dan Mandar, yang kemudian membaur, dan besar kemungkinan dalam periode tertentu bisa terjadi benturan.

Kemudian persoalan ekonomi, dimana yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam oleh kaum migran, yang lebih dominan menguasai itu.

“Mereka lebih kompetitif dari masyarakat lokal. Namun masyarakat lokal lebih terbuka dalam menerima etnis apap pun yang masuk,” ungkapnya.

Dalam penguasaan SDA, yang terjadi terkait masuknya investasi. Dimana SDA tidak pernah bertambah, berbanding terbalik dengan jumlah populasi manusia, sehingga berakibat kelangkaan.

Potensi konflik persoalan kewilayahan juga bisa terjadi, terkait batas antar desa yang tidak jelas, sehingga memicu terjadinya perkelahian antar kampung atau desa.

Namun kata dia, ada satu potensi konflik yang sangat menguat yakni isu kesenjangan wilayah antara Donggala bagian Utara dan bagian Barat.

“Dua daerah itu, merupakan wilayah Donggala, dengan identitas kultural yang dipisahkan oleh Kota Palu dan teluk Palu,” ungkap Ketua DPW Perhimpunan Cendekiawan Indonesia Sulteng itu.

Dalam isu itu, mereka di bagian utara mengatakan, pemerintah lebih berpihak pada pembangunan di bagian barat yang notabenenya lebih maju dan berkembang.

Bagi dia, isu pemekaran Donggala Utara ini, juga bisa menjadi potensi konflik benturan. Namun belum terjadi karena lokasinya dipisahkan oleh Kota Palu.

“Untuk mengelola konflik yang perlu dilakukan dengan dua pendekatan yakni membangun kesadaran bersama serta menjawab persoalan ketimpangan ekonomi,” tutup Marzuki. (FAUZI)