TINA NGATA TAK LAGI BERDASARKAN KETURUNAN RAJA

Secara konseptual, Tina Ngata merupakan figur pemimpin berasal dari kaum perempuan yang fungsinya sama dengan Totua Ngata (Dewan Adat Kampung), yakni dalam tatanan tertinggi struktur sosial memiliki hak, wewenang, akses serta kontrol terhadap pengambilan keputusan, dan telah ada sejak abad ke 18. Sedikit lebih dulu dari bangsa ini yang baru memiliki Pemimpin perempuan pada abad ke 21.

Namun, saat itu tampuk jabatan yang dipegang perempuan dikenal sebagai Tina Ngata hanya bisa berpindah tangan secara turun temurun pada garis keturunan raja-raja. Bahkan masih berlangsung saat Belanda berhasil menduduki Wilayah Kecamatan Kulawi.

Dua anak perempuan Desa Toro sedang memperbaiki jilbab yang dikenakan, bersama dengan pakaian khas adat, di Desa Toro, Sabtu (01/09/2018). (FOTO: JOSUAH MARUNDUH)

Namun pada masa masuknya penjajahan, fungsi Tina Ngata yang sama rata dengan Totua Ngata perlahan mulai bergeser, dan semakin menjauh dari fungsi utamanya saat Indonesia telah merdeka hingga pada tahun 2001.

Perempuan saat itu tak pernah lagi berkesempatan memegang kendali. Fungsi dalam tatanan sosial lenyap seketika, tersisa perempuan yang hanya berstatus sebagai permaisuri raja.

“Jadi jangankan ikut memutuskan perkara pelanggaran adat dalam proses Potangara, naik di Lobo (Rumah pertemuan Lembaga Adat) bersama tokoh adat pria, perempuan anak raja yang sebagai Tina Ngata tidak boleh,” kenang Tina Ngata Toro Rukmini Paata Toheke.

Namun berbeda dulu dan sekarang. Kata Rukmini, saat ini siapa saja bisa menjadi Tina Ngata di Toro, tak lagi mengharuskan keturunan Raja. Sikap bijaksana, tegas, jujur, santun nan lembut hatinya adalah modalnya. Sebab selain memiliki fungsi formal dalam struktur sosial, tina ngata adalah perempuan pengayom, yang tindak lakunya menjadi contoh bagi masyarakat.

Karena itu, diangkatnya seorang perempuan sebagai Tina Ngata hanyalah berangkat dari Kepercayaan masyarakat semata. Tak perlu ada pemungutan suara, apalagi biaya untuk pemilihannya. Semua berlangsung secara dinamis dalam bahasa lokal disebut Kodi-kodi atau Bohe-bohe.

Jika dalam setiap hajatan di Desa seorang Perempuan menerima Undangan secara lisan dari seluruh warga, itu artinya ia telah layak memakai asesoris Kepala khas Tina Ngata, karena kepercayaan tersebut.

Pun sebaliknya, status tina ngata gugur jika tak ada lagi kepercayaan dari warga desa. Asesoris tina ngata wajib ditanggalkan.