PALU- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah (Sulteng) meminta Pemerintah Daerah dan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) seriusi ancaman buaya terhadap warga dan nelayan yang kehidupannya bergantung di laut.
“Fenomena perkembangan buaya, jika tidak dikendalikan akan berbahaya bagi manusia. Kalau dilihat kurun satu bulan sejak Mei dan April 2022 saja ini sudah ada tiga nelayan tewas dengan waktu tidak terlalu jauh,” kata Direktur WALHI Sulteng, Sunardi dalam keterangan tertulis diterima MAL online, Kamis ( 2/6).
Dari catatan dimiliki kata Undeng sapaan akrabnya, Hingga kemarin (31/5/22) satu lagi korban jiwa, seorang nelayan saat hendak memanah ikan diterkam buaya diperairan Donggala, tepatnya Sojol Utara Desa Ogo Amas.
“Sebelumnya (7/5/22) warga asal Loli Saluran Banawa meregang nyawa akibat dimangsa di sekitar Dermaga Pusat Pelelangan Ikan (PPI) tidak jauh dari Objek Wisata Tanjung Karang Donggala,” sebutnya.
Lebih lanjut kata dia, kejadian serupa terjadi sekitaran dermaga Lpg Mamboro Palu Utara (28/4/22) saat korban sedang memanah ikan diterkam buaya. Juga pada (13/12/20) seorang warga sedang mandi terapi air laut di Pantai Talise Teluk Palu diterkam buaya hingga terluka di tangan. Pada November 2021 warga Dalaka Donggala tengah memanah ikan tiba-tiba tewas diterkam buaya dan diseret ke tengah laut.
Pun bulan November 2020 silam reptil buas ini merangsek kepelataran parkir Palu Gram Mall (PGM) Kota Palu hingga membuat para pengunjung mall panik.
Ia mengatakan, kejadian ini sangat mengkhawatirkan sepanjang Teluk Palu hingga Tanjung Karang Donggala, dikenal tempat wisata maupun tempat mencari ikan para nelayan, telah menjadi lalu lintas buaya yang diduga berasal dari Sungai Palu. Hal ini perlu jadi perhatian Pemerintah Provinsi bersama BKSDA Sulawesi Tengah dalam penanganan satwa liar ini.
Data BKSDA Sulawesi Tengah hingga 2022 ini tidak kurang dari 36 ekor buaya hidup di Sungai Palu. Jumlah tersebut telah bertambah diperkirakan oleh tim pencinta reptil Panji Petualang mencapai 100 ekor.
“Meski demikian konflik antara buaya dan manusia masih cukup intens sejak 2019 hingga 2022,” ucapnya.
Bersamaan dengan situasi itu, kata dia, bulan lalu WALHI Sulteng, telah dua kali diundang rapat dengar pendapat (RDP) oleh DPRD Provinsi bersama stakeholder terkait.
Saat RDP itu, menurutnya WALHI mengusulkan agar pihak terkait mengadakan tempat penangkaran buaya, sekaligus melakukan penangkapan, tetapi nampaknya belum terlihat bentuk penyelesaian dan aksi lapangan.
“Kami berharap di masa datang tidak ada lagi korban akibat terkaman hewan predator berdarah dingin ini di peraian Palu maupun Donggala,” imbuhnya.
Reporter: Ikram/Editor: Nanang