DONGGALA – Ketua Asosiasi Tenun Donggala (ASTED), Imam Basuki menanggapi Surat Edaran (SE) Bupati Donggala Nomor: 800/0111/DISDIKBUD/2023 tentang Penggunaan Batik Bomba dan Batik Subi di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Donggala.
SE tersebut dinilai tidak berpihak pada kearifan budaya dan tradisi kerajinan tenun Donggala. Menurut Imam Basuki, surat edaran itu justru akan mematikan kreativitas dan nilai budaya tenun yang harusnya dilestarikan, dikembangkan dan dimanfaatkan.
“Kenapa mesti batik yang diharuskan dipakai bagi pejabat maupun ASN dil ingkungan Pemerintah Kabupaten Donggala. Harusnya itu yang diwajibkan adalah hasil tenunan Donggala,” kata Imam Basuki pada media ini, Rabu (11/01).
Kata dia, kebijakan Bupati Donggala, Kasman Lassa tersebut dikhawatirkan akan mematikan tradisi tenun Donggala, karena bupati lebih berpihak pada batik ketimbang tenun.
Imam menjelaskan, istilah budaya turun-temurun yang sudah dikenal dan diakui sejak lama itu harusnya dipertahakan, yaitu sebutan buya bomba, buya subi atau sarung Donggala dan lainnya dari hasil tenun.
“Tenun dan batik itu sangat berbeda, baik proses produksi maupun nilai budayanya. Kabupaten Donggala itu tidak memiliki tradisi batik yang mengakar secara kultural,” jelas Basuki.
Seharusnya, kata dia, Pemerintah Kabupaten Donggala mendorong pemakaian hasil tenun pengarjin Donggala. Jika batik yang dijadikan fokus untuk dipakai, berarti lebih menguntungkan pihak-pihak yang selama ini bergerak di bidang usaha batik.
Yang jadi persoalan, kata Imam, bahan dari batik yang ada selama ini bukan dari Kabupaten Donggala, melainkan lebih banyak dipesan dari Pekalongan, hanya meniru motif tenun.
“Tetapi secara subtansi, itu bukan hasil kerajinan masyarakat Donggala, tapi dari Jawa sesuai budayanya,” tegasnya.
Namun demikian, Imam tetap mengapresiasi SE Bupati Donggala itu. Namun, kata dia, lebih bagus lagi jika ada keberpihakan pada tenun Donggala, sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan pendapatan pengrajin tenun Donggala yang selama ini secara ekonomi masih perlu dukungan.
Sejak tahun 2016 lalu, Tenun Donggala telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, bukan batik Donggala atau batik bomba.
“Itu sangat jelas dalam apresiasi pemerintah pusat pada tenun Donggala, tapi Bupati Donggala justru tidak berpihak pada hasil tenun,” tutupnya.
Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay